Mendidik Anak, Mudah atau Susah?

oleh -418 Dilihat
oleh
Mendidik Anak, Mudah atau Susah?

Salah satu aktivitas yang lumayan menyita waktu para orang tua adalah mendidik anak. Pekerjaan yang penuh suka dan duka, tawa dan tangis, berbagai rasa campur aduk menjadi satu.

Sehingga terkadang mengerucut kepada sebuah pertanyaan, “Sebenarnya mendidik anak itu mudah atau susah ya?”

Tentu jawabannya akan sangat beragam, relative, tergantung yang menjawab, pengalaman dan pengetahuannya.

Aslinya Mudah

Mendidik anak itu aslinya mudah. Dengan beberapa alasan. Antara lain:

  1. Mendidik anak bagian dari syariat Islam

Sebagaimana telah diketahui bahwa ciri khas ajaran Islam itu mudah. Rasûlullâh ﷺ bersabda:

 إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

Sesungguhnya agama ini mudah (HR. AlBukhari dari Abu Hurairah رضي الله عنه )

  1. Allâh سبحانه وتعالى telah memberi kita modal

Dalam mendidik anak, ternyata kita sudah diberi modal oleh Allâh سبحانه وتعالى . Modal itu berupa panduan yang jelas, serta tabiat yang baik dalam diri setiap bayi.

Panduan itu bisa kita temukan dalam al-Qur’an dan hadits yang dijabarkan para Ulama Islam. Panduan yang pasti benar, sebab berasal dari Allâh سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya ﷺ . Panduan ini telah terbukti berhasil menelurkan manusia-manusia hebat sepanjang sejarah. Sebut saja:

Zaid bin Tsabit رضي الله عنه (wafat thn. 45 H) yang bisa menguasai bahasa asing Ibrani hanya dalam 17 hari.

Usamah bin Zaid رضي الله عنه (w. 54 H) yang di usia 18 tahun sudah dipercaya menjadi panglima perang kaum Muslimin melawan pasukan Romawi.

Umar bin Abdul Aziz t (w. 101 H) yang diangkat menjadi gubernur Madinah di usia 23 tahun.

Imam Syâfi’i (w. 204 H) yang di usia 15 tahun sudah dipercaya menjadi mufti (ahli fatwa).

Sedangkan modal kedua yaitu tabiat baik. Ini bisa kita rasakan dalam diri anak-anak kita. Dilahirkan di keluarga apapun, bukan hanya di keluarga kyai, tapi juga bayi yang terlahir di keluarga preman, bahkan anak hasil perzinaan sekalipun.

Nabi kita Muhammad ﷺ menjelaskan,

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ

Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. (HR. Al-Bukhâri dari Abu Hurairah رضي الله عنه )

Kenyataannya Susah!

Barangkali akan ada yang berkomentar, “Betul, secara teori, mendidik anak itu mudah, tapi realitanya tidak demikian, faktanya sangat susah!”

Kita tidak mengingkari kenyataan adanya kesulitan dalam mendidik anak. Namun seharusnya kita mencari tahu, apa yang menyebabkan sesuatu yang aslinya mudah itu, berubah menjadi susah? Pasti ada sebabnya, karena tidak ada asap kalau tidak ada api.

Dengan mencermati realita yang ada, bisa disimpulkan bahwa pemicunya antara lain:

  1. Pesimis

Sebagian orang tua sebelum punya anak sudah pesimis terlebih dahulu dikarenakan pernah melihat, mendengar atau membaca beragam cerita tentang sulitnya mendidik anak, sehingga akhirnya yang terpatri di benaknya adalah kata “susah”.

Padahal Islam itu mengajarkan ummatnya agar selalu optimis. Rasûlullâh ﷺ bersabda:

وَيُعْجِبُنِيْ الْفَأْلُ الصَّالِحُ

Aku menyukai sikap optimisme. (HR. Al-Bukhâri dan Muslim)

Namun perlu untuk diketahui bahwa optimisme yang positif itu adalah yang terukur, bukan bonek (bondo nekat). Optimisme yang bermodalkan tawakal kepada Allâh سبحانه وتعالى disertai usaha maksimal.

  1. Tidak belajar

Banyak siswa yang mengeluhkan sulitnya menjawab soal-soal ujian. Setelah ditelusuri, ternyata mereka tidak belajar. Kalau begitu ya wajar, seandainya mereka merasa kesulitan.

Begitu pula mendidik anak, ada ilmunya. Ada panduannya. Jika itu tidak dipelajari, tentu orang tua akan kesulitan.

Memang betul, bahwa menjadi orang tua tidak ada sekolah formalnya. Namun bukankah kita bisa membaca dan menghadiri pengajian atau pelatihan pendidikan anak?

Allâh ta’ala mengingatkan,

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٧٨

Artinya: “Allâh mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Lalu Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kalian bersyukur”. QS. An-Nahl (16): 78.

  1. Modal dari Allâh Disia-siakan

Mengawali usaha menggunakan modal, relatif jauh lebih mudah dibandingkan tanpa modal.

Bila modal sudah tersedia, lalu diabaikan atau bahkan dirusak, berarti yang salah ya orang tersebut.

Modal mendidik anak yang sudah dimasukkan Allâh ke dalam setiap manusia adalah fitrah. Sebagian ulama menafsirkan fitrah dengan kesiapan untuk menerima kebaikan.

Contoh: Banyak orang tua mengeluhkan sulitnya anak bangun pagi.

Apa pemicunya? Ternyata orang tua lah yang membiasakan anak untuk bangun siang. Lho kok bisa?

Tidakkah kita memperhatikan bahwa bayi itu rata-rata bangun gasik? Bahkan seringkali dua jam sebelum Shubuh mereka sudah bangun. Apa yang dilakukan orang tua? Apakah menyambutnya dengan senyum hangat dan mengajaknya untuk bermain? Atau justru mengajaknya untuk tidur kembali? Dan hal itu dilakukan setiap hari! Sehingga anak yang awalnya selalu bangun pagi, menjadi terbiasa bangun siang.

Berarti siapa yang paling bertanggungjawab menyia-nyiakan modal dari Allâh tersebut?

  1. Tidak Mengikuti Tahapan Pendidikan

Mendidik anak itu ada tahapannya. Tidak sekaligus. Bukan pula aktivitas yang bersifat instan. Manakala tahapan itu tidak diikuti, akan lebih banyak efek negatif yang muncul dibanding efek positif.

Misalnya tahapan mengajarkan shalat. Secara garis besar tahapan tersebut dibagi menjadi tiga. 0-7 tahun. 7-10 tahun. 10 tahun ke atas.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,

(( مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سبْعِ سِنِيْنَ، واضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر)).

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun. Dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh al-Baihaqiy serta al-Albaniy.

Perintah untuk mengerjakan shalat itu dimulai sejak usia anak tujuh tahun. Itupun belum boleh menggunakan cara yang keras. Secara halus anak diajak shalat 5 kali dalam sehari x 360 hari x 3 tahun = 5.400 kali!

Saat anak memasuki usia sepuluh tahun dan dia tidak mau shalat, baru diperbolehkan menggunakan pukulan yang sesuai aturan. Yakni pukulan sebagai alternatif terakhir. Setelah cara-cara halus lainnya tidak mempan. Jenis pukulannya pun juga bukan yang menyakitkan.

Adapun sebelum usia tujuh tahun, maka anak tidak diperintahkan untuk shalat.1 Jika ingin dikenalkan tentang ibadah shalat, maka orang tua sekedar mencontohi saja. Anak melihat apa yang dilakukan orang tuanya. Jika ia ikut-ikutan dengan keinginannya sendiri tidak mengapa. Tanpa perintah atau paksaan.

Mari kita bandingkan dengan praktek sebagian orang tua. Yang karena saking semangatnya, anak balita pun sudah disuruh shalat. Bahkan diharuskan ikut ke masjid. Jika tidak mau maka dihukum. Akibatnya anak justru malah membenci ibadah shalat. Kelak saat baligh menjadi enggan diajak shalat. Hal ini gara-gara tidak mengikuti tahapan dalam mendidik anak yang dicontohkan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam.

  1. Membiarkan Setan Merusak Anak

Satu hal yang harus selalu kita ingat. Bahwa banyak pihak yang berkepentingan dengan anak-anak kita. Ada yang kepentingannya baik. Namun ada pula yang berkepentingan buruk.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allâh ta’ala mengingatkan,

وَإِنّي خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّياطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ

“Sungguh Aku telah menciptakan semua hamba-Ku dalam keadaan siap menerima kebaikan. Namun setan datang menyeret mereka untuk menjauh dari agama”. HR. Muslim dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallâhu ‘anhu.

Setan dari kalangan jin dan manusia sangat bernafsu untuk merusak putra-putri kita. Aset berharga kita. Orang tua yang bijak tidak akan memberikan kesempatan kepada musuh untuk berbuat semaunya.

Saat anak kecanduan HP, para orang tua lah yang paling bertanggungjawab. Sebab mereka yang menyediakan fasilitas tersebut. Tidak setiap permintaan anak itu dituruti. Memanjakan anak bukan ciri kasih sayang.

Jika terpaksa diberikan fasilitas HP, maka harus ada pengarahan, pembatasan pemakaian dan pengawasan ketat. Bukan diberikan kebebasan sebebas-bebasnya.

  1. Orang Tua Tidak Kompak

Kekompakan bapak dan ibu di depan anak-anaknya sangat penting. Agar mereka mendapatkan pesan yang sama dari keduanya. Bapak dan ibu harus hadir sebagai satu kesatuan. Perselisihan antar keduanya tidak boleh ditunjukkan di depan anak-anak. Kecuali jika orang tua sengaja mencontohkan cara menangani perbedaan dengan penuh toleransi.

Tidak mengapa membagi-bagi tugas rumah tangga. Bapak mencari nafkah. Ibu mengurus anak di rumah. Selama kebijakan dan arah pengasuhan anak sudah disepakai bersama dan menjadi tanggung jawab yang dijalani bersamasama. Tidak boleh ada yang cuek.

Ketika bapak dan ibu tidak kompak, anak-anak akan dilanda kebingungan. Bahkan akan memanfaatkan salah satu pihak demi ‘keuntungan’ mereka.

Contoh: Bila orang tua sepakat untuk melatih anak mengatur uang saku, maka keduanya harus konsisten.

Misalnya sehari anak dijatah Rp. 5.000. Berarti total uang saku sepekan adalah Rp. 35.000. Uang ini diserahkan kepada anak di awal pekan untuk dia kelola selama 1 pekan. Bila ternyata habis sebelum waktunya, maka ayah dan ibu kedua-duanya harus konsisten untuk tidak memberikan uang saku tambahan. Walaupun anak merengek dan menangis. InsyaAllâh lama-kelamaan anak akan terbiasa untuk pandai memenej keuangannya sendiri.

 

Epilog

Tidak ada yang sulit, bila dimudahkan Allâh سبحانه وتعالى . Sebaliknya tidak ada yang mudah, bila disulitkan oleh-Nya. Maka, jangan pernah berhenti memohon kemudahan kepada Yang Maha Kuasa. Agar mendidik anak menjadi terasa mudah.

Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Rajab 1440 / 31 Maret 2019 Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA

Baca:

https://s.id/26nKS

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!