Hendaknya setiap orang tua, apalagi yang baru saja memasuki dunia orang tua, tidak berfikiran bahwa setiap anaknya yang terlahir akan secara mudah dan otomatis menjadi anak shalih atau shalihah tanpa bersusah payah memeras tenaga. Juga hendaknya tidak berfikiran bahwa anak-anaknya akan memiliki tingkat kemudahan pendidikan yang hampir sama. Itu adalah bayangan ideal yang kadang menyebabkan pengabaian fakta di lapangan, hingga orang tua luput memahami perbedaan perangai anak-anaknya.
Dengan asumsi demikian, akhirnya orang tua memperlakukan mereka secara sama, baik ketika memberikan apresiasi maupun ketika memarahi. Sedangkan realita di lapangan membutuhkan cara-cara tertentu bagi anak tertentu yang harus berbeda caranya dengan anak yang lain.
Sebagaimana halnya di dalam sekolah, di mana guru harus bisa memperhatikan perbedaan-perbedaan individual di antara semua siswa, demikian pula orang tua pun harus jeli melihat perbedaan-perbedaan individual di antara anak-anaknya.
Penyikapan secara pukul rata terhadap semua anaknya, bisa menimbulkan persoalan tidak kecil bagi perkembangan jiwa mereka. Bisa jadi sebagian mereka yang merasa diperlakukan tidak adil, akan menjadi pemurung, pemarah, dan pendendam.
Maka ada dua sisi yang perlu diperhatikan, satu sisi orang tua harus melihat perbedaan individual di antara anak-anaknya, sehingga pola penanganan terhadap masing-masing anak akan bisa lebih tepat. Sisi yang kedua, orang tua tetap harus menjaga keadilan terhadap semua anaknya.
Jadi di samping harus bisa menangani persoalan anak-anak sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual di antara mereka, harus pula orang tua bersikap adil terhadap mereka.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله memberikan nasihat berikut1: Hendaknya orang tua tidak mengutamakan pemberian hanya kepada salah seorang di antara anak anaknya. Misalnya memberikan hadiah kepada sebagian anak-anaknya tanpa sebagian yang lain. Ini termasuk kezhaliman dan tindakan tidak adil, padahal Allâh سبحانه وتعالى tidak menyukai kezhaliman. Perbuatan ini akan menyebabkan kekecewaan anak yang tidak diberi dan menimbulkan permusuhan diantara mereka, bahkan terkadang permusuhan terjadi antara anak yang tidak diberi dengan orang tua mereka.
Sebagian anak terkadang lebih menonjol dalam berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya, dibandingkan dengan anak yang lain. Dengan alasan ini, sebagian orang tua memberikan pemberian dan hibah khusus kepadanya. Tetapi hal ini bukanlah alasan yang dibenarkan untuk mengistimewakan anak tersebut. Anak yang berbakti kepada orang tua tidak selayaknya untuk diberi balasan materi dari pebuatannya itu, karena Allâhlah yang akan memberi pahala kepadanya. Mengistimewakan anak yang berbakti dengan suatu hibah akan menyebabkan anak tersebut ujub dengan perbuatannya dan merasa punya kelebihan, dan anak yang lain akan merasa kecewa sehingga dia akan tetap dalam kedurhakaannya. Sesungguhnya kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi kelak, boleh jadi keadaan menjadi berbalik, anak yang berbakti berubah menjadi anak yang durhaka dan anak yang durhaka berubah menjadi anak yang berbakti, karena hati mereka berada di tangan Allâh سبحانه وتعالى , Dia membolak-balikkan hati sebagaimana yang Ia kehendaki.
Di dalam Shahih Muslim, dari Nu’man bin Basyir رضي الله عنه , bahwa bapaknya yakni Basyir bin Sa’ad telah menghibahkan kepadanya seorang budak sahaya.
Kemudian ia memberitahukan hal itu kepada Nabi ﷺ , maka Nabi ﷺ bertanya kepada Basyir:
أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا؟ فقال: لا، فقال رَسُوْلُ اللّهِ ﷺ (( فَارْجِعْهُ )). رواه مسلم
“Apakah seluruh anakmu engkau berikan sama seperti ini?”. Dia menjawab: “Tidak.” Nabi ﷺ bersabda: ”Kembalikanlah.” (HR. Muslim) 2
Dalam suatu riwayat, Beliau ﷺ bersabda: :
أَعْطَيْتَ سَائِرَ وَلَدِكَ مِثْلَ هَذَا؟، قَالَ: لَا، قال: (( فاتَّقوا اللَّهَ وَاعْدِلُوْا بَيْنَ أَوْلَادِكُــــــــــمْ ))، قالَ: فَرَجَعَ فَرَدَّ عَطِيَّتَهُ. رواه مسلم
“Apakah engkau memberikan semua anakmu seperti itu? Basyir menjawab: Tidak. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allâh dan berbuatlah adil kepada anak-anak kalian”. Maka pulanglah ia dan mengembalikan pemberiannya. (HR. Al-Bukhari) 3
Dalam lafadz yang lain, Rasûlullâh ﷺ bersabda:
(( يَا بَشِيْرُ ألَكَ وَلَدٌ سِوَى هَذَا ؟)) قاَلَ: نَعَمْ، فَقَالَ : (( أَكُلَّهُمْ وَهَبْتَ لَهُ مِثْلَ هَذَا؟)) قال: لا، قال: (( فَلاَ تُشْهِدْنِيْ إِذًا، فَإِنِّيْ لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْرٍ)).
رواه مسلم
“Wahai Basyir, Apakah engkau mempunyai anak lain selain (Nu’man) ini?” Bayir menjawab: Ya. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Kalau begitu, jangan meminta kesaksianku, karena sesungguhnya aku tidak mau bersaksi terhadap suatu kecurangan “.(HR. Muslim) 4
Melebihkan sebagian anak dalam pemberian oleh Rasûlullâh ﷺ dinamakan sebagai perbuatan curang, dan curang adalah sebuah kedzaliman dan hukumnya haram.
Berbeda halnya jika orang tua memberikan suatu barang yang dibutuhkan oleh salah seorang anak dan tidak memberikannya kepada anak lain yang tidak membutuhkannya, maka dalam kasus seperti ini hukumnya tidak mengapa. Mengistimewakan salah seorang anak atas yang lainnya dalam kasus seperti ini tidak mengapa karena hal ini sesuai dengan kebutuhan sehingga hukumnya sama seperti memberi nafkah. Misalnya, salah seorang anak membutuhkan alat sekolah, kendaraan, menikah, dan lainnya, sementara yang lain tidak atau belum membutuhkannya.
Demikianlah, selama seorang bapak menunaikan kewajibannya terhadap anaknya dengan memperhatikan pendidikan dan nafkahnya secara adil, dengan izin Allâh سبحانه وتعالى anak itu akan menjadi anak berbakti kepada bapaknya dan akan memperhatikan hak-hak orang tuanya. Jika orang tua tersebut meremehkan kewajibannya, maka sudah sepantasnya dia mendapatkan balasannya, anak tersebut tidak akan menunaikan kewajibannya terhadap orang tuanya dan orang tua tersebut akan terkena hukuman sebagai balasan yang setimpal.5 Wallâhu al-Musta’ân.
Kekurang hati-hatian orangtua untuk bertindak adil dalam memberikan perhatian dan fasilitas terhadap anak akan bisa menimbulkan dampak buruk yang salah satunya adalah anak menjadi pendendam. Oleh sebab itu marilah kita membekali diri dalam mendidik anak dengan ilmu agama secara benar sehingga bisa mengetahui bagaimana seharusnya bersikap adil dalam memberikan perhatian dan pendidikan bagi anak kita. Pada akhirnya dengan izin Allah, pendidikan yang benar, akan mengantarkan anak kita menjadi anak yang berbakti , penyejuk pandangan mata, dan menjadi tabungan berupa anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya. Wallâhu Waliyyu at-Taufîq.
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin.
Footnote:
1 Lihat Huqûq Da’at ilaihâ al-Fithrah wa Qarrarat-hâ asy Syarî’ah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utasimin, Madâr al-Wathan li an-Nasyr, cet. 3, 1433 H/2012 M. Al-Haqqu ar-Râbi’, huqûq al-Aulâd, hal. 15-16. Dengan beberapa perubahan redaksional dan dengan melengkapi beberapa riwayat hadits.
2 Shahih Muslim Bi Syarhi an-Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha, Dar al Ma’rifah, XI/68, Kitab al-Hibât, Bab Karâhatu Tafdhil Ba’dhi al-Aulad f i al-Hibah, no. 4153
3 Shahih al-Bukhari, no. 2587
4 Shahih Muslim, Bi Syarhi an-Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha, op.cit. XI/70, Kitab al-Hibât, Bab Karâhatu Tafdhil Ba’dhi al-Aulad fi al Hibah, no 4158
5 Lihat Huqûq Da’at ilaihâ al-Fithrah wa Qarrarat-hâ asy Syarî’ah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utasimin, hal. 15-16. Dengan beberapa perubahan redaksional dan dengan melengkapi beberapa riwayat hadits