Rasulullah ﷺ merupakan sosok yang sangat pemalu. Tutur kata beliau santun, lembut, bersahaja serta menjaga kesopanan. Beliau ﷺ tidak pernah menjadikan hal tabu (baca : seks) sebagai bumbu dalam pembicaraan. Ucapan keji bukan perangai beliau ﷺ , juga bukan bentuk serapan dari orang lain, apalagi ungkapan porno.
Imam al Bukhari رحمه الله meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr رضي الله عنه, ia mengatakan :
لَمْ يَكُنْ النَّبِيْ ﷺ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا
Nabi ﷺ bukan orang yang perkataannya keji ataupun orang yang berusaha berkata keji.1
Beliau ﷺ biasa menggunakan bahasa kinayah (kiasan) saat menyinggung perbuatan yang keji, atau jika membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan aurat. Sebagai contoh, yaitu hadits ‘Aisyah رضي الله عنهما yang berisi tata cara membersihkan diri dari menstruasi.
Imam al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنهما , ia berkata: “Ada seorang wanita bertanya kepada Nabi, bagaimana cara mandi dari haidhnya”. ‘Aisyah رضي الله عنهما kemudian menceritakan, bahwa beliau (Nabi ﷺ) mengajarinya cara mandi. Dan kemudian diperintahkan untuk mengambil secarik kertas (dengan dibubuhi) misik untuk ia pakai ketika membersihkannya.
Wanita tadi bertanya: “Bagaimana cara aku membersihkan diri?” Seraya menutupi wajah, beliau ﷺ menjawab: “Subhanallah, bersihkan dengannya”.
‘Aisyah berkata,”Kemudian aku tarik ia, dan aku paham apa yang dimaksud Nabi. Maka aku katakan kepadanya,’Bersihkan dengannya bekas-bekas darah’.”2
Dalam hadits ini, beliau ﷺ menggunakan kata “kemudian ambil secarik kertas (yang diberi) misik, dan bersihkanlah dengannya” untuk menggantikan ‘usaplah kemaluanmu dengan kertas yang sudah diberi aroma minyak misik.’
Dari hadits tersebut, al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله menarik kesimpulan penting, bahwa hadits ini mengandung pelajaran disunnahkannya menggunakan kata kiasan dalam hal yang berhubungan dengan aurat, cukup dengan menyinggungnya secara implisit dan pemberian isyarat dalam masalah-masalah yang tidak etis.3
Dalam riwayat lain, saat Rasulullah ﷺ menyebutkan salah satu golongan dari tujuh golongan yang nantinya mendapatkan naungan pada hari saat tidak ada naungan selain naungan Allah, yaitu pemuda yang diajak berzina oleh seorang wanita berparas cantik lagi berstatus sosial tinggi, beliau ﷺ mengatakan dengan ungkapan:
وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ اِمْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَ جَمَالٍ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ الله
… dan seorang pemuda yang diminta oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, tetapi ia mengatakan “aku takut kepada Allah”. 5
Ibnu Abi Jamrah رحمه الله mengatakan, di antara pelajaran yang dikandung (hadits ini), sesuai dengan petunjuk sunnah, (yaitu) menggunakan kata kiasan untuk sesuatu yang buruk menurut syariat dan menjauhi untuk menyebutkannya langsung. Ini diambil dari sabda beliau “diminta oleh seorang wanita”, padahal yang dimaksud adalah ajakan untuk berzina, dan beliau ﷺ tidak mengatakannya dengan terus-terang.6
Diangkat dari kitab an Nabiyyi al Karim Mu’alliman, hlm. 124-129 karya Prof. DR. Fadhl Ilahi, Penerbit Idaratu Turjumani al Islam, Pakistan, Cet. I, Th. 1424/2003.
Footnote:
1 HR al Bukhari, no. 3559.
2 HR al Bukhari, 314 dan Muslim, 332.
3 Fathul Bari (1/416). Lihat pula Syahur an Nawawi (4/114) dan ‘Umdatu al Qari (3/287).
4 HR al Bukhari dengan selengkapnya no. 3436.
5 HR al Bukhari no. 660.
6 Bahjatu an Nufus (1/231).
Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M