Saya seorang pelanggan As Sunnah sudah dua tahun. Ada hal yang ingin saya tanyakan. Seorang tetangga saya perempuan, dia mempunyai kemampuan melihat dan berdialog dengan jin, bahkan bisa mengusir jin yang masuk ke tubuh seseorang. Secara syariat apakah dibenarkan? Karena pada zaman Rasulullah tidak ada contoh demikian? Perempuan tersebut tidak berjilbab.
Tri W, Tarakan, Kalimantan Timur
JAWAB :
Manusia tidak memiliki kemampuan melihat jin dalam bentuk aslinya, karena Allah ﷻ berfirman:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan keduaibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikutpengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS Al A’raf : 27).
Firman Allah k pada ayat ini “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka”, menunjukkan bahwa manusia tidak dapat melihat jin, yaitu pada bentuknya yang asli. Namun melihat penjelmaan jin, hal ini bisa dan telah terjadi pada zaman Nabi ﷺ atau setelahnya. Ketika menjelaskan faidah-faidah dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu anhu yang menangkap setan,1)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan: Bahwa setan terkadang menjelma dengan berbagai bentuk sehingga memungkinkan (manusia) melihatnya. Dan firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikutpengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka (QS Al A’raf ayat 27)”, dikhususkan jika pada bentuknya (yang asli) yang Allah telah ciptakan. (Fathul Bari, penjelasan hadits no. 2311).
Demikian juga berdialog dengan jin dan mengusir jin yang masuk ke dalam tubuh seseorang, merupakan perkara yang benar-benar terjadi. Tetapi kemampuan melakukan hal-hal di atas, tidak berarti menunjukkan kemuliaan orang tersebut di sisi Allah ﷻ . Karena kemulian manusia di sisi Allah ditentukan oleh ketakwaannya kepada Allah.
Jika mengusir jin yang masuk ke dalam orang itu dilakukan menurut syari’at, maka dibenarkan. Dan sebaliknya, jika menyelisihi syari’at, maka terlarang.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah , mengobati mashru’ (orang yang kerasukan jin) dengan mantra-mantra dan doa-doa perlindungan ada dua bentuk.
Pertama. Jika mantra-mantra dan doa-doa perlindungan itu termasuk diketahui maknanya, dan seseorang boleh mengucapkannya di dalam agama Islam, orang itu berdoa kepada Allah, menyebut kepadaNya, berbicara kepada makhlukNya,2) dan semacamnya, maka sesungguhnya seseorang boleh membacakan mantra itu kepada seseorang yang kerasukan jin dan mendoakan perlindungan (dengannya). Karena diceritakan dalam (hadits) shahih dari Nabi ﷺ , bahwa Beliau mengizinkan mantra-mantra selama bukan merupakan kesyirikan. Dan Beliau ﷺ bersabda:
مَنِ استَطاعَ منكم أنْ ينفَعَ أخاهُ فلْيَفعَلْ.
Barangsiapa mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah dia lakukan. (HR Muslim, no. 2199).
Kedua. Jika di dalam mantra-mantra itu terdapat kalimatkalimat yang diharamkan, seperti di dalamnya terdapat kesyirikan atau kalimat-kalimat yang tidak diketahui artinya, dimungkinkan di dalamnya terdapat kekafiran, maka seorang pun tidak boleh membacakan mantra dengannya, atau berdoa, atau bersumpah (dengannya), meskipun jin terkadang pergi dari orang yang kesurupan dengan mantra-mantra seperti itu. Karena sesungguhnya, apa yang Allah dan RasulNya haramkan, bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. (Majmu’ Fatawa, 24/277-278).
Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Yang paling baik digunakan untuk melawan jin yang masuk ke dalam tubuh manusia adalah dzikrullah (dzikir kepada Allah) dan bacaan Al Qur‘an. Dan yang paling besar dari itu ialah bacaan ayat kursi, karena sesungguhnya orang yang membacanya akan selalu dijaga oleh penjaga dari Allah, dan ia tidak akan didekati oleh setan sampai Subuh, sebagaimana telah shahih hadits tentang itu”. (‘Alamul Jin Wasy Syayathin, hlm. 180, karya Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar, Penerbit Darun Nafais).
Kejadian mengeluarkan jin dari tubuh seseorang juga pernah terjadi pada zaman Nabi ﷺ . Antara lain ditunjukkan oleh hadits-hadits berikut ini:
عن عثمان بن أبي العاص الثقفي لمَّا استَعملَني رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ على الطَّائفِ جعلَ يعرِضُ لي شيءٌ في صلاتي حتَّى ما أدري ما أصلِّي، فلمَّا رَأيتُ ذلِكَ رَحلتُ إلى رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فقالَ: ابنُ أبي العاصِ ؟ قلتُ: نعَم يا رسولَ اللَّهِ . قالَ: ما جاءَ بِكَ ؟ قلتُ: يا رسولَ اللَّهِ، عرضَ لي شيءٌ في صلواتي حتَّى ما أَدري ما أصلِّي قالَ: ذاكَ الشَّيطانُ ادنُهْ فدَنوتُ منهُ، فجَلستُ على صدورِ قدميَّ، قالَ: فضربَ صَدري بيدِهِ، وتفلَ في فَمي وقالَ: اخرج عَدوَّ اللَّه ففعلَ ذلِكَ ثلاثَ مرَّاتٍ، ثمَّ قالَ: الحَق بعملِكَ فقالَ عُثمانُ: لعَمري ما أحسبُهُ خالَطَني بعدُ
Dari Utsman bin Abil ‘Ash, dia berkata: Ketika Rasulullah ﷺ menjadikanku gubernur di Thaif, ada sesuatu yang mendatangiku di dalam shalatku, sehingga aku tidak mengetahui shalatku. Ketika aku melihat hal itu, aku pergi kepada Rasulullah ﷺ . Beliau bertanya,” Ibnu Abil ‘Ash?” Aku menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya,”Apa yang menyebabkanmu datang?” Aku menjawab,”Wahai, Rasulullah. Ada sesuatu yang mendatangiku di dalam shalatku, sehingga aku tidak mengetahui shalatku.” Beliau berkata,”Itu adalah setan, mendekatlah engkau!” Maka aku mendekati Beliau, lalu aku duduk di atas ujung-ujung telapak kakiku. Lalu Beliau memukul dadaku dengan tangannya dan meludahi mulutku, seraya berkata,”Keluarlah wahai musuh Allah!” Beliau melakukannya tiga kali, lalu bersabda,”Kembalilah kepada tugasmu”. Utsman mengatakan,”Sungguh aku tidak menyangkanya mengangguku setelah itu.” (HR Ibnu Majah, no. 3548, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Footnote:
1) Hadits ini pernah dimuat dalam rubrik hadits majalah As Sunnah, edisi 10/Th. I/1415H/1994 M, dengan judul “Fadhilah Ayat Kursi” tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah.
2) Beginilah yang tertulis di dalam kitab Majmu’ Al Fatawa (12/385) : , namun di dalam kitab Fathul Mannan Fi Jam’i Kalami Syaikhil Islam Ibni Taimiyah ‘Anil Jaan, hlm. 436, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, tertulis: (berbicara kepada Penciptanya).
Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426H/2005M