Bagaimana kepastian hukum shalat di Masjid Nabi yang di dalamnya terdapat kuburan beliau ﷺ ? Boleh atau tidak?
Nanang, 08138057xxxx
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kami jelaskan beberapa hal menyangkut permasalahan ini.
Bahwasanya Islam melarang kita membangun masjid di atas kuburan ataupun mengubur seseorang di dalam masjid. Rasulullah ﷺ telah bersabda:
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارى اِتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid. (Muttafaqun ‘alaihi).
Demikian juga, dalam sebuah hadits disebutkan adanya larangan shalat menghadap kuburan, sebagaimana sabda Rasulullah:
لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
Janganlah kalian shalat menghadap kuburan, dan janganlah duduk di atasnya. (HR Muslim).
Oleh sebab itu, para ulama melarang shalat di masjid yang ada kuburannya, bahkan dianggap tidak sah. Sebagaimana Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta Saudi Arabia telah menyatakan dalam fatwanya, bahwasanya terdapat larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, maka tidak diperbolehkan shalat disana dan shalatnya tidak sah.1
Adapun kepada pemerintah, dianjurkan untuk menghancurkan masjid yang dibangun di atas kuburan, apabila kuburan tersebut ada sebelum pembangunan masjid. Apabila keberadaan masjid lebih dahulu daripada kuburan, maka hendaknya kuburan tersebut digali, dikeluarkan isinya, dan kemudian dipindahkan ke pekuburan umum yang terdekat. Anjuran ini disebutkan dalam fatwa yang berbunyi:
Tidak diperbolehkan shalat di dalam masjid yang ada satu kuburan atau beberapa kuburan, berdasarkan pada hadits Jundab bin ‘Abdullah رضي الله عنه , bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda (pada) lima hari sebelum beliau ﷺ meninggal:
إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، ألَا فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Sungguh umat sebelum kalian dahulu telah membangun masjid-masjid di atas kuburan para nabi dan orang shalih mereka. Ketahuilah, janganlah kalian membangun masjid-masjid di atas kuburan, karena aku melarangnya. (HR Muslim).
Juga hadits A’isyah, dari Nabi ﷺ , beliau bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ عَلىَ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashara yang telah membangun kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Kewajiban pemerintah kaum Muslimin agar menghancurkan masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan, disebabkan karena masjid-masjid tersebut dibangun bukan di atas takwa. Hendaknya juga mengeluarkan semua yang dikubur di dalam masjid setelah masjid dibangun dan mengeluarkan jenazahnya, walaupun telah menjadi tulang atau debu, karena kesalahan mereka dikubur disana. Setelah itu diperbolehkan shalat di masjid tersebut, sebab yang dilarang telah hilang.2
Prof. Dr. Syaikh Shalih al Fauzan, di dalam fatwanya, beliau menyatakan:
Apabila kuburan-kuburan tersebut terpisah dari masjid oleh jalan atau pagar tembok, dan dibangunnya masjid tersebut bukan karena keberadaan kuburan tersebut, maka tidak mengapamasjid dekat dari kuburan, apabila tidak ada tempat yang jauh darinya (kuburan). Adapun bila pembangunan masjid tersebut di tempat yang ada kuburannya, dengan tujuan dan anggapan di tempat tersebut ada barakahnya, atau (menganggap) hal itu lebih utama, maka tidak boleh, karena itu merupakan salah satu sarana perantara perbuatan syirik.3
Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan Masjid Nabawi, yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi ﷺ , maka para ulama telah menjelaskan bahwa hukumnya berbeda dengan kuburan lainnya. Ketika menjawab pertanyaan seseorang yang menjadikan Masjid Nabawi -yang ada kuburan Nabi ﷺ – sebagai dalil bolehnya shalat di dalam masjid yang ada kuburannya, Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta‘ berfatwa:
Adapun Nabi ﷺ , (beliau) dikuburkan di luar masjid, (yaitu) di rumah ‘Aisyah. Sehingga pada asalnya, Masjid Nabawi dibangun untuk Allah dan dibangun tidak di atas kuburan. Namun masuknya kuburan Rasulullah ﷺ (ke dalam masjid), semata[1]mata disebabkan karena perluasan masjid.4
Syaikh al Albani رحمه الله , secara jelas juga mengatakan:
Masalah ini, walaupun saat ini secara nyata kita saksikan, namun pada zaman sahabat, hal tersebut tidak pernah ada. Ketika Rasulullah ﷺ wafat, mereka menguburkannya di rumah beliau yang berada di samping masjid, dan terpisah dengan tembok yang terdapat pintu tempat Rasulullah ﷺ keluar menuju masjid. Perkara ini terkenal dan dalam masalah ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
(Maksud) para sahabat, ketika menguburkan beliau ﷺ di kamar ‘Aisyah, agar tidak ada seorangpun yang dapat menjadikan kuburan beliau sebagai masjid. Namun yang terjadi setelah itu, diluar perkiraan mereka. Peristiwa tersebut terjadi ketika al Walid bin Abdil Malik memerintahkan penghancuran Masjid Nabawi pada tahun 88 H dan memasukkan kamar-kamar para isteri Rasulullah ﷺ ke dalam masjid, sehingga kamar ‘Aisyah dimasukkan ke dalamnya. Lalu jadilah kuburan tersebut berada di dalam masjid. Dan pada waktu itu, sudah tidak ada seorang sahabat pun yang masih hidup di Madinah. 5
Kemudian Syaikh al Albani memberikan kesimpulan hukum, bahwa hukum terdahulu (yaitu larangan shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburannya, Red.) mencakup seluruh masjid, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru, karena keumuman dalil-dalilnya. Satu masjid pun tidak ada pengecualian dari larangan tersebut, kecuali Masjid Nabawi. Karena Masjid Nabawi ini memiliki kekhususan, yang tidak dimiliki oleh masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. Seandainya dilarang shalat pada Masjid Nabawi, tentu larangan itu memberikan pengertian yang menyamakan Masjid Nabawi dengan masjid-masjid selainnya, dan menghilangkan keutamaan-keutamaan (yang dimiliki Masjid Nabawi tersebut). Hal seperti ini, jelas tidak boleh. 6
Demikianlah beberapa penukilan dari pendapat para ulama dalam permasalahan ini. Sehingga menjadi jelas bagi, bahwa shalat di Masjid Nabawi yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi, tidaklah mengapa. Yakni dibolehkan. Wallahu a’lam.
Footnote:
1) Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta‘ no. 5316.
2) Ibid., no. 4150 dan no. 6261.
3) Al Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih bin ‘Abdillah bin Fauzan al Fauzan (2/171), fatwa no. 148.
4) Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal-Ifta‘ no. 5316 (6/257)
5) Tahdzirus-Saajid.
6) Ibid.
Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M