Dalam upaya membina keluarga yang Islami dan menggapai ridha Ilahi, tak jarang seorang ayah sebagai kepala keluarga menghadapi berbagai problematika yang tak mudah diselesaikan. Baik yang terkait dengan urusan duniawi, bahkan dengan masa depan ukhrawi dirinya maupun angota keluarganya.
Di antara yang berhak mendapatkan perhatian khusus dalam hal ini ialah problematika anak, sang buah hati. Sejak ia dilahirkan, banyak harapan indah yang terbayangkan di benak. Pada setiap fase tumbuh kembangnya selalu diharapkan ada prestasi dan kemajuan yang dinanti untuk dibanggakan dan dipuji.
Namun, tidak semua harapan itu menjadi kenyataan sebagaimana yang diimpikan. Karena, tidak sedikit orang tua yang justru harus menelan pil pahit melihat kondisi anak yang disayangnya. Tak hanya melakukan kenakalan remaja yang umum terjadi, bahkan sebagian anak yang sempat tumbuh dalam lingkungan iman ternyata goyah dan akhirnya tergelincir. Di tengah hiruk pikuk keburukan yang semakin dahsyat, sebagian generasi muda yang hilang arah dengan berbagai sebab, sampai akhirnya mereka menanggalkan keimanan, melepaskan kendali aqidah dan keyakinan kemudian selanjutnya menjadi murtad. Wal`iyâdzubillâh …
Bahaya! Bukan Masalah Sepele!!
“Anak menjadi murtad” ?! Bila ada orang tua yang memandang enteng akan hal ini, seakan tidak terjadi bahaya apapun, maka ungkapan yang seharusnya pertama kali terucap ialah innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`un … Sangat disayangkan, apabila ada orang tua yang mengalami kenyataan ini namun menganggapnya sebagai perkara sepele, yang seakan tidak membutuhkan perhatian. Fenomena semacam ini turut melengkapi dinamika kehidupan keluarga perkotaan maupun pedesaan. Padahal, di antara konsekuensi fatal dari hal tersebut ialah putusnya ikatan cinta dan berakhirnya loyalitas. Karena sesungguhnya, cinta yang hakiki dan loyalitas yang sejati hanyalah terhadap hamba-hamba Allâh سبحانه وتعالى yang beriman kepada-Nya, tidak diberikan kepadaorang-orang kafir yang mendurhakai keimanan kepada Allâh سبحانه وتعالى. Kewajiban seorang Mukmin adalah tidak menjadikan orang kafir sebagai orang yang berhak mendapatkan kecintaan darinya.
Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا عَدُوِّيْ وَعَدُوَّكُمْ اَوْلِيَاۤءَ تُلْقُوْنَ اِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai wali yang kalian cintai (QS. al-Mumtahanah/60:1)
Dan siapakah musuh Allâh سبحانه وتعالى itu? Musuh Allâh سبحانه وتعالى adalah orang-orang kafir. Allâh سبحانه وتعالى berfirman,
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّلّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَرُسُلِهٖ وَجِبْرِيْلَ وَمِيْكٰىلَ فَاِنَّ اللّٰهَ عَدُوٌّ لِّلْكٰفِرِيْنَ ٩٨
“Barangsiapa yang menjadi musuh bagi Allâh bagi para Malaikat-Nya, para Rasul-Nya, Jibril serta Mikail, maka sesungguhnya Allâh memusuhi kaum kafir”. (QS. al-Baqarah/2:98)
Kaum Mukminin tidak diperbolehkan untuk mencintai orang kafir (kecuali kecintaan karena tabiat/ naluri, seperti kecintaan bapak kepada anak, anak kepada bapak, suami kepada istri, dan semacamnya -red) meskipun ia masih memiliki hubungan darah, garis kekeluargaan, maupun tali persaudaraan dengannya. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ ٢٢
Tidak akan engkau dapatkan dari kaum yang (benar-benar) beriman kepada Allâh kdan hari akhir mencintai orang yang menentang Allâh سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya, sekalipun (yang kafir itu) ialah ayah mereka, atau putra mereka, atau saudara kandung mereka, atau sanak keluarga mereka. (QS. al-Mujâdalah/58 : 22)
Dia Bukan Anakmu
Bila anak telah menjadi murtad, sesungguhnya telah terputuslah tali kasih dan ikatan cinta. Kisah Nabi Nuh عليه السلام bersama putranya menjadi bukti nyata hal tersebut. Perjalanan dakwah Nabi Nuh عليه السلام terhadap keluarganya kaya hikmah untuk dikaji. Perjuangan beliau menegakkan tauhid tidak hanya dicemooh oleh kaumnya, tetapi juga diabaikan oleh putera sendiri. Pada saat Allâh سبحانه وتعالى mengirimkan adzab atas kekafiran mereka berupa banjir hebat, Nabi Nuh عليه السلام memanggil putranya seraya berkata, “Duhai putraku, naiklah engkau (ke dalam kapal) bersama kami dan janganlah engkau berada bersama orang-orang yang kafir”.
Namun, apa jawab putranya itu? “Aku akan mencari perlindungan ke (puncak) gunung yang dapat menjagaku dari banjir!”. Nabi Nuh عليه السلام mengingatkan putranya dengan berkata lagi, “Hari ini tidak ada lagi yang dapat melindungi dari adzab selain Allâh سبحانه وتعالى (saja) Yang Maha Penyayang”. Ketetapan Allâh سبحانه وتعالى pun terjadi, gelombang besar menjadi penghalang antara mereka berdua, dan anaknya termasuk manusia yang ditenggelamkan.
Setelah itu, Nabi Nuh عليه السلام menyeru kepada Allâh سبحانه وتعالى seraya berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya putraku bagian dari keluargaku. Sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar dan Engkaulah Hakim yang paling adil”. Maka Allâh سبحانه وتعالى menjawab, “Wahai Nuh, sesungguhnya ia bukanlah anakmu. Sesungguhnya itu adalah amal yang tidak shalih”.1
Imam Ibnu Katsir رحمه الله menjelaskan, maksudnya dia bukan anakmu yang berhak untuk diselamatkan disebabkan kekufuran dan kedurhakaannya kepada utusan Allâh سبحانه وتعالى yang sekaligus menjadi ayahnya.2
Dengan jelas, melalui ayat di atas bahwa kekufuran dan kedurhakaan seseorang kepada Allâh سبحانه وتعالى dapat menghalangi permohonan keselamatan bagi dirinya.
Pesan Tauhid Selalu yang Utama
Para nabi dan kaum shalih menanamkan kekokohan agama dalam diri anak keturunan mereka. Mereka tidak rela melihat penyimpangan keyakinan terjadi pada diri anak-anak keturunan mereka. Berbagai metode mereka lakukan demi keutuhan tauhid.
Lihatlah, bagaimana Nabi Ibrâhîm عليه السلام dan Ya`qûb عليه السلام , mereka berdua berwasiat kepada anak-anak mereka seraya berkata, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allâh telah memilih agama ini untuk kalian, maka janganlah sekali-kali kalian wafat melainkan dalam kondisi beragama Islam”. 3
Dan menjelang wafat, Nabi Ya`qûb عليه السلام bermaksud untuk memastikan keteguhan iman dalam diri anak-anaknya. Beliau bertanya, “Siapa yang akan kalian ibadahi sepeninggalku nanti?”.4
Demikian juga yang diperbuat oleh Lukmân al-Hakîm, beliau menitipkan sederetan wasiat luhurkepada putranya yang Allâh سبحانه وتعالى abadikan dalam kitab suci al-Qur’ân.5 Wasiat tentang tauhid dan pengesaan ibadah kepada Allâh سبحانه وتعالى menduduki rangking pertama, karena memang itulah prioritas yang harus diutamakan.
Rasûlullâh Muhammad صلى الله عليه وسلم pun menancapkan tauhid pada diri keluarga beliau n. Suatu hari Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم pernah menegaskan kepada putrinya, Fatimah رضي الله عنها , “Wahai Fatimah binti Muhammad, selamatkanlah dirimu sendiri dari api neraka, aku tidak memiliki kekuasaan Allâh سبحانه وتعالى sedikit pun bagimu”.6 “Wahai Fatimah binti Rasulillah, mintalah (harta) apapun yang engkau kehendaki dariku, -akan tetapi- aku tidak akan bermanfaat (menolongmu) dari Allâh sedikit pun”.7
Semua ini menggambarkan kesungguhan mereka dalam penanaman aqidah dan pengukuhan tauhid kepada Allâh سبحانه وتعالى .
Belajar Sebelum Mengajarkan
Tidak diragukan lagi arti penting penanaman nilai-nilai aqidah pada diri anak cucu kita, agar mereka tumbuh sebagai hamba Allâh سبحانه وتعالى yang bertauhid kepada-Nya. Kapanpun, di manapun, bersama siapapun dan dalam kondisi apapun tauhid senantiasa tertancap kuat di hati mereka dan menjadi pilar mendasar dalam setiap gerak langkah mereka di berbagai ucapan dan sikap perbuatan.
Tentu saja, ini semua menuntut para orang tua untuk terlebih dahulu berilmu tentang tauhid, mempelajarinya, mengkajinya dan mencerminkannya dalam setiap sendi kehidupan sehari-hari. Bagaimana mungkin orang tua berharap dapat melihat putra-putri mereka bertauhid, namun belum memulainya dari diri sendiri terlebih dahulu? Hendaknya orang tua belajar sebelum mengajarkan, memberikan keteladanan kepada anak-anak mereka. Menjadi pembimbing sebelum menuntut dan menjatuhkan vonis kesalahan.
Tidakkah setiap orang tua mendambakan perjumpaan mereka dengan keluarga dan anak-anak mereka dalam kenikmatan surga Allâh سبحانه وتعالى ? Tidakkah para orang tua mengidam-idamkan kebahagiaan hakiki bersama putra-putri mereka dalam keindahan negeri ukhrawi? Semua itu dapat terwujud dengan kunci tauhid serta keimanan yang kekal bertahan sampai ajal menjemput nyawa. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ ٢١
Dan orang-orang yang beriman dan keimanan mereka diikuti oleh anak keturunan mereka, Kami akan mempertemukan mereka dengan anak keturunan mereka itu (di surga) dan Kami tidak akan mengurangi (balasan) bagi amalan mereka sedikit pun. Setiap hamba tergadaikan dengan apa yang telah diusahakannya. (QS. ath-Thûr/52:21)
Bila Terlanjur Terjadi
Bilamana seorang anak telah terlanjur menjadi murtad, lantas apa yang harus kita lakukan?? Bukan sekedar meneteskan air mata kesedihan, menggelengkan kepala tanda pasrah seakan tak tahu apa yang harus dilakukan, atau mengangkat kedua bahu sebagai isyarat kebuntuan. Benar, ini adalah bagian dari ujian hidup di dunia dan ketetapan dari Allâh سبحانه وتعالى , akan tetapi, bukan terus berpangku-tangan tanpa menempuh solusi perbaikan dan usaha perubahan. Banyak langkah dakwah dan upaya tashfiyah (pensucian akidah) yang dapat kita lakukan, di antaranya;
Pertama. Ajaklah anak itu agar dapat berpikir lebih jernih dan kembali beriman kepada Allâh سبحانه وتعالى . Ingatkanlah kepadanya janji-janji kebaikan Allâh سبحانه وتعالى bagi hamba yang beriman. Sampaikanlah belas kasih dan kekhawatiran orang tua akan keburukan yang terjadi akibat kemurtadannya. Jalinlah komunikasi persuasif dengan penyampaian yang dapat mendamaikan hatinya. Sekalipun orang tua memiliki kewenanangan untuk mengingkari kemungkaran dengan kekuasaan yang mereka miliki di dalam rumah, akan tetapi hindarilah tahapan-tahapan dakwah dengan kekerasan dan penentangan atau ancaman dan tekanan. Jika sebelum anak itu murtad, begitu besar kepedulian orang tua akan kebaikan diri anaknya, maka setelah kemurtadannya kepedulian itu haruslah lebih besar demi keselamatannya di dunia dan di akhirat kelak. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ ١٢٥
Ajaklah (manusia) menuju jalan Rabbmu dengan cara yang hikmah, mau`izhah yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. (QS. An-Nahl/16:125)
Kedua. Perlakukanlah ia dengan baik, lunakkanlah hatinya dengan apapun yang dibenarkan dalam syariat Islam untuk dilakukan agar ia dapat kembali bertauhid kepada Allâh k. Raihlah simpatinyamelalui cerminan keindahan dalam setiap amalan ajaran agama Islam, serta bersabarlah dalam menjalankannya. Allâh سبحانه وتعالى berfirman,
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِۗ ١٧
“Dan saling menasehati dengan kesabaran dan saling menasehati dengan (penuh) kasih sayang”. (QS. al-Balad/90:17)
Ketiga. Hindarkanlah ia -sebisa mungkin- dari lingkungan atau media apapun yang akan semakin menjeratkan kekufuran pada dirinya. Kondisikanlah ia berada dalam lingkungan iman kepada Allâh سبحانه وتعالى . Sesungguhnya keberadaan seseorang pada sebuah lingkungan apapun akan memberikan dampak yang berpengaruh baginya. Jika baik, maka akan baik pengaruhnya insya Allah. Dan bila buruk, maka pengaruhnya tidak baik.
Keempat. Ingatlah bahwa hidayah di tangan Allâh k. Allâh سبحانه وتعالى membolak-balikkan hati hamba-Nya sesuai ketetapan dan hikmah-Nya. Maka, berdoalah memohon hidayah bagi anak atau keluarga yang telah murtad. Dan karena doa merupakan media penghambaan diri seorang hamba kepada Allâh سبحانه وتعالى dalam setiap kondisi dan kebutuhannya.
Bila Tak Mau Kembali
Bilamana segala upaya telah dikerahkan sesuai tuntunan Islam dan perjuangan telah maksimal, namun ternyata sang anak masih saja keras kepala dengan kekufurannya, maka tidak ada pilihan lain bagi kedua orang tua dan keluarganya selain bersikap baraa’ (berlepas diri) dari kekufurannya. Dan inilah makna firman Allâh سبحانه وتعالى tatkala terjadi pembangkangan putera Nabi Nuh عليه السلام terhadap ajakan ayahandanya untuk menaati Allâh k. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
قَالَ يٰنُوْحُ اِنَّهٗ لَيْسَ مِنْ اَهْلِكَ ۚاِنَّهٗ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ٤٦
Allâh menyeru (kepada Nuh), “Wahai Nuh, sesungguhnya ia bukan anakmu. Sesungguhnya itu adalah amal yang tidak shalih”. (QS. Hûd/11:46).
Menyikapi kedurhakaan kepada Allâh سبحانه وتعالى dan pembangkangan itu hendaklah senantiasa hadir dalam lubuk sanubari kita makna firman Allâh سبحانه وتعالى :
لَنْ تَنْفَعَكُمْ اَرْحَامُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ ۛيَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۛيَفْصِلُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ ٣
Tidak akan bermanfaat bagi kalian (ikatan) kekerabatan dan anak-anak kalian pada hari Kiamat kelak. Dia (Allah k) akan memisahkan antara kalian dan Allâh Maha Melihat apapun yang kalian kerjakan. (QS. al-Mumtahanah/60:3)
Yakni, kekerabatan itu tidak bermanfaat di sisi Allâh سبحانه وتعالى bila Dia سبحانه وتعالى menghendaki keburukan bagi kalian. Kebaikan kerabat tidak akan sampai kepada mereka bila kalian mengabulkan bagi mereka suatu hal yang justru membuat Allâh سبحانه وتعالى murka. Maka, barang siapa menyepakati (membiarkan) keluarganya berada di atas kekufuran untuk mencari kerelaan hati mereka terhadap dirinya, sungguh dia telah merugi dan amalnya menjadi sia- sia.8 Sekalipun komunikasi keduniaan tetap berjalan seperti memberikan hadiah kepadanya, apalagi jika dimaksudkan untuk merangkulnya kembali dalam pelukan Islam.9
Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tidak memerangi kalian dan tidak mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Mumtahanah/60:8).
Allâh سبحانه وتعالى menurunkan ayat ini tatkala Asma’ binti Abi Bakar رضي الله عنه dikunjungi oleh ibundanya yang masih musyrik. Kemudian Asma x bertanya kepada Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم , “Apakah aku diperbolehkan untuk menyambung tali silaturahim dengannya?”. Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Ya”. Maka, Allâh سبحانه وتعالى menurunkan ayat ini.10
Namun demikian, tetap tidak boleh ada ikatan kasih sayang untuk mencintainya atau berloyalitas kepadanya sebagaimana cinta dan loyalitas yang seharusnya diberikan kepada seorang mukmin.
Semoga Allâh سبحانه وتعالى melindungi seluruh keluarga kita dari segala penyimpangan dan keburukan, dan menunjukkan jalan yang lurus dalam setiap ucapan dan amal perbuatan. Wallâhu a`lam.
Footnote:
1 Lihat kisah ini dalam QS. Hûd/11:42-47
2 Tafsir Ibnu Katsir III/325
3 Lihat QS. al-Baqarah/2:132
4 Lihat QS. al-Baqarah/2:133
5 Lihat QS. Luqmân/31:12-19
6 HR. Muslim no:500 dari Abu Hurairah z
7 HR. Muslim no:503, an-Nasâ’i no:3646, keduanya dari Abu Hurairah z
8 Tafsir Ibnu Katsir V/86-87
9 Silahkan dilihat Fatâwâ Nûr `alâ ad-Darb yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-`Utsaimîn رحمه الله Cet. I , Mu’assasah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-`Utsaimîn al-Khairiyyah Th. 1427 H /2006M
10 HR. al-Bukhâri no: 5978
Majalah As-Sunnah Baituna edisi 08 Thn. XV