SOAL :
Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” – QS al Maidah 44.
Bagaimana maksud ayat ini?
JAWAB :
Ada tiga ayat di dalam al Qur‘an yang berkaitan dengan (hukum) orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah.
Pertama, adalah ayat yang baru dibacakan tadi.
Kedua,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. (QS al Maidah : 45).
Dan Ayat Ketiga,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq. (QS al Maidah : 47).
Seorang hakim (pemimpin, Red) yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah (berada dalam dua kondisi).
Keadaan pertama, ia menentang dan mengingkari untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Misalnya, ia tidak menganggap wajibnya berhukum dengan hukum syari’at. Atau ia menilai bahwa hukum-hukum buatan manusia lebih utama (dan lebih baik, Red) daripada hokum syari’at. Atau ia berpandapat bahwa hukum syari’at tidak lagi relevan pada zaman ini. Atau ia berkeyakinan, bahwa hukum syari’at dan hukumhukum buatan manusia adalah sama derajatnya. Maka, orang ini adalah kafir murtad (keluar dari keislamannya, Red).
Keadaan kedua, (yaitu) jika ia tidak berhukum dengan hukum Allah disebabkan kelemahan, rasa takut, dan hal-hal semisal lainnya yang menghalanginya dari berhukum dengan hukum Allah, sedangkan ia masih berkeyakinan bahwa hukum syari’at adalah yang benar dan tetap relevan pada semua tempat dan zaman. Namun, karena ia terpaksa dan terkalahkan, seperti seorang qadhi (hakim) yang terpaksa mendapat suap, atau seorang qadhi (hakim) yang cenderung mendukung salah satu dari kedua belah pihak, dan akhirnya ia menghukumi dan membela orang yang ia pilih karena hawa nafsunya, maka orang semacam ini tidak kafir dengan kekufuran yang besar (yang mengeluarkannya dari Islam, Red), akan tetapi ini adalah dosa besar.
Berhukum dengan selain hukum Allah adalah dosa besar dan musibah. Ini salah satu sebab kehinaan (umat Islam), kerendahan, dan sebab berkuasanya musuh-musuh (Islam).
Jadi, maksud ke tiga ayat di atas, yaitu “barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir… orang-orang yang zhalim… orang-orang yang fasiq” adalah, kekafiran di bawah kekafiran. Jika ia menganggap halal untuk tidak berhukum dengan hukum Allah, atau ia mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum syari’at ini, seperti yang saya sebutkan tadi, maka ia kafir murtad. Dan hal ini, mewajibkan kaum Muslimin untuk menggulingkannya dari tampuk kepemimpinan, jika mereka mampu untuk melakukannya.
Namun jika ia tidak mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum syari’at ini, dan tidak menganggap halal untuk berhukum dengan hukum-hukum buatan manusia, maka ia adalah fasiq, bermaksiat, dan berdosa. Kekafirannya (adalah) kekafiran kecil, kufrun ‘amali, bukan kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam, (bukan kekafiran) yang mewajibkan kaum Muslimin untuk menggulingkannya dari kekuasaan dan memeranginya dengan pedang.
Demikianlah perincian (dari jawaban di atas) yang telah diterangkan oleh para ulama.
Dan inilah yang telah ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas t terhadap ayat-ayat di atas.
(Syaikh Dr. Muhammad bin Musa alu Nashr -hafizhahulllah- dalam muhadharah di Masjid al Karim, Pabelan, Sukoharjo, Surakarta, Ahad, 19 Februari 2006).