Bagaimana hukumnya seorang istri yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang jelas? Saya mohon masalah istri menggugat cerai suami dapat dibahas di Majalah As-Sunnah dengan menyertakan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Terima kasih. Jazakumullahu khairan. Terima kasih. Jazakumullahu khairan
‘Abdullah Brt
Jawab: Para suami dan istri, semoga Allah سبحانه وتعالى senantiasa mencurahkan ketenangan, mawadah wa rahmah di tengah keluarga kita.
Islam mensyariatkan hubungan pernikahan agar menjadi hubungan yang langgeng, abadi dan tidak runtuh. Di dalamya tumbuh kesepahaman dan mengikis perbedaan. Pedoman-pedoman umum rumah tangga juga ditetapkan, supaya ketenangan dan stabilitas menaungi keberadaan sebuah keluarga. Dan pernikahan merupakan jalinan ikatan yang kuat lagi sakral dalam Islam. Allah menamakannya sebagai mitsâq ghalîzh (perjanjian yang kuat).
Karenanya, masalah-masalah yang berkembang seputar pernikahan mendapatkan perhatian yang besar, tidak dibiarkan tanpa tuntunan. Dengan demikian, pengaruh hawa nafsu dapat dihalau dari pasangan suami istri. Dan mereka pun mengemudikan biduk rumah tangga dengan tuntunan yang jelas.
Pembagian tugas antara suami istri sudah digariskan. Yaitu dengan mempertimbangkan tabiat dan keadaan masing-masing. Yakni dengan mengedepankan asas keadilan dan petunjuk yang lurus. Allah berfirman, yang artinya: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs al-Baqarah/2:228).
Sebagaimana juga Islam telah berpesan agar kasih sayang dan rasa cinta selalu menghiasi kehidupan rumah tangga, kebaikan dan kebersamaan mengiringi suami istri. Allah berfirman, yang artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Qs an-Nisâ‘/4:19).
Meski kaidah syariat sudah ditegakkan untuk mempertahankan keutuhan keluarga, akan tetapi faktor kekeliruan dan kesalahpahaman yang menjadi tabiat manusia, tetap memiliki potensi yang dapat menggoncang ketentraman kehidupan suami istri. Sebab, menyatukanpandangan dua orang yang berbeda dalam semua aspek bukan pekerjaan mudah. Terlebih lagi jika antara suami istri itu mempertahankan egonya masing-masing.
Perbedaan-perbedaan yang masih bisa ditolelir agama, tidak akan melahirkan persoalan, selama masing-masing menjaga muamalah dengan pasangannya secara ma’ruf (baik). Bergaul dengan penuh kelembutan dan sabar. Suami memuliakan istri, dan begitu sebaliknya. Bisikan hawa nafsu dan ego pribadi harus dijauhkan sedemikian rupa. Karena salah satu faktor yang sering menghancurkan keutuhan rumah tangga ialah senangnya mencari-cari kesalahan, kekeliruan, kelemahan pasangannya dan mengungkit-ungkitnya, bahkan kemudian suka memperbesar persoalan yang sebenarnya sederhana. Hingga terkadang, karena emosi yang memuncak, masing-masing tidak bisa mengontrol jiwa dan mental, serta dengan intervensi orang-orang yang tidak berkepentingan.
Akan tetapi, wahai para suami dan istri! Bagaimana jalan yang mesti ditempuh untuk menuntaskan perbedaan pendapat, pertikaian dan meredam kemarahan?
Apakah dengan menjatuhkan thalaq kepada istri, atau sebaliknya istri meminta agar suami menjatuhkan thalaq kepadanya, sebagaimana ditempuh orang-orang yang dilanda kebuntuan pikiran dan hati, tergesa-gesa, tanpa mempertimbangkan dampak buruknya di keesokan hari?
Persoalan thalaq (perceraian) tidak lepas dari hukum agama. Seorang suami tidak bisa secara sembarangan melontarkanya, atau seorang istri memintanya. Allah melarang, jangan sampai aturan-aturan itu dilanggar. Allah berfirman berkaitan dengan persoalan thalak, yang artinya: Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (Qs ath-Thalâq/65 : 1).
Sebagaimana juga thalaq merupakan salah satu ayat dari ayat-ayat Allah, maka seharusnya dipahami, dimengerti, dan tidak boleh dipermainkan. Allah berfirman, yang artinya: Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apyang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (Qs al-Baqarah/2:231).
Lantas, bagaimana terapi untuk menyelesaikan pertikaian dalam rumah tangga? Hal ini sudah dijelaskan dalam surat an-Nisâ‘/4 ayat 34-35.
Pertanyaannya kemudian, apakah suami istri itu masing-masing telah menjalankan kewajibannya? Apakah sudah menempuh jalan penyelesaian, yaitu mendatangkan dua penengah dari pihak keluarga masing-masing untuk ikut membahas dan memberikan solusi yang tepat bagi masing[1]masing suami istri itu? Atau lantaran tidak ingin berbelit[1]belit, maka aturan-aturan Allah tadi dikesampingkan?
Syaikh Dr. ‘Abdur-Rahman as-Sudais, Imam Masjidil-Haram berkata: “Bila masih dimungkinkan untuk menyatukan, maka seorang wanita tidak boleh menempuh jalur memutuskan tali pernikahan dengan meminta (menggugat) cerai (dari suaminya). Rasulullah ﷺ bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
(Wanita mana yang meminta perceraian dari suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya aroma surga).1
Perceraian, bila terjadi tanpa alasan-alasan syar’i, berarti hanya mengada-ada dan sekedar mempermainkan. Ini bisa menimbulkan kerusakan bagi kehidupan, yang tentunya ditentang oleh Islam. Dimanakah orang-orang yang sudi memikirkan akibat-akibat buruk pasca perceraian? Siapakah yang mau memikirkan nasib anak-anaknya setelah kedua orang tuanya bercerai? Apakah dosa dan kesalahan anak-anaknya sehingga harus menangung beban sehingga “kehilangan” salah satu dari orang tuanya sehingga tidak lagi mendapatkan bimbingan dan kasih sayang dengan sepenuhnya?
Ketahuilah, bahwa thalaq termasuk peristiwa yang sangat disenangi oleh setan. Imam Muslim meriwayatkan, yang artinya: Sesungguhnya iblis meletakkan kerajaannya di atas air. Lantas, mengutus pasukan-pasukannya. Prajurit yang paling dekat dengannya, ia adalah yang paling besar fitnahnya. Kemudian salah satu dari mereka datang untuk melaporkan: “Aku telah melakukan ini dan itu!” Maka Iblis berkomentar: “Engkau tidak melakukan apa-apa!” Selanjutnya yang lain datang seraya berkata: “Tidaklah aku tinggalkan (anak Adam) sampai aku pisahkan dirinya dengan istrinya,” maka Iblis mendekatkannya seraya berseru: “Bagus benar dirimu”. (HR Muslim, 2813)
Namun, apabila perbedaan sudah meruncing, sulit untuk dijembatani lagi, sehingga menyebabkan suasana kehidupan rumah tangga kian hari justru tidak semakin baik, maka Islam keluasan, sebagaimana tersebut dalam firman Allah, yang artinya: Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana. (Qs an-Nisâ‘/4:130).
Persoalannya, jika seorang istri mengajukan gugagat cerai tanpa alasan jelas, maka hal ini termasuk dosa besar. Peringatan ini mendapat ancaman keras sebagaimana terdapat dalam hadits.
Akan tetapi, sebuah gugatan cerai dapat disahkan oleh agama bila ada alasan syar’i. Misalnya karena naqshud-dîn (kurangnya agama, umpamanya tidak shalat, tidak puasa), akhlak buruk pada diri suami yang suka bertindak sewenang-wenang, hingga menyebabkan istri sangat tertekan dan tidak mampu lagi memenuhi hak suami dengan baik.2
Meski demikian, keputusan atas gugatan isri ini tetap berada di tangan suami, kecuali bila perkaranya sudah masuk kepada hakim, maka hakim atau qadhi dapat memaksa sang suami tersebut untuk menceraikan istrinya. Dijelaskan dalam sebuah hadits, yang artinya: Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya istri Tsâbit bib Qais mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai, Rasulullah. Aku tidak mencela Tsâbit bin Qais pada akhlak dan agamanya, namun aku takut berbuat kufur dalam Islam,” maka Nabi ﷺ bersabda: “Apakah engkau mau mengembalikan kepadanya kebunnya?” Ia menjawab,”Ya, Rasulullah ﷺ ,” lalu beliau ﷺ bersabda: “Ambillah kebunnya, dan ceraikanlah ia”. (HR al-Bukhari).
Para ulama berselisih dalam hukum khulu‘ (cerai atas permintaan istri). Yakni, apakah termasuk thalak atau fasakh (lepas ikatan nikahnya)?
Pendapat yang râjih -insya Allah- bahwa perceraian atas permintaan istri ini termasuk fasakh. Sehingga setelah jatuh keputusan cerai tersebut, maka sang istri sudah bukan lagi menjadi tanggungan suami, dan istri menyerahkan mahar. Kemudian, statusnya ialah menjadi orang asing, dan tidak tinggal di rumah suami. Apabila pasangan tersebut ingin meretas kembali kehidupan rumah tangga setelah khulu‘, maka harus menunggu iddahnya sekali haidh, dan dengan pernikahan baru. Wallahu a’lam.
Demikian jawaban singkat dari pertanyaan tersebut. Insya Allah, pembahasan yang lebih luas dalam permasalahan khulu’ (istri menggugat cerai dari suami) ini akan kami pertimbangkan.
Semoga Allah menganugerahi keutuhan rumah tangga, bagi setiap insan muslim.
Footnote:
1. Abghadhul-Halâl, Dr. ‘Abdur-Rahman as-Sudais. Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Baihaqi, dari sahabat Tsaubân (Shahihul Jami’ no. 2703)
2. Nailul-Authâr (4/240,285). Lihat pula Fatâwâ Mar‘ah Muslimah, hlm. 770-771
Majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007M