Oleh Syaikh Sa’ad Al-Husain
Pengantar redaksi:
Tulisan ini diterjemahkan secara bebas dari risalah (majalah) al-Ashalah edisi 28 tahun V, 15 Jumadal Akhirah 1420 H. hal. 15-17. Diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin.
Kebanyakan harakah dan kelompok yang diberi label “ Islamiyah” pada dewasa ini telah menjadikan kalimat “Berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah” sebagai syi’ar (semboyan)nya. Betapa indahnya jika syi’ar (semboyan) tersebut sejalan dengan kenyataan (prkatek)nya. Sebab secara umum, syi’ar tersebut merupakan pokok agama yang paling mendasar dan merupakan pokok agama yang paling mendasar dan merupakan tujuan mengapa Allah menciptakan jin dan manusia. Dan hal terbesar (dari isi syi’ar di atas) adalah : Meyakini ke-Esaan Allah dalam hal peribadatan (artinya : Hanya Allah satu-satunya yang memiliki hak diibadahi,-pent) sesuai dengan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada rasul-rasulNya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melalui lisan Ya’qub ‘Alaihis salam.
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri”. [Yusuf/12 : 67]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman melalui lisan Yusuf ‘Alaihis salam
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.[Yusuf/12 : 40]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman kepada penutup para nabiNya.
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”. [Al-Maidah/5 : 48]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya II/75 mengatakan: “Maka manusia, baik arab maupun asing, baik buta huruf maupun pandai baca tulis, berdasarkan apa yang Allah turunkan kepadamu dalam Kitab yang agung ini –dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka- (artinya : jangan kamu ikuti) pendapat-pendapat mereka yang mereka istilahkan sendiri, sehingga dengan sebab itu mereka meninggalkan apa yang diturunkan Allah kepada para rasulNya”
Namun para harakiyun dan hizbiyun dengan ittiba-nya pada pendapat serta pemikiran mereka yang diberi label (pemikiran/pola fikir) Islami, telah mempersempit makna luas yang mecakup seluruh (makna) “berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah”. Mereka telah membatasinya hanya dalam fiqih mu’amalat, dan lebih khusus lagi berkaitan dengan mua’malah (sikap pergaulan) terhadap para penguasa. (Hal ini) karena mengekor kepada pemikiran ustadz Sayyid Quthub rahimahullah yang meyakini bahwa : “Keistimewaan sifat Uluhiyah Allah yang paling khusus ialah ke-RububiyahanNya ke-MahapemimpinNya, ke-SultananNya dank ke-Mahakuasaan hukumNya” [Fi Dzilal Al-Qur’an IV/1852]
Keyakinan sang pemikir dan pengekor ini, datangnya dari kebodohan mereka terhadap makna kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illa Allah baik makna secara bahasa maupun makna secara syar’i. Akibatnya mereka mencampur adukkan antara makna Uluhiyyah dengan makna Rububiyah ke dalam keyakinan dan pengamalan. Semoga Allah mengampuni kita dan mengampuni mereka.
Ketika mereka keluar dari pola (jalur) berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah dalam masalah tauhid, merekapun keluar dari pola di atas dalam masalah syirik. Maka (dalam masalah syirik,-pen) mereka memperluas (radius)nya, karena mengekor kepada Sayyid Qutub rahimahullah, sehingga memasukkan ke dalam cakupan syirik, persoalan-persoalan yang sebenarnya sama sekali tidak syirik : (seperti persoalan) politik, kebiasaan, adat dan mode yang menurut persangkaan Sayyid Qutub rahimahullah bahwa mengikuti manusia dalam hal itu berarti : “Terjebak menjalankan hakikat kemusyrikan dalam maknanya yang paling khusus dan menyimpang dari hakikat syahadat Laa ilaha Ilaa Allah Muhammad Rasul Allah dalam maknanya yang paling khusus… sekalipun seorang hamba betul-betul tertuju kepada Allah semata dalam hal Uluhiyah, dan betul-betul beragama sejalan dengan syariat Allah dalam masalah wudhu’, shalat, puasa dan seluruh syi’ar Islam” [Rinciannya terdapat dalam Fii Dzilal Al-Qur’an IV/2114]
Sebagaimana umumnya bid’ah, maka “tauhid dan syirik modern” ini telah membikin lupa para pemuda akan tauhid yang justru dibawa oleh setiap Rasul Allah, yaitu : meng-Esakan Allah dengan peribadatan (beribadah hanya kepada Allah saja, -pen), dan membikin lupa akan syirik yang dilarang oleh setiap Rasul Allah, yaitu mengagungkan petilasan-petilasan (tempat keramat), tempat-tempat ziarah dan kuburan-kuburan yang dijadikan masjid-masjid, baik dizaman dulu maupun di zaman sekarang.
Yang benar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah, bahwa berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah merupakan fardhu ain bagi setiap muslim, baik penguasa maupun rakyat biasa.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ssetiap kamu adalah penanggung jawab, dan (masing-masing) akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya” [Muttafaq ‘Alaihi]
Masing-masing sesuai dengan tanggung jawab syar’iyahnya.
Yang benar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah : Berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah bersifat universal meliputi segala hal yang telah diwahyukan Allah kepada hamba dan utusan-Nya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ; untuk beliau jelaskan kepada manusia dan agar dengannya beliau putuskan hukum di antara mereka. Yang pertama, sebelum segala sesuatunya dimulai, adalah dalam hal aqidah (tauhid). Menyusul kemudian dalam hal ibadah. Selanjutnya (baru) dalam hal mu’amalah. Tidak sebaliknya, seperti dikhayalkan oleh para produser pola fikir “Islami” dan sekaligus penghancurnya.
Yang benar, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah bahwa perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala berbeda-beda peringkatnya antara fardhu ain, fardhu kifayah dan sunnat. Dan bahwa larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala (juga) berbeda-beda peringkatnya antara dosa besar yang membinasakan dan dosa kecil yang ringan. (Dosa terbesar adalah syirik kepada Allah dalam hal ibadah, misalnya ; dengan cara menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang yang shalih sebagai masjid-masjid/tempat-tempat ibadah agar orang-orang memohon kepada kuburan-kuburan itu dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah dan meminta syafa’at kepada Allah melalui kuburan-kuburan tersebut. Maha Tinggi Allah dari kemusyrikan yang demikian. Maha Tinggi Dia lagi Maha Besar).
Adalah termasuk tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah jika menyamakan antara yang fardhu dengan yang sunnat dalam (mengejawantahkan) perintah, dan jika menyamakan antara dosa besar dengan dosa kecil dalam (masalah) larangan.
Bahkan sesungguhnya termasuk berhukum dengan selain hukum Allah, memecah belah ummat dalam agama menjadi berpartai-partai dan berjama’ah-jama’ah berdasarkan manhaj dakwah masing-masing. Hal yang menyalahi jalan kenabian yang telah disyari’atlkan oleh Allah kepada semua rasulNya dan kepada semua umat para Rasul [1].
Kenyataan inilah yang (justeru) dialami oleh para harakiyun dan hihzbiyun (padahal semboyan mereka adalah berhukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah, tetapi kenyataannya tanpa disadari mereka adalah manusia-manusia yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah,-pen). Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan kepada mereka menuju jalan yang paling mendekati kebenaran. Shalawat serta Salam Allah semoga tercurah untuk hamba dan utusan Allah, dan untuk orang yang mengikuti Sunnahnya.
______
Footnote
[1]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabnya terhadap mereka” [Al-An’am/6 : 159]
[Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun V/1422H/2001].