JAWAB:
Pertama ingin kami sampaikan, pembahasan suatu hukum ibadah sebagai wajib atau sunnat, bukanlah untuk merendahkan dan menyepelekannya jika ternyata hukumnya sunnat. Namun, hendaklah semua ibadah itu dilakukan semampunya untuk mencari pahala Allah dan memperbanyak amal-amal shalih. Nabi ﷺ bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Janganlah kamu meremehkan sesuatu dari kebaikan, walaupun sekedar bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria. (HR Muslim no. 2626).
Pembahasan yang anda tanyakan ini diperlukan, jika suatu ketika kita dihadapkan pada dua pilihan dan harus memilih salah satunya. Maka kita mendahulukan ibadah yang wajib daripada yang sunnat. Tetapi, dalam keadaan longgar, hendaklah kita memperbanyak ibadah dan amal shalih, baik yang hukumnya sunnat, apalagi yang wajib.
Adapun tentang shalat tahiyyatul masjid, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya shalat ini, namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian ulama, seperti Imam asy-Syaukani رحمه الله berpendapat hukumnya wajib. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat hukumnya Sunnah.
Dalil para ulama yang mewajibkan tahiyyatul masjid adalah perintah Nabi ﷺ untuk melakukannya, dan setiap perintah pada asalnya hukumnya wajib. Demikian juga larangan Nabi ﷺ terhadap orang yang masuk masjid untuk duduk sebelum shalat dua raka’at, sedangkan setiap larangan asalnya haram, sehingga tahiyyatul masjid hukumnya wajib.
Adapun ulama yang berpendapat Sunnah, menyatakan adanya dalil-dalil yang memalingkan perintah tahiyyatul masjid kepada Sunnah, antara lain sebagai berikut:
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ يَفُوْلُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ مَا يَقُوْلُ حَتَّى دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِيْ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, ia berkata: “Seorang laki-laki dari penduduk Nejed datang kepada Rasulullah ﷺ , rambutnya kusut, terdengar gema suaranya namun tidak dipahami perkataannya, sampai dia dekat. Ternyata dia bertanya tentang agama Islam. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Lima shalat dalam sehari dan semalam’.” Dia bertanya: “Adakah kewajiban (shalat) atasku selainnya?” Beliau menjawab: “Tidak, kecuali engkau melakukan dengan suka rela”. (HR Bukhâri no. 46).
Kemudian diakhir hadits, lelaki itu mengatakan:
وَاللَّهِ لَا أَزِيْدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
Demi Allah saya tidak akan menambah dan tidak akan menguranginya. Rasulullah ﷺ bersabda: Jika ia benar maka dia beruntung.
Demikian juga hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِيْ وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِيْ الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذَ أَقْبَلَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ فَأَقْبَل اثْنَانِ إِلَى رسُوْلِ اللَّهِ ﷺ وَذَهَبَ وَاحِدٌ، قَالَ فَوَقَفَا عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ ﷺ، فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِيْ الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا فَرَغَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنِ النَّفَرِ الثَّلاثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ وَأَمَّا الآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ
Dari Abu Waqid al-Laitsi, sesungguhnya ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk di dalam masjid dan orang-orang berada di sekeliling beliau, tiba-tiba datang tiga orang, yang dua orang majukepada Rasulullah ﷺ , sedangkan yang satu orang pergi. Dua orang tersebut berdiri di hadapan Rasulullah ﷺ . Satu orang dari keduanya melihat celah pada halaqah (lingkaran duduk), lalu dia duduk di sana. Adapun yang lain, dia duduk di belakang orang-orang. Sedangkan orang yang ketiga, dia berbalik pergi. Tatkala Rasulullah ﷺ telah selesai, beliau ﷺ bersabda: “Tidakkah kuberitahukan kepada kamu tentang tiga orang tadi. Adapun seseorang dari mereka, dia singgah kepada Allah, maka Allah menyambutnya. Sedangkan orang yang lain, dia malu kepada Allah, maka Allah juga malu kepadanya. Dan orang yang lain lagi, diaberpaling, maka Allah juga berpaling darinya”. (HR Bukhari no. 66).
Dalam hadits ini, Nabi ﷺ tidak memerintahkan kedua orang di atas untuk berdiri dan melakukan shalat tahiyatul masjid, sehingga hadits ini mengalihkan makna perintah yang asalnya wajib menjadi mustahab (disukai).
Selain itu, sebagian ulama menyebutkan adanya Ijma’ tentang sunnahnya shalat tahiyyatul masjid, sebagaimana dapat dipahami dari perkataan Imam Ibnul-Qaththan berikut ini: “Adapun selain shalat lima waktu dan shalat jenazah yang fardhu kifayah, maka (hukumnya) tathawwu’ (sunnah) berdasarkan Ijma’ dari para ulama kecuali shalat witir, maka Abu Hanifaht berkata, bahwa itu wajib, dan diriwayatkan dari sebagian mutaqaddimin, bahwa itu fardhu”.1
Dari sini, maka kita perlu menanyakan kepada orang-orang yang mewajibkan shalat tahiyyatul masjid, adakah para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in yang mewajibkannya? Jika tidak ada maka menjadi jelaslah, bahwa pendapat yang raajih adalah hukum shalat tahiyyatul masjid adalah Sunnah. Meski demikian, bukan berarti kita meremehkan dan meninggalkan ibadah ini, sebagaimana telah kami sampaikan di atas, wallahu a’lam.
Footnote:
1 Al-Iqna’ fî Masa‘ilil-Ijma’, Ibnul-Qaththan, dengan penelitian Hasan bin Fauzi ash-Sha’îdi, Penerbit al-Faruq al-Haditsah, 1/173 no. 937.
Majalah As-Sunnah
Edisi 2008 TahunXII-1429H-2008M