JAWAB :
Sembelihan Ahli Kitab halal, dalilnya berdasarkan firman Allah:
اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ
وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ
مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖ
وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di Antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al Ma’dah 5:5)
Ibnu Katsir رحمه الله menyatakan: “Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, ‘Atha`, al Hasan, Mak-hul, Ibrahim An Nakha-i, as Sudi, Muqaatil bin Hayyan menyatakan, itu adalah sembelihan-sembelihan mereka. Ini merupakan perkara yang telah disepakati diantara ulama, bahwa sembelihan-sembelihan mereka halal bagi kaum Muslimin, karena mereka (Ahlul Kitab, Red) berkeyakinan haramnya penyembelihan untuk selain Allah dan tidak menyebut dalam sembelihan mereka, kecuali nama Allah”.1
Yang dimaksud dengan Ahli Kitab disini adalah, orang yang beragama Nashrani atau Yahudi. Sehingga tidak lepas dari tiga keadaan. Pertama, orang tersebut Ahli Kitab karena kedua orang tuanya Ahli Kitab. Sembelihan orang ini tidak diperselisihkan kehalalannya. Kedua, kedua orang tuanya bukan Ahli Kitab, seperti orang Majusi lalu masuk agama Nasrani atau Yahudi. Tentang kehalalan sembelihannya masih diperselisihkan para ulama. Ketiga, salah seorang dari kedua orang tuanya beragama Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani).
Yang rajih dalam permasalahan ini adalah, halalnya sembelihan mereka, walaupun bukan asli Ahli Kitab dan bukan keturunan Ahli Kitab, sebagaimana dirajihkan Syaikh Shalih bin ‘Abdillah al Fauzaan dengan pernyataan beliau: “Yang rajih dalam permasalahan ini adalah, halalnya sembelihan Ahli Kitab secara mutlak, baik kedua orang tuanya Ahli Kitab, atau hanya salah satunya, atau keduanya bukan Ahli Kitab, sebagaimana pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan riwayat dari Imam Ahmad; karena yang dilihat adalah agama orang (yang menyembelih tersebut), bukan nasabnya. Kehalalan sembelihan dan pernikahan mereka terjadi karena agama, bukan karena nasab mereka; sehingga diteliti tentang bapak-bapak mereka, apakah telah masuk dalam agama (Ahli Kitab) sebelum kenabian atau sesudah kenabian. Demikian juga karena Allah memerintahkan mereka membayar jizyah (upeti) dan tidak mensyaratkan hal itu dan menghalalkan bagi kita sembelihan dan makanan mereka dan tidak mensyaratkan syarat tersebut. 2
Dengan demikian, maka Ahli Kitab yang dihalalkan sembelihannya adalah seluruh Ahli Kitab di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tentunya dengan syarat disembelih, bukan distrum atau dipukul dengan palu atau dicekik dan dijerat.
Sedangkan membaca bismilah atau menyebut nama Allah dalam penyembelihan mereka, masih diperselisihkan. Dan yang rajih, bila Ahli Kitab menyembelih tanpa menyebut nama Allah, maka hukum sembelihannya haram, sebagaimana dirajihkan Syaikh Shalih al Fauzaan. Karena, menyebut nama Allah merupakan syarat sahnya penyembelihan, baik Muslim ataupun Ahli Kitab. Lihat penjelasan secara lengkap di dalam kitab al Ath’imah, halaman 106-108. Wallahu a’lam.
Footnote:
1) Tafsir Ibnu Katsir (2/19).
2) Lihat Kitab al Ath’imah, 103-105.