Judul di atas bukanlah mengada-ada, dan tulisan ini berangkat dari sebuah riwayat
حَدَّثَنَا نُعَيْمُ بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عَمرُوا بْنِ مَيْمُوْنٍ قَالَ رَأَيْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ قِرْدَةً اِجْتَمَعَ عَلَيْهَا قِرْدَةٌ قَدْ زَنَتْ فَرَجَمْتُهَا مَعَهُمْ
Nu’aim bin Hammad telah menceritakan kepada kami, (ia berkata), Husyaim telah menceritakan dari Hushain dari ‘Amr bin Maimun, ia berkata: “Pada masa Jahiliyah, aku melihat seekor kera betina yang telah berzina dikerubuti kawanan kera lainnya. Maka mereka merajamnya. Aku pun ikut merajamnya bersama mereka”. 1
Dorongan untuk merasakan kenikmatan yang diharamkan Allah, ada saja terselip pada diri manusia. Bisikan ke arah tersebut bisa meningkat tergantung pada kekuatan iman yang tertanam di dalam kalbunya. Namun tidak lah ada kenikmatan yang ‘ditawarkan’ oleh larangan agama, kecuali Islam menyuguhkan solusi idealnya, yang akan tetap menjamin agama, moral, kehormatan dan jati dirinya sebagai makhluk berakal.
PERNIKAHAN, SARANA EFEKTIF PENGAMAN NAFSU SYAHWAT
Allah l memuliakan manusia dengan akal dan fitrah yang menjadi alat untuk membantunya menyeleksi kebaikan dari keburukan. Hasrat seksual –misalnya- yang menggebu pada lelaki atau perempuan telah disediakan sarananya. Terlebih lagi, pada era kosmopolitan ini, yang telah didominasi permisivisme hingga sudah merambah pedesaan. Akan semakin berat bagi bujangan dan gadis lajang untuk menjaga mata dan kehormatannya. Maka, alternatif untuk menjawab problematika tersebut ialah dengan pernikahan. Demikianlah Islam telah mengajarkan.
Hubungan yang berdasarkan pada ikatan suci pernikahan, disamping menjaga kehormatan pada diri seseorang, pernikahan juga menjamin keutuhan garis nasab anak dan nama baik masyarakat. Anak yang dilahirkan juga terjaga kesuciannya, manakala antara ayah dan ibu yang melahirkannya terhubung dengan ikatan tali yang kuat. Allah berfirman:
﴿ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا ﴾
…… Dan mereka telah mengambil dari kalian perjanjian yang sangat kuat. (QS an Nisa : 21).
Pengkhianatan atau penghinaan terhadap ikatan pernikahan mungkin terjadi pada salah satu pasangan. Untuk itu, Islam telah mengantisipasi agar hal itu tidak terjadi. Salah satunya ialah diberlakukannya hukuman rajam. Orang-orang yang kurang mengerti hukuman ini berpendapat, bahwa hukuman rajam seolah menunjukkan kekejaman syariat Islam. Tentu anggapan seperti ini sangat keliru. Karena dengan sifatnya yang adil, hukuman ini diberlakukan bila bukti-bukti dan saksi-saksinya kuat. Misalnya, pasangan yang melakukan seks illegal, untuk jatuhnya hukuman rajam ini, harus dikuatkan dengan empat orang saksi.
Apa hikmah yang terkandung pada hukuman rajam ini? Pada umumnya, masyarakat tentu berharap dapat memelihara keutuhannya dengan melenyapkan anggotanya yang berkhianat. Demikian juga dengan keluarga, sebuah prototipe masyarakat menginginkan agar oknum pengkhianat dalam tubuhnya lepas dari ikatannya. Sebab, dengan penyimpangannya itu, oknum tersebut telah menodai mukanya. Allah, dengan aturan syariatNya melindungi keluarga dan masyarakat dari oknum-oknum yang berkhianat kepada keluarganya.
Dengan begitu, seorang anak kecil akan tumbuh-berkembang dengan terikat pada garis nasab yang mulia, dan berteduh di bawah payung keluarga yang steril. Ayahnya diketahui. Ibunya bukan dari kalangan wanita fasiqah. Asal-usul orang tuanya berasal dari kalangan baik-baik, terhormat. Sehingga suasana kebersamaan, keutuhan serta keharmonisan dan kedamaian melingkupi keluarga. Pada gilirannya, pertumbuhannya normal. Dia tidak khawatir terhadap gejala yang akan mencerai-beraikan jiwanya. Juga tidak takut akan kehilangan kasih ibu dan perlindungan ayah, serta pemeliharaan dari mereka berdua.
Oleh karena itu, kitab-kitab fiqih (hukum Islam) banyak menyinggung dengan porsi yang besar tentang hukum radha‘ah (persusuan), pernikahan, tuduhan kepada orang baik[1]baik (qadzaf), li’an, hokum-hukum pidana, dan hadhanah (hak pemeliharaan anak) dan aturan-aturan lainnya. Gunanya ialah, untuk menjaga keutuhan bahtera keluarga dan nama baik masyarakat.
ZINA, MENDEKATI SAJA TIDAK BOLEH!
Ada banyak garis-garis besar aturan Islam yang akan mengamankan perjalanan hidup seorang muslim. Garis-garis besar tersebut dikenal sebagai qaidah fiqhiyah itu bersumberkan dari al Qur‘an dan Sunnah Nabi ﷺ yang telah disimpulkan oleh para ulama. Salah satu kaidah agung yang sangat penting, yang berhubungan erat dengan topik bahasan ini ialah SADDU DZARAI‘ (menutup akses menuju obyek maksiat).
Ibnul Qayyim رَحِمَهُ الله secara gamblang membawakan tidak kurang dari sembilan puluh dalil untuk mengdukung kaidah ini dalam kitab yang sangat berharga, yaitu I’lamu al Muwaqqi’in. Salah satunya, lihatlah firman Allah ﷻ :
﴿وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا ﴾
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS al Isra‘ : 32).
Syaikh as Sa’di di dalam tafsirnya mengatakan : “Larangan untuk mendekati zina lebih mengena daripada hanya melarang perbuatannya saja. Sebab, itu berarti mencakup seluruh hal yang menjadi pintu dan godaan kepadanya. Sesungguhnya, orang yang berlalu lalang di sekitar kawasan yang terlarang, dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya. Terutama masalah ini (seks), yang pada banyak orang, dorongannya sangat kuat”. 2
Dalam konteks demikian, maka seluruh hal yang bisa membawa seseorang, lelaki atau perempuan ke dalam jurang kenistaan zina harus dijauhi. Sederet media, alat, tingkah laku, ucapan, ataupun gambar, semua itu termasuk dalam kategori ini.
PACARAN DAN HUBUNGAN BEBAS, MERUPAKAN GERBANG DOSA
Salah satu fenomena yang meracuni sebagian para muda-mudi sekarang, yaitu hubungan bebas ataupun budaya pacaran. Konon katanya, hubungan ini untuk saling mengenal pasangan sebelum memasuki jenjang pernikahan dan untuk membangun rasa cinta. Dengan asumsi, setelah mengenal pasangan, maka masing-masing akan mampu memahami keberadaan calon pasangan. Dengan demikian kecintaan kepada calon suami atau istrinya nanti semakin kuat. Begitulah asumsi yang berkembang. Namun, pada kenyataannya, keharmonisan pasca mengucapkan akad nikah tidak seindah yang dibayangkan. Bahkan tidak sedikit keluarga yang terbangun oleh budaya pacaran ini tidak harmonis. Karena perasaan cinta yang selama pacaran dibangun hanyalah lipstik belaka. Ironisnya, ada juga kalangan orang tua yang membiarkan anak-anaknya mengikuti arus budaya pacaran ini sebelum memasuki jenjang rumah tangga. Tentunya hal ini harus dicegah. Meskipun dengan dalih proses penjajagan atau alasan mengada-ada lainnya. Karena hubungan lelaki perempuan yang terjalin di atas budaya buruk ini bukan solusi yang aman dari pengaruh perbuatan zina.
Sudah jamak didengar, pengakuan seorang muda “aku baru saja jadian sama dia, ia pacar yang ideal, ia wanita yang pengertian, dan lain-lain, dan lain-lain.
Sebenarnya arti dari pengakuan itu adalah, aku baru saja memulai jalan menuju jurang dosa dan kenistaan melalui ikatan dengannya yang baru saja terbina, atau ia pacar ideal karena mau diajak menanggung dosa bersama, ia wanita yang pengertian dengan memudahkan sebagai obyek dosa.
Rasulullah ﷺ bersabda :
لأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
Kepala seseorang lebih baik terpaku dengan sebuah jarum, daripada ia bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya. (Shahihul Jami’, no. 5045).
Bersentuhan kulit merupakan perbuatan yang termasuk ‘paling ringan’ dalam proses pacaran. Sedangkan yang lebih dari itu, tentu lebih banyak.
Sudah banyak tuntunan preventif (pencegahan) yang telah ditetapkan Islam untuk menanggulangi pergaulan bebas ini. Simaklah surat an Nur yang mulia, lantaran buruknya dampak yang dimunculkan oleh zina pada individu dan kehidupan manusia pada umumnya, seperti yang dikatakan Syaikh Abu Bakar al Jazairi dalam tafsirnya,3 Allah menetapkan kewajiban untuk menundukkan pandangan, mengenakan jilbab bagi wanita mukminah, menganjurkan pernikahan antara remaja yang belum menikah. Selain itu, kewajiban untuk minta izin saat akan memasuki rumah orang lain, atau kamar orang tua bagi anak-anak yang masih kecil juga merupakan tindakan antisipasif untuk menahan laju perzinaan.
HUKUM RAJAM SEBAGAI KOMPONEN PEMBERSIH MASYARAKAT, TIDAK KEJAM!
Memang sebagian tata nilai dan norma masyarakat mengalami pergeseran. Wanita pezina tidak mendapatkan sikap antipati yang proporsional. Justru sebutan mereka malah diperhalus sebagai pekerja. Sebaliknya, poligami yang dibenarkan oleh syariat dan masuk nalar, dipecundangi oleh banyak cendekiawan.
Kasus perzinaan adalah aib yang tidak terukur keburukannya dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi pernikahan. Berbeda halnya dengan komunitas yang tidak menghargai pernikahan, maka yang berlaku adalah dunia yang pantas disebut sebagai dunia binatang.
Allah sendiri menamakannya dengan innahu kaana fahisyatan wa saa sabilan (sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk). Artinya, seperti yang dikatakan Syaikh as Sa’di, karena keburukannya dipersaksikan oleh syariat dan akal sehat manusia dan fithrah yang masih lurus. Sebab mengandung pelecehan terhadap larangan Allah, derajat wanita, martabat keluarga atau suaminya, menodai kesucian ranjang, percampuran nasab dan kerusakan-kerusakan lainnya.4
Lelaki dan wanita yang sudah menikah, artinya mereka sudah berstatus muhshan dan muhshanah. Maksudnya, mereka berdua sudah memelihara kehormatan pribadi dengan cara yang diizinkan oleh Dinul Islam, yaitu pernikahan. Melalui perkawinan, dorongan biologis dapat tersalurkan dengan cara yang halal. Bahkan dalam Islam, termasuk sumber pahala bagi pasangan tersebut tatkala menyalurkan desakan biologisnya pada jalur yang halal.
Rasulullah ﷺ bersabda :
وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
قَالُوا : يَـارَسُوْلُ اللهِ أَيَأْتِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟
فَقَالَ : أرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ الحَرَامِ أَلَيْسَ كَانَ يَكُوْنُ عَلَيْهِ وِزْرٌ أَوِ الوِزْرُ ؟
قَالُوا : بَلى.
قَالَ : فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِيْ الحَلَال يَكُوْنُ لَهُ الأَجْرُ
“Dan dalam hubungan salah seorang kalian (dengan pasangannya) adalah sedekah”.
Para sahabat bertanya,”Bagaimana bisa salah seorang dari kami menyalurkan syahwatnya (pada pasangannya), dan ia mendapatkan pahala?”
Maka beliau ﷺ menjelaskan : “Bukankah menurut kalian, jika ia menyalurkannya pada praktek haram, maka ia menanggung dosa?”
Mereka mengiyakan : “Benar”.
Beliau meneruskan ﷺ : “Demikian pula, bila ia menyalurkannya pada jalan yang halal, maka baginya pahala”. (HR Ahmad, no. 20500).
Jika orang yang sudah bisa mendapatkan kenikmatan ini melalui jalan yang halal, namun masih tetap mencari kenikmatan itu pada jalur yang diperingatkan oleh agama, maka orang semacam ini sudah sepantasnya dilenyapkan.
Pengetahuannya tentang jalan yang halal ternyata tidak bermanfaat baginya. Sehingga kebaikan dan benteng dirinya dipertanyakan. Oleh karena itu, hukuman rajam yang berbentuk lemparan batu pada tubuhnya sampai mati ini, sesuai pelanggarannya. Sebab sekujur tubuhnya telah menikmati hubungan terlarang tersebut. Sehingga hukumannya pun harus menimpa sekujur tubuhnya.
Berkaitan dengan efektifitas hukum pidana (hudud) dapat memelihara masyarakat, Syaikh asy Syinqithi menjelaskan: “Pelaksanaan hudud itu termasuk cara paling handal untuk memelihara stabilitas keamanan dan ketentraman. Dengan itu, Islam melindungi din, jiwa, nasab, kehormatan, akal dan harta para pemeluknya”. 5
Memetik pelajaran dari riwayat sang kera di atas, mengapa manusia tidak kunjung menyadari larangan untuk tidak mendekati zina? Jika kera saja tidak menyukai perbuatan haram ini, maka semestinya, manusia sebagai makhluk yang diberi kedudukan mulia oleh Allah, dapat menjauhi dan menegakkan hukuman rajam ini, yaitu untuk melindungi din, jiwa, nasab, kehormatan, akal dan harta pemeluknya. Wallahu a’lam. (Muhammad Ashim).
Footnote:
1 Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya, no. 3560.
2 Taisir al Karimi ar Rahman, hlm. 457
3 Aisaru at Tafasir, hlm. 844.
4 Tafsiru al Karimi ar Rahman, hlm. 457
5 Adhwau al Bayan (3/448)
Maraji‘ :
- Taisiru al Karimi ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, Syaikh Abdur Rahman as Sa’di, tahqiq Abdur Rahman al Luwaihiq, Muassasah ar Risalah, Cet. I, Th. 1423 H.
- Ushulu at Tarbiyah al Islamiyyah, Abdur Rahman an Nahlawi, Darul Fikr, Cet. II, Th. 1420 H.
- Tahshinu al Mujtama‘ min al Ghazwi al Fikri, Syaikh Hamud at Tuwaijiri, Majalah al Jamiah al Islamiyyah
Majalah As-Sunnah /BAITUNA Edisi 11/Tahun IX/1427H/2006M