Ana mau bertanya hadits “la shalata li jaril-masjidi ilâ fil-masjid”. Apakah hadits ini shahîh? Apakah seorang tetangga masjid yang tidak mendapatkan shalat berjamaah wajib menunaikan shalat di masjid ataukah boleh di rumah (untuk shalat wajib)? Syukran.
Amar, Padang, Sumbar. 08136343xxxx
JAWAB: Bunyi hadits yang antum tanyakan ialah:
لَا صَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلَّا فِيْ الْمَسْجِد
Tidak sah shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid.
Hadits ini dha’if, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albanit dalam kitab Tamamul-Minnah (hlm. 328): “Aku katakan, hadits ini tidak memiliki sanad yang kuat”.
Ada hadits shahîh yang sedikit berbeda lafazhnya dengan hadits di atas, sebagai berikut:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi ﷺ , beliau bersabda: “Barang siapa mendengar adzan, lalu dia tidak mendatanginya, maka tidak (sempurna) shalat baginya kecuali ada alasan/halangan”. (HR Ibnu Majah no. 793, dan lainnya).
Syaikh al-Albâni t berkata tentang hadits ini:
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Thabarani dalam Mu’jamul-Kabir, dan Abu Musa al-Madini darinya di dalam al-Lathaif min ‘Ulumil-Ma’arif, dan al-Hasan bin Sufyan dalam al-Arba’in, dan Daruquthni, al-Hakim, serta al-Baihaqi, dari beberapa jalan, dari Husyaim, dari ‘Adi dengannya. Al-Hakim berkata: “Shahîh menurut syarat Syaikhani”. Adz-Dzahabi menyetujuinya, dan hadits itu (memang shahîh) sebagaimana dikatakan oleh keduanya.2
Hadits ini dengan nyata menunjukkan kewajiban menghadiri shalat jamaah di masjid bagi orang yang mendengar adzan, kecuali karena udzur (alasan/halangan), seperti sakit atau lainnya. Kemudian bagi tetangga masjid yang tidak mendapatkan shalat berjamaah di masjid, dia boleh shalat sendirian di masjid, atau pulang ke rumahnya untuk berjamaah dengan keluarganya, atau shalat sendirian.
Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman hafizhahullah berkata: “Jika engkau telah mengetahui – menurut pandangan syariat- bahwa (shalat) jamaah dilakukan di masjid (dan) bukan di rumah maka sesungguhnya para sahabat رضي الله عنه , mereka bersemangat (untuk) mendapatkan jama’ah, (sehingga) mereka tidak shalat di rumah. Mereka dahulu biasa pergi ke masjid. Jika mereka tertinggal (dari) shalat jamaah, mereka shalat di rumah. Jamaah mereka itu dilakukan di masjid, sedangkan di rumah untuk shalat sendirian. Namun sekarang, kebiasaan dizaman kita sudah berubah, sebagian manusia berbuat sesuka hatinya mulai melakukan shalat jamaah di rumah mereka”.3
Sesungguhnya, jika seseorang sudah berniat shalat berjamaah di masjid, lalu dia pergi ke masjid, namun shalat jamaah sudah selesai, lalu dia shalat sendirian dengan sempurna, maka dia tetap mendapatkan pahala shalat jamaah. Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلُّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا
Barang siapa berwudhu‘ dengan sebaik-baiknya, kemudian pergi (ke masjid untuk shalat berjama’ah, Red.), namun dia mendapati manusia sudah selesai shalat, Allah عزوجل memberikan pahala kepadanya semisal pahala orang-orang yang menghadiri dan shalat (jamaah) itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. (HR Abu Dawud no. 564, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani)
Imam as-Sindi رحمه الله berkata: “Zhahir hadits ini (menunjukkan) bahwa meraih pahala (shalat jamaah) disyaratkan dengan bersegera untuk melaksanakannya dengan sebaik-baiknya dan tidak melalaikannya, baik ia mendapatkan shalat jamaah maupun tidak. Barang siapa mendapatkan satu bagian dari shalat jamaah, walaupun pada tasyahud, (maka) dia mendapatkan yang pertama. Pahala dan karunia (Allah) itu tidaklah diketahui dengan ijtihad (akal, fikiran), maka tidak dinilai sama sekali perkataan orang yang menyelisihi hadits dalam masalah ini”.4
Wallahu Ta’ala a’lam bish-Shawab.
Footnote:
2 Irwa‘ul-Ghalil, 2/337.
3 Al-Qaulul-Mubin fî Akhtha‘il-Mushalîn, Dâr Ibnil-Qayyim, hlm. 267.
4 Mirqatul-Mafatih (2/130). Dinukil dari Al-Qaulul-Mubin fî Akhtha‘il-Mushalîn, karya Syaikh Masyhur bin Hasan Âlu Salman, Dâr Ibnil-Qayyim, hlm. 277.