Salah satu watak bawaan manusia sejak diciptakan Allâh سبحانه وتعالى adalah kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya, dalam kebaikan maupun keburukan. Rasûlullâh ﷺ bersabda:
اْلأَرْوَاحُ جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih. 1
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan figur untuk diteladani termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.
Dalam banyak ayat al-Qur’ân Allâh menceritakan kisah-kisah keteladanan para nabi untuk menjadi panutan bagi orang-orang yang beriman dalam meneguhkan keimanan mereka. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ
Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman (QS. Hûd/11:120)
Ketika menjelaskan makna ayat ini, Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di رحمه الله berkata; “Yaitu: supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti kesabaran para Rasul n, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shaleh, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan.” 2
MENJADIKAN DIRI SEBAGAI PANUTAN DALAM KELUARGA
Termasuk teladan yang utama bagi keluarga kita adalah diri kita sendiri, karena kita yang paling dekat dengan mereka dan paling mudah mempengaruhi akhlak dan tingkah laku mereka. Maka, menampilkan keteladanan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anggota keluarga merupakan sebuah metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama telah menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar daripada pengaruh ucapan3 .
Alasannya, jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan4 .
Dari situ, seorang pendidik yang ingin sukses dalam mendidik anggota keluarganya, hendaknya berusaha memanfaatkan keberadaannya di tengah-tengah keluarganya untuk mendidik dan mengarahkan mereka kepada petunjuk Allâh سبحانه وتعالى , bukan hanya dengan ucapan dan nasehat, tapi lebih dari itu, dengan menampilkan keteladanan yang baik yang langsung tampak di mata mereka. Di samping membiasakan mereka melihat praktek amal-amalkebaikan, keteladanan ini juga akan menumbuhkan kecintaan dan kekaguman dalam diri mereka terhadapnya, yang pada gilirannya akan memudahkan mereka untuk mengikuti semua bimbingan dan petunjuknya.
Imam Ibnul Jauzi رحمه الله membawakan sebuah ucapan seorang ulama Salaf terkenal, Ibrâhîm al-Harbi5 . Dari Muqâtil bin Muhammad al-’Ataki, beliau berkata: “Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishâq Ibrâhîm al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?” Ayahku menjawab: “Ya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”6 .
Syaikh Bakr Abu Zaid رحمه الله , ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata: “Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan bentuk pendidikan praktis (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari jalur pendidikan yang baik yang akan membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia).’ “7
MEMBERI MANFAAT ROHANI BAGI ANGGOTA KELUARGA
Perumpamaan seorang pendidik yang berilmu seperti hujan yang baik, dimanapun dia berada, maka dia akan memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya 8 . Inilah makna firman Allâh سبحانه وتعالى tentang ucapan Nabi Isa عليه السلام:
وَّجَعَلَنِيْ مُبٰرَكًا اَيْنَ مَا كُنْتُۖ
Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada (QS. Maryam/19:31)
Maksudnya, Allâh سبحانه وتعالى menjadikan aku (insan yang) bermanfaat bagi orang-orang yang hidup di sekitarku, dengan aku mengajarkan kebaikan kepada mereka, memerintahkan (mereka) berbuat kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta menyeru mereka ke jalan Allâh سبحانه وتعالى dengan ucapan dan perbuatanku”9 .
Melalui biografi bentang beberapa ulama Salaf, kita dapati banyak kisah nyata peranan seorang pendidik dalam memberikan manfaat bagi masyarakat. Misalnya, dalam sejarah kehidupan salah seorang Imam besar dari kalangan Tabi’in, Hasan bin Abil Hasan al-Bashri رحمه الله 10 . Khâlid bin Shafwân رحمه الله 11 menerangkan sifat-sifat baik Hasan al-Bashri kepada Maslamah bin ‘Abdul Malik رحمه الله 12 dengan berkata: “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan, maka dia pun berdiri di atas urusan tersebut (tetap komitmen dengannya)…dan seterusnya”. Setelah mendengar penjelasan tersebut, Maslamah bin ‘Abdul Malik tberkata: “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”13
Demikian pula apa yang disebutkan dalam biografi Imam ‘Abdur Rahmân bin Abân bin ‘Utsmân bin ‘Affân al-Qurasyi t. 14 Beliau adalah seorang yang sangat tekun beribadah. Suatu hari, Imam ‘Ali bin ‘Abdullâh bin ‘Abbâs رحمه الله 15 melihatnya dan kagum dengan ketekunannya dalam beribadah, maka beliau pun meneladaninya dalam kebaikan 16.
Inilah gambaran keberkahan hidup dan manfaat keberadaan seorang pendidik yang teladan di tengah masyarakatnya, terlebih lagi di tengah keluarganya, orang-orang yang paling berhak mendapatkan manfaat dan kebaikan darinya.
SEBAIK-BAIK TELADAN BAGI KELUARGA MUSLIM
Tentu saja, sebaik-baik teladan bagi keluarga Muslim adalah Nabi Muhammad ﷺ, yang diutus oleh Allâh سبحانه وتعالى untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana sabda beliau n: Aku diutus (oleh Allâh) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. 17
Beliau ﷺ adalah orang yang paling kuat dan sempurna dalam menjalankan petunjuk Allâh سبحانه وتعالى , mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya18. Oleh karena itulah, Allâh سبحانه وتعالى memuji keluhuran budi pekerti beliau dalam firman-Nya:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam/68:4)
Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah ﷺ , Ummul Mu‘minin ‘Aisyah x menjawab: “Sungguh, akhlak Rasûlullâh ﷺ adalah al-Qur’ân.” 19
Beliau ﷺ adalah sosok teladan dan idola yang sempurna bagi orang-orang yang beriman kepada Allâh سبحانه وتعالى yang menginginkan kebaikan dan keutamaan dalam hidup mereka. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh (QS. al-Ahzâb/33:21)
Dalam ayat yang mulia ini, Allâh سبحانه وتعالى menamakan semua perbuatan Rasûlullâh ﷺ sebagai “teladan yang baik”. Ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasûlullâh ﷺ berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqîm (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allâh سبحانه وتعالى. 20
Setelah itu, teladan yang baik bagi seorang Mukmin adalah orang-orang yang teguh dalam menegakkan tauhid dan keimanan mereka, sehingga Allâh سبحانه وتعالى sendiri yang memuji perbuatan mereka sebagai “suri teladan yang baik” dalam firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri (nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (yang mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allâh semata” (QS. al-Mumtahanah/60:4)
Ketika mengomentari ayat ini, Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di رحمه الله berkata: “Sesungguhnyakeimanan dan pengharapan balasan pahala (dalam diri seorang Muslim) akan memudahkan dan meringankan semua kesulitan baginya, serta mendorongnya untuk senantiasa meneladani hamba-hamba Allâh سبحانه وتعالى yang shaleh, para nabi dan rasul, karena dia memandang dirinya sangat membutuhkan semua itu”21
Dalam hal ini, para Sahabat Nabi merupakan teladan yang utama (setelah dari kalangan dari nabi dan rasul) bagi orang yang beriman, karena Allâh سبحانه وتعالى memuji mereka dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya yang artinya:
Muhammad itu adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia (para sahabat رضي الله عاليهم ) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi penyayang di antara sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allâh dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. al-Fath/48:29)
‘Abdullâh bin Mas’ûd z berkata: “Barangsiapa di antara kamu yang ingin mengambil teladan, maka hendaknya dia meneledani para Sahabat Nabi n, karena mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di umat ini, paling dalam pemahaman (agamanya), paling jauh dari sikap berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allâh untuk menjadi sahabat Nabi-Nya. Maka, kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus”22.
PENGARUH POSITIF TELADAN YANG BAIK BAGI KELUARGA
Di antara pengaruh positif teladan yang baik termuat dalam firman Allah سبحانه وتعالى berikut:
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ
Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman (QS. Hûd/11:120)
Dalam ayat ini, jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’ân tentang ketabahan dan kesabaran para nabi dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allâh sangat berpengaruh besar dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang beriman di jalan Allâh سبحانه وتعالى .
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Allâh سبحانه وتعالى berfirman: “Semua yang Kami ceritakan padamu tentang kisah para rasul yang terdahulu bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi (dengan umat-umat mereka), ketabahan para nabi dalam (menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta bagaimana Allâh سبحانه وتعالى menolong golongan orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya (yaitu) orang-orang kafir, semua ini termasuk perkara yang (membantu) meneguhkan hatimu, wahai Muhammad n, agar engkau bisa mengambil teladan dari saudara-saudaramu dari para Nabi terdahulu”23.
Imam Abu Hanîfah رحمه الله pernah berkata: “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai daripada kebanyakan (masalah-masalah) fikih, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” 24.
Demikian pula termasuk manfaat besar teladan yang baik bagi keluarga ialah menumbuhsuburkan rasa kagum dan cinta dalam diri mereka kepada orang-orang bertakwa dan mulia di sisi Allâh سبحانه وتعالى , yang ini merupakan sebab utama meraih kemuliaan yang agung di sisi Allâh l, yaitu dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari Kiamat nanti.
Nabi ﷺ bersabda: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”. Sahabat yang mulia, Anas bin Mâlik رضي الله عنه , yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah ﷺ , berkata: “Kami (para Sahabat رضي الله عاليهم ) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami sewaktu mendengar sabda Nabi ﷺ : “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”, maka aku mencintai Rasulullah ﷺ , Abu Bakr dan Umar رضي الله عنهما , dan aku berharap akan (dikumpulkan oleh Allâh سبحانه وتعالى ) bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka”25.
PENUTUP
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua kaum Muslimin, utamanya bagi mereka yang memiliki tanggung-jawab mendidik anggota keluarganya. Dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh سبحانه وتعالى dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar berkenan senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua, dan memudahkan kita menjadi kunci kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita, utamanya keluarga kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa.
Maraji’ :
- HR. al-Bukhâri no. 3158 dan Muslim no. 2638
- Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 392
- Lihat al-Mu’în ‘ala Tahshîli Adabil ‘Ilmi” hlm. 50 dan Ma’âlim fî Tharîqi Thalabil ‘Ilmi hlm. 124
- Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di dalam tafsir beliau hlm. 271
- Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islâm Ibrâhim bin Ishâq bin Ibrâhim bin Basyir al-Baghdâdi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ 13/356
- Shifatush Shafwah 2/409
- Hirâsatul Fadhîlah hlm. 127-128
- Lihat Ma’âlimu fî Tharîqi Thalabil ‘Ilmi hlm. 131
- Lihat kitab “Fathul Qadîr” 4/454 dan Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 492
- Beliau adalah Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai Tabi’in yang paling utama. Lihat Tahdzîbul Kamâl (6/95) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ 4/563
- Abu Bakr Khâlid bin Shafwân bin al-Ahtam al-Minqari al-Bashri, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab. Lihat biografi beliau dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ 6/226
- Maslamah bin Abdil Mâlik bin Marwân bin al-Hakam (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz dan meriwayatkan hadits darinya. Lihat Tahdzîbul Kamâl 27/562 dan Siyaru A’lâmin Nubalâ 5/24
- Siyaru A’lâmin Nubalâ 2/576
- Beliau adalah cucu Sahabat yang mulia ‘Utsmân bin ‘Affân رحمه الله , seorang imam ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Nabi ﷺ . Lihat Taqrîbut Tahdzîb” hlm. 335
- Beliau adalah putra sahabat yang mulia ‘Abdullâh bin ‘Abbâs رحمه الله , seorang imam ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Nabi ﷺ . Lihat Taqrîbut Tahdzîb hlm. 403
- Siyaru A’lâmin Nubalâ’ 5/10-11
- HR. Ahmad (2/381) dan al-Hâkim no. 4221. Lihat ash-Shahîhah no. 45
- Lihat keterangan Imam Nawawi رحمه الله dalam Syarh Shahîh Muslim 6/26
- HR. Muslim no. 746)
- Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 481
- Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 856
- Jâmi’u Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi no. 1118
- Tafsir Ibnu Katsir 2/611
- Jâmi’u Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi no. 595
- HR. al-Bukhâri no. 3485 dan Muslim no. 2639
Majalah As-Sunnah Baituna | Dzulhijjah 1431H / November 2010M