( Tafsir Surat Al-Bayyinah/98: 6-8)
Disusun Oleh Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc M.A.
إإِنَّ الَّذِيْنَ ءَا مَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّلِحَتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُالْبَرِيَّةِ {7}
جَزَآؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّتُ عَدْنٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا الاَْنْهَرُ خَلِدِيْنَ فِيْهَآ أَبَدًا
رَّضِىَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْاعَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ {8}
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allâh ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” [Al-Bayyinah/98:6-8]
TAFSIR RINGKAS
Setelah Allâh Azza wa Jalla menjelaskan agama yang haq yang bisa menyelamatkan (seseorang) dari azab dan bisa mendapatkan kenikmatan yaitu agama Islam (pada ayat sebelumnya), Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa orang-orang yang kafir (ingkar) kepada-Nya, baik dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik, mereka berada di neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya.
Ini adalah hukum Allâh Azza wa Jalla kepada mereka karena mengingkari kebenaran dan berpaling darinya setelah datang kepada mereka bukti dan mereka mengenal jalan yang lurus. Mereka beralih dari kebenaran tersebut dengan rasa ridha terhadap kebatilan dan rasa puas terhadap kekafiran dan kesyirikan sebagai ganti dari keimanan dan ketauhidan. Mereka adalah orang-orang kafir dan pelaku dosa. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk. Ini adalah makna dari firman Allâh, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”
Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mengamalkan agama Islam, kemudian mereka mengerjakan kewajiban-kewajiban, menjauhi larangan-larangan, bersegera dalam kebaikan-kebaikan dan amalan-amalan shalih, mereka adalah sebaik-baik makhluk. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.”
Perkataan Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Balasan mereka di sisi Rabb mereka,” maksudnya, mereka yang beriman kepada Allâh , Rasul-Nya Muhammad n dan apa-apa yang Beliau bawa berupa petunjuk dan agama yang haq, mereka adalah sebaik-baik makhluk.
Perkataan Allâh, yang artinya, “Balasan mereka di sisi Rabb mereka” terjadi ketika mereka bertemu dengan Allâh dan itu terjadi setelah kematian, “ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,” maksudnya adalah taman-taman yang mereka tinggal selamanya di dalamnya, mereka tidak akan keluar darinya dan tidak akan pernah mati.
Perkataan Allâh Azza wa Jalla : “Allâh ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.”
Allâh Azza wa Jalla ridha kepada mereka karena keimanan dan ketaatan mereka dan mereka ridha kepada Allâh karena apa yang telah Allâh karuniakan dan berikan kepada mereka berupa kenikmatan yang abadi di Darussalaam (Negeri Keselamatan/surga).
Perkataan Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” Balasan yang disebutkan tersebut adalah balasan yang besar karena di sana dikumpulkan kebahagiaan ruh dan kebahagiaan badan secara bersamaan. Itu balasan bagi hamba yang takut kepada Rabb-nya dan tidak bermaksiat kepada-Nya sampai bertemu Allâh Subhanahu wa Ta’ala setelah wafatnya. Apabila dia bemaksiat pada suatu hari, maka dia bertaubat dan jika dia salah maka dia kembali. Begitu seterusnya sampai dia wafat dalam keadaan taat dan bukan dalam keadaan bermaksiat.”[1]
PENJABARAN AYAT
Surat al-Bayyinah dan Ubay bin Ka’b Radhiyallahu anhu
Beberapa surat disebutkan keutamaannya oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Surat al-Bayyinah memiliki kaitan dengan seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Ubay bin Ka’b Radhiyallahu anhu , sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ –رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- قَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- لأُبَيٍّ: (( إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ: {لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا}.)) قَالَ: وَسَمَّانِي؟ قَالَ: ((نَعَمْ فَبَكَى.))
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ubay, “Sesungguhnya Allâh telah memerintahkan kepadaku untuk membacakan kepadamu ‘Lam yakunilladzîna kafarû’,” Beliau (Ubay) berkata, “Apakah Allâh menyebut namaku?” Beliau bersabda, “Ya.” Kemudian dia (Ubay) pun menangis.[2]
Ubay mendapatkan keutamaan dengan dikhususkannya beliau dari seluruh sahabat Nabi untuk dibacakan surat al-Bayyinah sebagai perintah langsung dari Allâh Azza wa Jalla , bahkan sampai-sampai Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyebut nama beliau.
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.
Ahli kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan maksud dari orang-orang musyrik yaitu semua orang yang melakukan kesyirikan yang menyebabkan dia keluar dari agama Islam. Mereka layak untuk mendapatkan tempat kembali yang sangat buruk, yaitu neraka Jahannam.
Arti dari al-Bariyyah (الْبَرِيَّةِ)
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan lafaz (أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ) artinya “mereka adalah seburuk-buruk bariyyah.” Para Ulama berbeda pendapat dalam mengartikan kata “bariyyah” pada ayat ini, di antara pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut:
Pendapat yang pertama, artinya adalah (بَرِيْئَة), maknanya adalah yang diciptakan atau makhluk, karena di dalam Qirât Nafi’ dan Ibnu Dzakwan rahimahullah dibaca dengan (بَرِيْئَة) adapun selain dari keduanya membacanya dengan (الْبَرِيَّةِ) sebagaimana masyhur di dalam mushhaf yang kita baca. Kata (بَرِيْئَة) berasal dari kata (بَرَأَ) yang berarti (خَلَقَ)/menciptakan. Pendapat inilah pendapat yang kuat dan didukung oleh banyak mufassir/ahli tafsir.
Pendapat yang kedua, artinya adalah (تُرَاب), maknanya adalah tanah.
Pendapat yang ketiga, artinya adalah yang ditakdirkan. Pendapat yang ketiga ini adalah pendapat yang sangat lemah.[3]
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa sebaik-baik makhluk adalah orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Ini menunjukkan keutamaan beriman dan beramal shalih.
SIAPAKAH YANG LEBIH UTAMA, PARA MALAIKAT ATAUKAH KAUM MUKMININ?
Para ulama berselisih pendapat akan hal ini. Ada yang menyatakan bahwa Malaikat lebih utama dari orang yang beriman, ada yang mengatakan sebaliknya, ada yang merinci sebagian orang yang beriman lebih utama dari para Malaikat, ada yang mengatakan bahwa Malaikat selama ada alam dunia maka Malaikat lebih utama dari manusia dan di akhirat orang yang beriman bisa menjadi lebih utama dari Malaikat dan disebutkan pendapat-pendapat lain. Penulis tidak ingin membahas secara panjang lebar permasalahan ini, karena memang tidak ada nash sharîh atau dalil yang sangat jelas yang bisa memastikan hal ini. Allâhu a’lam. Oleh karena itu, siapa yang ingin mendalami permasalahan ini, silakan merujuk ke buku-buku Aqidah.
Penulis menyinggung ini karena Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini, beliau rahimahullah mengatakan:
وَقَدِ اسْتَدَلَّ بِهذِهِ الآيَةِ أَبُوْ هُرَيْرَةَ وَطَائِفَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ، عَلَى تَفْضِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنَ الْبَرِيَّةِ عَلى الْمَلاَئِكَةِ؛ لِقَوْلِهِ: { أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ }
Dan Abu Hurairah dan sebagian ulama berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan orang-orang yang beriman yang dia termasuk bariyyah dibanding dengan para malaikat, karena perkataan-Nya: ‘mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.’.”[4]
SIAPAKAH SEBAIK-BAIK MANUSIA?
Pada ayat di atas kita ketahui bahwa sebaik-baik makhluk adalah orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan di dalam beberapa hadits tentang ciri manusia atau Mukmin yang terbaik. Di antara hadits-hadits tersebut yang bisa penulis sebutkan pada tulisan ini adalah dengan lafaz-lafaz sebagai berikut:
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ خِيَارَ عِبَادِ اللهِ مِنْ هذِهِ الأُمَّةِ الَّذِيْنَ إِذَا رُؤُوْا ذُكِرَ اللهُ -تَعَالَى-.
Sesungguhnya sebaik-baik hamba di kalangan umat ini adalah yang apabila mereka dilihat maka Allâh Azza wa Jalla diingat.[5]
Dan juga sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَه
Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.[6]
Begitu pula sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan saya adalah yang terbaik dari kalian terhadap keluargaku.[7]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا
Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya.[8]
Dan juga bersabda:
فَخِيَارُكُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ فِي الإِسْلاَمِ إِذَا فَقِهُوا
Sebaik-baik kalian ketika masa Jahiliyah adalah sebaik-baik kalian di dalam Islam jika memahami agama.[9]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ
Sebaik-baik kalian adalah yang memberikan makanan.[10]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ، وَشَرُّكُمْ مَنْ لاَ يُرْجَى خَيْرُهُ وَلاَ يُؤْمَنُ شَرُّهُ
Sebaik-baik kalian adalah yang diharapkan kebaikannya dan dirasakan aman dari keburukannya. Dan seburuk-buruk kalian adalah yang tidak diharapkan kebaikannya dan tidak dirasakan aman dari keburukannya.[11]
Dan juga:
فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam pembayaran (utang).[12]
Dan juga:
وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain.[13]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلاةِ، وَمَا تَخَطَّى عَبْدٌ خُطْوَةً أَعْظَمَ أَجْرًا مِنْ خُطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَى فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا
Sebaik-baik kalian adalah yang paling lembut pundaknya ketika shalat (berjamaah) dan tidak ada satu langkah dari seorang hamba ketika melangkahkan satu langkah yang pahalanya lebih besar melebihi langkahnya seorang laki-laki yang berjalan menuju celah di shaff kemudian dia menutupnya.[14]
Kemudian:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ؟ قَالَ: مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
Diriwayatkan dari Abdullah bin Busr bahwasanya seorang Arab badui berkata, “Ya Rasûlullâh! Siapakah sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya dan baik amalannya.”[15]
Dan juga:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، قَالَ: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ؟ قَالَ: (( ذُو الْقَلْبِ الْمَخْمُومِ، وَاللِّسَانِ الصَّادِقِ ))، قُلْنَا: فَقَدْ عَرَفْنَا الصَّادِقَ، فَمَا ذُو الْقَلْبِ الْمَخْمُومِ ؟ قَالَ: (( هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ الَّذِي لَا إِثْمَ فِيهِ وَلَا حَسَدَ ))، قُلْنَا: فَمَنْ عَلَى أَثَرِهِ؟ قَالَ: (( الَّذِي يَشْنَأُ الدُّنْيَا وَيُحِبُّ الْآخِرَةَ ))، قَالُوا: مَا نَعْرِفُ هَذَا فِينَا إِلَّا رَافِعٌ مَوْلَى رَسُولِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، فَمَنْ عَلَى أَثَرِهِ؟ قَالَ: (( مُؤْمِنٌ فِي خُلُقٍ حَسَنٍ ))، قَالُوا: أَمَّا هَذِهِ فَإِنَّهَا فِينَا.
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash dia berkata, “Kami berkata, ‘Ya Rasûlullâh! Siapakah sebaik-baik manusia?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘(Dia adalah) yang memiliki hati al-makhmuum dan (yang memiliki) lisan yang jujur.’ Kami berkata, ‘Kami telah mengetahui (lisan) yang jujur, apa yang dimaksud dengan hati al-makhmuum?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Dia adalah hati yang bertakwa dan suci yang tidak ada dosa di dalamnya dan tidak ada rasa dengki/iri.’ Kami berkata, ‘Siapakah orang setelahnya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘(Dia adalah) yang membenci dunia dan mencintai akhirat.’ Mereka berkata, ‘Kami tidak mengetahui ada orang seperti ini kecuali Rafi’ Maula Rasulillah shallAllâh u ‘alaihi wa sallam. Siapakah orang setelahnya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Seorang Mukmin yang berakhlak baik.’ Mereka berkata, ‘Adapun ini, maka ada pada kami.’.”[16]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
(خَيْرُ النَّاسِ فِي الْفِتَنِ رَجُلٌ آخِذٌ بِعِنَانِ فَرَسِهِ – أَوْ قَالَ : بِرَسَنِ فَرَسِهِ – خَلْفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ وَيُخِيفُونَهُ ، أَوْ رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ فِي بَادِيَتِهِ يُؤَدِّي حَقَّ اللهِ الَّذِي عَلَيْهِ.)
Sebaik-baik manusia di zaman fitnah adalah seorang laki-laki yang mengambil tali kudanya -atau beliau berkata mengambil tali di mulut kudanya- di belakang musuh-musuh Allâh . Dia menakut-nakuti mereka dan mereka pun menakut-nakutinya, atau seorang yang menyendiri di baadiyah (tempat yang jauh dari penduduk), dia memenuhi hak Allâh yang wajib dikerjakan olehnya.[17]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah zaman/generasiku, kemudian zaman/generasi yang berikutnya, kemudian zaman/generasi berikutnya.[18]
Dan masih banyak hadits yang lain. Allâhu a’lam. Sudah sepantasnya kita berusaha dan berlomba-lomba untuk menjadi para hamba terbaik yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla .
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN SURGA ‘ADN?
Yang dimaksud dengan Jannâtu ‘Adn di dalam ayat ini adalah basâtîn iqâmah yang berarti taman-taman untuk tempat tinggal.
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan:
“(Balasan mereka) ganjaran (di sisi Rabb mereka) yaitu Pencipta dan Pemilik mereka (adalah jannât) yaitu taman-taman (‘Adn) yaitu tempat tinggal. Para ahli tafsir mengatakan bahwa Jannâtu ‘Adn adalah Bathnânul-Jannah, maksudnya adalah pertengahan surga … Dan arti Ma’din Asy-Syai’ adalah Pusat dan tempat menetap sesuatu.”[19]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Allâh ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.
Ath-Thabari rahimahullah mengatakan:
“(Allâh ridha terhadap mereka) karena mereka telah mentaati-Nya di dunia dan beramal agar mereka terhindar dari hukuman-Nya.”
“(Dan mereka pun ridha kepada-Nya) karena Allâh telah memberikan balasannya pada hari itu karena ketaatan mereka kepada Rabb mereka ketika dunia, dan Allâh telah membalas mereka karenanya dengan kedermawanan-Nya.”
وقوله: ( ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ ) … هذا الخير الذي وصفته، ووعدته الذين آمنوا وعملوا الصالحات يوم القيامة، لمن خشي ربه; يقول: لمن خاف الله في الدنيا في سرّه وعلانيته، فاتقاه بأداء فرائضه، واجتناب معاصيه، وبالله التوفيق.
(Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya). Kebaikan ini yang Aku sifatkan dan Aku janjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di hari kiamat adalah untuk orang yang takut kepada Rabb-nya di dunia di saat sendiri maupun dilihat oleh orang lain. Bertakwa kepada-Nya dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Billâhittaufîq.”[20]
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Disebutkan suatu pendapat bahwa ridha itu terbagi menjadi dua jenis,
yaitu (رضا به/ridhan bihi) dan (رضا عنه/ridhan ‘anhu). Adapun arti dari ((رضا به/ridhan bihi)) adalah ridha jika Allâh sebagai Rabb dan Mudabbir (Pengatur segala urusan). Adapun arti (رضا عنه/ridhan ‘anhu) adalah ridha terhadap apa yang Allâh tetapkan dan takdirkan. as-Suddi mengatakan, ‘Jika kamu tidak ridha terhadap Allâh , bagaimana mungkin engkau meminta kepada-Nya agar Allâh ridha terhadapmu.”[21]
KESIMPULAN
- Di antara keutamaan Ubay bin Ka’b Radhiyallahu anhu adalah Allâh Azza wa Jalla menyuruh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membacakan surat al-Bayyinah kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Arti dari Syarrul-Bariyyahadalah seburuk-buruk makhluk, mereka adalah orang-orang Ahli Kitab dan musyrikun dan arti dari Khairul-Bariyyah adalah sebaik-baik makhluk, mereka adalah yang beriman dan beramal shalih.
- Ada banyak hadits yang menunjukkan makna sebaik-baik manusia atau sebaik-baik Mukiminin, sudah sepantasnya kita berusaha untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan yang disebutkan pada hadits-hadits
- Arti surga ‘Adnadalah taman untuk tempat tinggal.
- Orang-orang yang beriman dan beramal shalih ridha kepada Allâh karena Allâh telah memberikan balasannya di akhirat dikarenakan ketaatan mereka kepada Rabb mereka ketika dunia, dan Allâh telah membalas apa yang telah mereka lakukan dengan sebaik-baik balasan.
Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh senantiasa membimbing kita untuk terus berada di atas petunjuk-Nya, terus beriman dan beramal shalih sampai akhir hayat kita. Âmîn.
DAFTAR PUSTAKA
- Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsîr.Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam.
- Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi. Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah.
- Jâmi’ul-bayân fî ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah ar-Risâlah.
- Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Ar-Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
- Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhîm.Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Ar-Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
- Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.
[ Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XXI/1439H/2017M].
_______
Footnote
[1] Lihat Aisar At-Tafâsîr, hlm. 1778-1779.
[2] HR. Al-Bukhâri no. 3808 dan Muslim no. 799/1865.
[3] Lihat Tafsîr al-Qurthubi XX/145.
[4] Tafsîr Ibni Katsîr VIII/458.
[5] HR. Al-Kharâ-ithi dalam Masâwi’ al-Akhlâq. Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadiits ini hasan dalam ash-Shahîhah no. 2849.
[6] HR. Al-Bukhâri no. 5027 dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu anhu.
[7] HR. At-Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini shahîh dalam ash-Shahîhah no. 285.
[8] HR. Al-Bukhâri, no. 6035 dan Muslim no. 2321/6033.
[9] HR.Al-Bukhâri, no. 3374.
[10] HR. Ahmad no. 23930, al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 7739 dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iiman no. 8565. Adz-Dzahabi menyatakan shahîh dalam Ta’liq al-Mustadrak.
[11] HR. At-Tirmidzi no. 2263. Beliau menyatakan bahwa hadits ini hasan shahîh.
[12] Al-Bukhâri, no. 2390 dan Muslim no. 1601/4110.
[13] HR. Ath-Thabari dalam al-Mu’jam al-Awsath VI/58. Syaikh al-Albani menyatakan hasan dalam ash-Shahîhah no. 426.
[14] HR. Ath-Thabari dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 813. Syaikh al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan dalam ash-Shahîhah no. 2533.
[15] HR. At-Tirmidzi no. 2329. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini shahîh dalam Shahîh al-Jâmi’ Ash-Shaghir no. 3296.
[16] HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iiman no. 6180 dan Abu Na’im al-Ashbahani dalam Ma’rifatush shahîbah, hlm. 1043 no. 2643. Syaikh al-Albani menyatakan shahîh dalam Shahîh al-Jâmi’ ash-Shaghîr no. 3291.
[17] HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf no. 20760 dan al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 8380. Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadits ini sesuai dengan syarat Al-Bukhâri, dan Muslim dan Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini shahiih dalam Ash-Shahîhah no. 698.
[18] HR. Al-Bukhâri, no. 2652 dan Muslim no. 2533/6472.
[19] Tafsîr Al-Qurthubi XX/146.
[20] Tafsîr Ath-Thabari XXIV/543.
[21] Tafsîr Al-Baghawi VIII/497.