Pernikahan dalam Islam bertujuan untuk membangun keluarga dalam naungan cinta. Keluarga adalah bagian kecil dari masyarakat yang harus disiapkan untuk membentuk masyarakat yang baik. Karena itulah Islam memberikan perhatian dalam mewujudkan faktor pendukung terciptanya hal ini. Bentuk perhatian ini dapat terlihat dari hukum syariat yang ditetapkan dalam membangun keluarga, nasehat, anjuran serta bimbingan dalam mewujudkan kehidupan yang baik.
Percampuran kaum Muslimin dengan orang kafir dewasa ini adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan, karena kepentingan di antara mereka sangat berkait akibat adanya pergaulan bebas. Tentunya hal ini dapat mengakibatkan munculnya hubungan yang terus menerus dan saling mempengaruhi di antara mereka.
Berkait dengan interaksi antar umat beragama, Islam memiliki aturan yang sempurna. Aturan ini dapat menjaga keselamatan aqidah dan kepribadian umatnya, secara umum ataupun individu. Peraturan ini harus diterapkan oleh kaum Muslimin demi menyelamatkan diri dan lingkungan dari kerusakan dan kesengsaraan.
Penerapan aturan ini menjadi semakin penting seiring dengan sedikitnya kaum muslimin yang mengerti syariat serta gencarnya propaganda pluralisme yang mengusung pemikiran bahwa semua agama itu sama. Jika tidak diterapkan, lambat laun aqidah al-Walâ’(setia kepada kaum muslimin) wal Barâ (membenci orang-orang kafir) yang merupakan salah satu pokok aqidah Islam, akan terkikis habis.
Di antara fenomena yang menunjukkan aqidah al-Walâ’ dan al Barâ ini mulai luntur dari hati sebagian kaum Muslimin dan perlu mendapatkan perhatian yaitu berlangsungnya pernikahan antara seorang wanita Muslimah dengan non muslim (baca kafir) di masyarakat kita. Peristiwa tragis ini terjadi, mungkin karena ketidaktahuan si pelaku terhadapajaran Islam tentang masalah ini atau ada yang sengaja mengaburkan ajaran Islam demi memuluskan penyebaran pemikiran pluralismenya. Oleh karena itu, aturan Islam tentang masalah ini perlu dijelaskan.
SIAPAKAH ORANG KAFIR ITU?
Orang kafir dalam syariat Islam adalah sebutan untuk umat non muslim yang terdiri dari kaum musyrikin dan ahli kitab, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah سبحانه وتعالى :
لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتّٰى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُۙ
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,
(Qs al-Bayyinah/ 98:1).
Oleh karena itu, saat membicarakan hukum pernikahan dengan orang kafir berarti mencakup hukum pernikahan dengan kaum musyrikin dan pernikahan dengan ahli kitab.
MENIKAHI WANITA MUSYRIK
Seorang Muslim dilarang menikahi wanita musyrik baik merdeka maupun budak. Berdasarkan firman Allah سبحانه وتعالى :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Dan sungguh wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
(Qs al-Baqarah/ 2:221).1
Hal ini juga ditegaskan dengan firman Allah سبحانه وتعالى :
وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir
(Qs al-Mumtahanah/ 60:10).
Sehingga setelah Allah عزوجل menurunkan ayat ini Umar bin al-Khatthab رضي الله عنه menceraikan dua istri beliau رضي الله عنه yang dinikahinya ketika masih musyrik.2
Ibnu Qudâmah رحمه الله menyatakan: Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa wanita dan sembelihan semua orang kafir selain ahli kitab seperti orang yang menyembah patung, batu, pohon dan hewan yang mereka anggap baik, haram (bagi kaum Muslimin).3
MENIKAHKAN WANITA MUSLIMAH DENGAN ORANG KAFIR
Kaum muslimin dilarang menikahkan wanita muslimah dengan semua orang kafir baik orang Yahudi, Nashrani, penyembah berhala (paganis) atau lainnya. Karena mereka tidak diperbolehkan menikahi wanita muslimah walaupun muslimah tersebut seorang fasiq. Allah عزوجل berfirman :
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun diamenarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
(Qs al-Baqarah/2:221).
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn رحمه اللهmenyatakan : Maknanya adalah janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min-red) hingga mereka beriman. 4
Hal ini juga dipertegas dengan firman Allah سبحانه وتعالى :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.
(Qs al-Mumtahanah/60:10).
Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi رحمه اللهmenyatakan : “Ayat ini berisi pengharaman wanita mukminah bagi orang-orang kafir.”5
Dalam ayat yang mulia ini Allah سبحانه وتعالى melarang untuk mempertahankan status pernikahan kaum mukminat dengan orang kafir. Bila status pernikahan yang sudah terjadi saja harus diputus, maka tentu lebih tidak boleh lagi bila memulai pernikahan baru.
Sedangkan secara logika tentang pelarangan ini, syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn menyatakan : “Adapun dalil nazhari (dalil akal), karena tidak mungkin seorang muslimah itu akan menjadi baik di bawah kekuasaan suami yang kafir padahal suami adalah sayyid (pemimpin), sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah سبحانه وتعالى :
وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيْصَهٗ مِنْ دُبُرٍ وَّاَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَا الْبَابِۗ
Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya menjumpai suami (sayyid) wanita itu di depan pintu. (Qs Yusuf/12:25).
Rasulullah n juga bersabda :
اتَّقوا اللهَ في النِّساءِ؛ فإنَّهُنَّ عَوانٍ عندَكم.
Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. 6
MENIKAHI WANITA AHLI KITAB
Allah سبحانه وتعالى telah melarang seorang muslim menikahi wanita musyrik secara umum dalam surat al-Baqarah ayat 221 di atas, namun Allah عزوجل mengecualikan larangan menikahi wanita ahli kitab dalam firman-Nya:
اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikanAl-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkanmengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan kaum mukminat dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik.
(Qs al-Mâidah/5:5).
Imam Abu Ja’far ath-Thabari رحمه اللهmenyatakan: “Pendapat yang paling rajih tentang tafsir ayat (221 dari al-Baqarah –pen-) adalah pendapat Qatâdah رحمه اللهyang menyatakan bahwa yang dimaksudkan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam firmanNya:
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ
(Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman) adalah wanita musyrik selain ahli kitab. Secara zhahir ayat ini bersifat umum. namun kandungannya bersifat khusus, tidak ada yang dimansukh (dihapus) sama sekali. Dan wanita ahli kitab tidak termasuk di dalam ayat di atas, karena Allah سبحانه وتعالى menghalalkan bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari ahli kitab dengan firman-Nya:
وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ
(dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu,) sebagaimana Allah عزوجل menghalalkan wanita-wanita mukminat yang menjaga kehormatan.7
Dengan dasar ayat ini para ulama membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab yang merdeka. Imam Ibnu Qudâmah رحمه اللهmenyatakan : “Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang kehalalan wanita merdeka ahli kitab. Di antara yang diriwayatkan (menikahi mereka) adalah Umar bin al-Khathab رضي الله عنه , Utsmân رضي الله عنه 8 , Thalhah رضي الله عنه , Hudzaifah رضي الله عنه 9 , Salmân رضي الله عنه , Jâbir رضي الله عنه 10 dan yang lainnya. Ibnu al-Mundzir رحمه اللهmenyatakan: Tidak ada riwayat shahih dari seorangpun ulama generasi pertama yang mengharamkan wanita ahli kitab yang merdeka.11
MENGAPA WANITA MUSLIMAH DILARANG MENIKAH DENGAN ORANG KAFIR? SEDANGKAN LELAKI MUSLIM DIPERBOLEHKAN MENIKAHI WANITA KAFIR AHLI KITAB?
Pertanyaan ini dijawab dari dua sisi :
- Islam itu tinggi dan tidak boleh direndahkan. Kepemimpinan dalam rumah tangga ada pada suami karena statusnya sebagai seorang lelaki walaupun setara dalam akad. Sebab kesetaraan tidak dapat menghilangkan perbedaan yang ada, sebagaimana dalam perbudakan. Apabila seorang lelaki memiliki budak wanita maka ia boleh menggaulinya dengan sebab perbudakan tersebut. Sedangkan wanita apabila memiliki budak lelaki maka tidak boleh berhubungan intim dengannya. Ditambah juga karena kepemimpinan lelaki atas wanita dan anak[1]anaknya, jika si suami kafir tentunya agama si istri dan anak-anaknya tidak selamat dari pengaruhnya.
- Islam itu sempurna sementara yang lain tidak. Maka dibangun di atas hal ini perkara sosial yang memiliki hubungan erat dalam tatanan rumah tangga. Seorang muslim apabila menikahi wanita ahli kitab maka ia beriman kepada kitab suci dan rasul wanita tersebut. Sehingga sang suami akan tinggal bersama istrinya ini dengan didasari penghormatan kepada agama sang istri secara garis besar. Lalu terjadilah di sana kesempatan untuk saling memahami dan bisa jadi mengantar wanita tersebut masuk Islam dengan konsekwensi kandungan kitab sucinya. Adapun bila seorang kafir ahli kitab menikahi wanita muslimah, ia tetap tidak beriman kepada agama wanita tersebut. Sehingga ia tidak menghormati prinsip dan agama istrinya. Dan tidak ada kesempatan untuk saling memahami pada perkara yang ia sendiri tidak mengimaninya. Karena itulah pernikahan ini dilarang.12
SIAPAKAH WANITA AHLI KITAB YANG DIMAKSUD?
Mayoritas ulama menafsirkan kata al-Muhshanât dalam ayat ini dengan wanita yang menjaga kehormatannya dan dengan dasar ini sebagian ulama membolehkan pernikahan wanita ahli kitab yang menjaga kehormatannya baik merdeka ataupun budak.
Sedangkan yang dimaksud dengan ahli kitab di sini adalah orang Yahudi dan Nashrani (Kristen).
Namun yang perlu diingat di sini, seorang muslim yang ingin menikahi wanita ahli kitab karena keadaan tertentu haruslah memiliki aqidah yang kokoh, mengerti hukum-hukum syari’at dan komitmen mengamalkan dan mematuhi hukum dan syiar Islam. Perlu diingat bahwa menikahi wanita ahli kitab mengandung banyak resiko terhadap aqidah sang lelaki ataupun nantinya berpengaruh pada agama anak keturunannya. Kenyataannya sudah jelas dan banyak terjadi, berapa banyak keluarga yang hancur agamanya dengan sebab ibunya seorang ahli kitab. Oleh karena itu, sebaiknya ingat kembali kepada sabda Rasulullah n :
تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأرْبَعٍ: لِمالِها ولِحَسَبِها وجَمالِها ولِدِينِها، فاظْفَرْ بذاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَداكَ
Wanita dinikahi karena empat perkara: hartanya, kemuliaan orang tuanya, kecantikannya dan agamanya, maka ambillah yang memiliki agama (baik), kamu akan beruntung (HR al-Bukhari).
Nikahilah wanita muslimah yang taat beragama! Itu lebih baik bagi anda.
Wabilahi taufiq.
Footnote:
1 Lihat Syarhu al-Mumti’ 12/146
2 Lihat kisahnya diriwayatkan dalam Shahîh al-Bukhâri –lihat Fath al-Bâri 5/322
3 Lihat al-Mughnî 9/548
4 Syarhu al-Mumti’ 12/145
5 Adhwâ’ al-Bayân 8/163
6 Syarhu al-Mumti’ 12/145. Hadits yang beliau sampaikan ini ada dalam sunan at-Tirmidzi dengan lafazh :
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
Ketahuilah berbuat baiklah pada wanita karena mereka adalah tawanan disisi kalian. (HR at-Tirmidzi no. 1163 dan beliau berkata : Hadits hasan shahih. Juga diriwayatkan ibnu Majah no. 1851)
7 Lihat Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ‘ 3/118
8 Diriwayatkan al-Baihaqi dengan sanad dha’îf sebagaimana disampaikan syaikh Musthafa al-‘Adawi dalam Jâmi’ Ahkâm an[1]Nisâ` 3/123
9 Diriwayatkan Sa’id bin Manshûr dan dinilai shahih oleh syaikh Musthafa al-‘Adawi dalam Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/122
10 Diriwayatkan Imam asy-Syâfi’i dalam al-Umm dan dinyatakan syaikh Musthafa al-‘Adawi : Para perawinya tsiqah. (lihat Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/122
11 Al-Mughni 9/545
12 Diambil dari Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ‘ 3/120 dengan sedikit perubahan.
Referensi:
1. Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ karya syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn
2. Al-Mughni karya Ibnu Qudâmah
3. Jâmi’ ahkâm an-Nisâ‘ karya syaikh Musthafa al- ’Adawi
4. Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri karya Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.
Majalah As-Sunnah Edisi 11 tahun XII/1430H /2009 M