IBU MENYURUH ANAKNYA MENCERAIKAN ISTRINYA

oleh -583 Dilihat
oleh
Soal: Jika seorang ibu menyuruh anak laki-lakinya yang sudah menikah untuk menceraikan istrinya sebagai akibat dari percekcokan yang terjadi antara si ibu dan keluarga si istri, padahal si istri sama sekali tidak ikut campur dalam masalah tersebut, dan secara kasat mata, si istri adalah wanita yang istiqamah dan baik, haruskah si anak menaati perintah ibu untuk menceraikan istrinya? Mohon penjelasan, jazakumullah khairan.

Jawab: Sebelum memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang mendera penanya, kami turut berempati kepada saudara dan semoga Allâh عزوجل memberikan solusi terbaik bagi saudara dan semua anggota keluarga penanya.

Saudaraku, sebagaimana telah diketahui bersama bahwa nash-nash syar’i yang terkait dengan menaati kedua orang itu banyak sekali. Nash-nash tersebut mengharuskan seorang anak untuk berbakti dan berbuat baik kepada keduanya, seperti firman Allâh عزوجل :

۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS. Al-Isra’/17:23)

Namun, perlu diketahui bahwa ketaatan itu harus dilakukan jika mereka memerintahkan untuk melakukan hal-hal yang ma’ruf (yang baik) bukan untuk melakukan perbuatan maksiat atau kemungkaran. Allâh عزوجل berfirman:

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman/31:15)

Dan berdasarkan sabda Rasûlullâh ﷺ :

 إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِيْ المَعْرُوفِ

Sesungguhnya kewajiban taat itu hanya ada pada hal-hal ma’ruf.1

Berdasarkan uraian di atas, apabila seorang ibu menyuruh anak laki-lakinya untuk menceraikan istrinya dengan beberapa sebab yang sekedar mengikuti hawa nafsu, sekedar menginginkan keduanya berpisah, atau disebabkan oleh pertengkaran atau permusuhan dua keluarga tanpa ada ikut campur tangan sama sekali dari istri anak laki-lakinya dalam permusuhan tersebut. Dalam hal ini, si ibu hanya ingin melampiaskan emosinya dengan menyuruh anaknya menceraikan istrinya sebagai bentuk balasan kepada istri dan keluarga istri. Jika demikian ini faktanya, maka perintah ibu tersebut bukan dilatar belakangi alasan yang syar’i. Oleh karena itu, si anak tidak wajib menaati permintaan ibunya dengan menceraikan istrinya. Rasûlullâh ﷺ bersabda:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ

Tidak boleh taat kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Allâh.2

Terlebih lagi, jika secara kasat mata terlihat beberapa indikasi ketakwaan, kebaikan dan keistiqamahan pada diri istri dalam kehidupan berumah tangga.. Bahkan seharusnya si anak laki-laki ini harus berusaha membantu ibunya agar menarik kembali permintaannya itu. Ini bertujuan supaya si ibu tidak terjerumus dalam perbuatan menzhalimi orang lain dan merusak kehidupan suami istri hanya disebabkan permusuhan dalam keluarga besar mereka. Rasûlullâh ﷺ bersabda:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْمًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَرُدُّهُ عَنْ ظُلْمِهِ فَذَاكَ نُصْرَةٌ لَهُ

Bantulah saudaramu yang berlaku zhalim atau yang dizhalimi. Para Sahabat bertanya, ‘Kami membantu saudara kami yang dizhalimi, lalu, bagaimana cara membantu saudara yang berbuat zhalim?’ Rasûlullâh ﷺ menjawab, “Engkau menahannya dari perbuatan zhalimnya. Itulah bentuk menolong saudara yang hendak berbuat zhalim.”3

Adapun jika perintah ibu kepada anak laki-lakinya agar menceraikan istrinya berdasarkan sebab-sebabyang sesuai syariat dan untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai syariat, maka si anak wajib taat. Misalnya, si istri terbukti melakukan keburukan, seperti melakukan praktek sihir atau perdukunan, atau melakukan keburukan dalam intraksinya dengan lelaki yang bukan mahramnya, atau terbukti dia melakukan pencurian, atau mengkhianati ikatan rumah tangga, atau dia berani keluar rumah pada waktu-waktu yang mencurigakan tanpa izin dari suaminya, atau si suami tahu bahwa si istri sering meninggalkan ibadah-ibadah yang diwajibkan dalam agama, berperangai buruk dan lain sebagainya. Jika ini benar-benar terbukti, bukan sekedar berdasarkan dugaan semata, maka si anak wajib mentaati perintah ibunya. Dia harus menceraikan istrinya.

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Ibnu Umar رضي الله عنه mengatakan:

كَانَتْ عِنْدِيْ امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا وَكَانَ أَبِيْ يَكْرَهُهَا فَأَمَرَنِيْ أَبِي أَنْ أُطَلِّقَهَا فَأَبَيْتُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ ص فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ! طَلِّقِ امْرَأَتَكَ

Saya memiliki seorang istri yang saya sukai, tapi bapakku tidak menyukainya. Lalu bapakku menyuruhku untuk menceraikannya, tapi sayakeberatan. Lalu saya menderitakan hal itu kepada Rasûlullâh ﷺ . Beliau ﷺ bersabda, “Wahai Abdullah bin Umar! Ceraikanlah istrimu!” Maka saya pun menceraikan istri saya itu.4

Hadits ini menunjukkan bahwa diantara hak seorang bapak yang baik dan bertujuan baik, sejalan dengan syariat, jika dia membenci istri anaknya dengan alasan yang sesuai syariat pula, maka dia berhak meminta anaknya untuk menceraikan istrinya dan kewajiban anak untuk menaati permintaannya. Jika seorang bapak berhak seperti ini, maka ibu lebih berhak melakukannya, karena hak seorang ibu terhadap anak melebihi hak seorang bapak terhadap anaknya. Ini jika ketentuan-ketentuan di atas yang sesuai syariat telah terpenuhi. Wallahu a’lam.

1 HR. Al-Bukhâri, no. 7145 dan Muslim, no. 1840 dari hadits Ali bin Abi Thâlib z .

2 HR. Ahmad, no. 1095 dari hadits Ali bin Abi Thâlib z . Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih olehSyaikh al-Albani t dalam as-Silsilah ash-Shahîhah, no. 179

3 HR. Al-Bukhâri, no. 6952 dari hadits Anas bin Malik z juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 2584 dari hadits Abdullah bin Jâbir.

4 HR. At-Tirmidzi, no. 1189; Al-Hakim, 4/169; Ahmad, no. 5011 dari hadits Ibnu Umar رضي الله عنه . Hadits ini dihukumi shahih oleh syaikh al-Albani t dalam al-Irwa’, 7/136

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!