Mencintai Wali-Wali Allah

oleh -768 Dilihat
oleh
Mencintai Wali-Wali Allah

Mencintai wali-wali Allah. Sebelumnya, kita berdoa semoga Allâh سبحانه وتعالى berkenan untuk mengaruniakan kita kecintaan yang sejati kepada para wali Allâh dan semoga Allâh سبحانه وتعالى membersihkan hati kita dari kebencian, kedengkian kepada orang-orang mulia pilihan Allâh. Juga semoga Allâh سبحانه وتعالى mengampuni saudara-saudara kita yang terlebih dahulu mendahului kita yang telah wafat menghadap Allâh سبحانه وتعالى dengan membawa keimanan.

Segala puji bagi Allâh سبحانه وتعالى , shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi ﷺ , keluarga dan Para Sahabatnya, serta umatnya yang senantiasa mengikuti tuntunannya hingga akhir nanti.

Ya Allâh! Sesungguhnya tidak ada ilmu yang kami miliki kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami, maka ajarkanlah kami ilmu yang bermanfaat, tambahkan terus kepada kami ilmu dan perbaiki selalu kondisi kami.

Ya Allâh sesungguhnya kami memohon kepadamu agar bisa cinta kepada-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintaimu, serta mencintai setiap amalan yang bisa mengantarkan kami kepada kecintaan-Mu. Ya Allâh berikanlah kepada jiwa kami ketakwaan, dan sucikanlah jiwa kami. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang mensucikan jiwa.

Ini adalah waktu yang sangat membahagiakan. Karena kaum Muslimin berkumpul di salah satu rumah Allâh سبحانه وتعالى yang memang diizinkan oleh Allâh untuk diangkat untuk mensyiarkan ajaran Islam. Masjid merupakan tempat yang paling dicintai Allâh سبحانه وتعالى . Ketika kaum Muslimin berkumpul di masjid untuk mempelajari agama, ini merupakan salah satu ibadah yang sangat mulia. Sebagaimana dij elaskan oleh Nabi Muhammad ﷺ :

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُم المَلَائِكُةُ وَذَكَرَهُم اللَّهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allâh, di mana mereka membaca Kitab Allâh dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan akan turun ketenangan atas mereka, rahmat pun akan meliputi mereka, dan para malaikat pun mengelilingi mereka, serta Allâh akan menyebut mereka di antara mereka yang ada di sisi-Nya. (HR. Muslim).

Ya Allâh, jadikanlah kami senantiasa mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintaimu serta mencintai amalan yang bisa mengantarkan kecintaan kepada-Mu.

Mencintai Para Wali Allâh adalah Ibadah

Perlu kita ketahui, bahwa mencintai para wali Allâh سبحانه وتعالى merupakan salah satu amal ibadah atau taqarrub yang disyariatkan Allâh. Dengan mencintai wali Allâh, seseorang akan lebih dekat kepada Allâh, sebab mencintai sesuatu karena Allâh adalah salah satu tali simpul keimanan yang paling kuat. Dalam hadits shahih, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

أَوْثَقُ عُرَى الإِيْمَانِ الحُبُّ فِيْ اللَّهِ وَالبُغْضُ فِيْهِ

Tali simpul iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allâh dan membenci karena Allâh. (HR. AthThabrani)

Ini juga menjadi kriteria paling agung, yang dengannya keimanan seseorang bisa menjadi sempurna. Dalam hadits yang lain, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ، وَأَبْغَضَ لِلَّهِ، وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيْمَانَ

Barangsiapa mencintai karena Allâh dan membenci karena Allâh, memberi karena Allâh dan tidak memberi karena Allâh, maka sungguh ia telah menyempurnakan imannya.

Dari sini diketahui bahwa mencintai para wali Allâh merupakah salah satu tali simpul terkuat keimanan seorang hamba, dan dengannya keimanan seorang hamba akan sempurna. Oleh karena itu, kita wajib mencintai para wali Allâh, para kekasih Allâh. Jangan sampai ada kebencian dan dengki dalam hati kita. Salah satu doa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad ﷺ untuk kita baca adalah:

اللَّهُمَّ أَسأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يَحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ إِلَى حُبِّكَ

Ya Allâh, aku meminta kecintaan kepada-Mu, dan kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu, serta kecintaan kepada amalan yang mendekatkankumenuju kecintaan-Mu. (HR. Ahmad, al-Hâkim, alBazzar)

Dalam doa ini, ada ungkapan: [dan kecintaan orang yang mencintai-Mu]. Masuk dalam cakupan ungkapan ini adalah mencintai para wali Allâh سبحانه وتعالى .

Seperti sudah diketahui bahwa mencintai wali-wali Allâh termasuk ibadah yang sangat agung. Jika demikian, maka membenci dan memusuhi para wali Allâh سبحانه وتعالى merupakan perbuatan dosa besar. Karena membenci para wali Allâh tidak akan terjadi kecuali karena ada penyakit dalam hati. Itu menunjukkan ada ketimpangan dalam keimanannya. Rasûlullâh ﷺ dalam sebuah hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dari Abu Hurairah رضي الله عنه , Beliau ﷺ bersabda meriwayatkan dari firman Allâh سبحانه وتعالى :

مَنْ عادَلِيْ وَلِيًّا، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka Aku (Allâh) mengumumkan perang terhadapnya.

Ini menunjukkan bahwa memusuhi para wali Allâh berkonsekuensi akan diperangi oleh Allâh سبحانه وتعالى . Karena firman-Nya dalam hadits qudsi di atas: Aku mengumumkan perang terhadapnya bermakna bahwa Allâh memeranginya. Ini karena Allâh سبحانه وتعالى mencintai para wali-Nya dan mencintai orang-orang yang mencintai para wali-Nya, begitu juga sebaliknya, Allâh سبحانه وتعالى membenci orang-orang yang membenci para wali-Nya. Oleh karena itu, barangsiapa membenci dan memusuhi para wali Allâh, ia mendapatkan ancaman siksa yang pedih dari Allâh سبحانه وتعالى . Ini ditunjukkan oleh hadits qudsi di atas: Aku mengumumkan perang terhadapnya. Ungkapan ini memberi makna bahwa memusuhi wali Allâh termasuk dosa besar. Karena orang yang diperangi Allâh berarti ia telah melakukan dosa besar. Ini menunjukkan betapa besar bahaya perbuatan memusuhi para wali Allâh سبحانه وتعالى .

Kewajiban seorang Muslim dalam menyikapi para wali adalah memadukan antara dua hal, yaitu kebersihan hati dan menjaga lisan. Dua halini dipadukan oleh Allâh سبحانه وتعالى dalam sebuah ayat al-Qur’an:

﴿ وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ ١٠ ﴾

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami! Beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami! Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr/ 59: 10)

Ayat ini memadukan dua hal tersebut:

Pertama, kewajiban menjaga lisan, apalagi kepada para wali Allâh سبحانه وتعالى . Yang keluar dari lisan kita bila berbicara tentang mereka adalah penyebutan kebaikan dan mendoakannya, seperti doa dalam ayat di atas, “Ya Rabb kami! Beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami,. Kita senantiasa menjaga lisan kita untuk tidak mencela mereka, tidak mencaci mereka, tidak mendiskreditkan mereka. Kita harus senantiasa mendoakan kebaikan untuk mereka.

Kedua, kebersihan hati dalam bersikap terhadap para wali Allâh. Allâh سبحانه وتعالى berfirman dalam ayat di atas, “Ya Allâh! Janganlah jadikan di dalam hati kami perasaan dengki, perasaan iri, perasaan hasad kepada orang-orang yang beriman.

Sehingga dengan demikian, hatinya selalu bersih dari semua penyakit hati. Rasûlullâh ﷺ dalam sebuah hadits shahih, ketika Beliau ﷺ ditanya oleh seorang Sahabat رضي الله عنه :

أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟

Siapakah orang yang paling utama?

Beliau ﷺ menjawab :

كُلُّ مَخْمُوْمِ القَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ قَالُوْا صَدُوْقَ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ. فَمَا مَخْمُومُ القَلْبِ؟ قَالَ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لَا إِثْمَ فِيْهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَاحَسَدَ

Orang yang paling mulia adalah orang yang hatinya bersih dan lisannya selalu jujur. Para Sahabat berkata lagi, “Kalau lisan yang selalu jujur, kami sudah paham, lalu apa maksud hati yang bersih itu (makhmûm al-qalb)?” Maka Beliau ﷺ mengatakan, “Yaitu orang yang bertakwa, hatinya suci, yang tidak ada dosa di dalamnya, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada kedengkian dan tidak ada hasad.” (HR. Ibnu Mâjah)

Siapakah Para Wali Allâh?

Setelah kita tahu bahwa mencintai para wali Allâh adalah salah satu ibadah yang sangat mulia, maka tentunya wajib bagi kita untuk mengetahui siapakah para wali Allâh tersebut? Sebab ketika kita tidak memahami siapa para wali Allâh tersebut, pasti akan rancu. Ia tidak bisa membedakan mana wali Allâh yang benar, dan mana yang bukan wali-Nya namun mengaku diri sebagai wali.

Oleh karena itu, mengetahui siapakah para wali Allâh adalah masalah yang sangat urgen.

Pertama, wali Allâh yang paling istimewa, kekasih Allâh yang paling tinggi derajatnya adalah para nabi dan para rasul. Sebab mereka adalah wali dan manusia pilihan yang paling dicintai oleh Allâh سبحانه وتعالى di muka bumi ini. Setiap Nabi adalah wali Allâh. Para nabi memiliki sifatsifat dan kriteria-kriteria wali Allâh yang sangat tinggi.

Setelah para nabi dan rasul, kedudukan selanjutnya adalah orang-orang yang mengikuti para Nabi dengan baik, terutama para Sahabat Nabi ﷺ . Sungguh, para Sahabat Nabi ﷺ adalah manusia yang paling utama di muka bumi ini setelah para Nabi dan para Rasul. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ ﴾

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allâh. (QS. Ali Imrân/ 3: 110)

Para Sahabat pun bertingkat-tingkat keutamaannya. Yang paling utama adalah Abu Bakar ash-Shidiq رضي الله عنه , kemudian Umar Ibnu Khatt hab رضي الله عنه , kemudian Sahabat-Sahabat berikutnya yang lain. Mereka inilah para wali pilihan dan teladan, para hamba Allâh terbaik.

Setelah itu baru kemudian orang-orang yang setia mengikuti ajaran-ajaran mereka dan mengambil jalan seperti yang mereka tempuh. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ …٠ ﴾

 Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, (QS. At-Taubah/ 9: 100)

Makna Wali

Kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa arti wali. Dalam Bahasa Arab, kata wali diambil dari kata al-walâyah yang artinya kedekatan. Jadi, wali adalah orang yang mendekatkan diri kepada Allâh dengan amalan-amalan shalih dan perkataan yang lurus. Semakin shalih amalan yang mereka lakukan, maka akan semakin dekat kedudukannya dengan Allâh سبحانه وتعالى dan semakin besar kadar kewaliannya. Derajat kewalian pun bertingkat, sesuai dengan tingkat kedekatannya kepada Allâh. Barangsiapa taqarrubnya kepada Allâh sangat bagus, maka iapun mempunyai derajat kewalian yang tinggi. Sebaliknya, semakin sedikit amalan seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allâh سبحانه وتعالى , maka akan semakin sedikit pula derajat kewaliannya, atau semakin jauh dari derajat wali. Jadi, kewalian derajatnya bertingkat-tingkat, tidak satu level. Kedekatanseorang hamba kepada Allâh berbeda-beda. Semakin tinggi tingkat keshalihan seorang hamba, iapun semakin dekat kepada Allâh. Begitu pula sebaliknya semakin sedikit amal shalih yang dia kerjakan maka akan semakin jauh dari Allâh. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ اِلٰى رَبِّهِمُ الْوَسِيْلَةَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهٗ وَيَخَافُوْنَ عَذَابَهٗۗ اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوْرًا ٥٧ ﴾

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allâh) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azabNya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al-Isrâ’ /17: 57)

Ketika ditanyakan, apa sebenarnya kriteria dan sifat para wali Allâh? Bagaimana kita mengetahui mana yang merupakan wali Allâh dan mana yang bukan? Jawaban dari pertanyaan tersebut sudah dij elaskan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi ﷺ . Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasul ﷺ yang menjelaskannya. Akan tetapi di sini kita hanya akan mengambil satu ayat dan satu hadits saja. Adapun ayat dari alQur’an adalah firman Allâh سبحانه وتعالى :

﴿ اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ ٦٢ ﴾

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yûnus/10:62)

Ketika Allâh سبحانه وتعالى menyebutkan keistimewaan para wali Allâh ini, mungkin ada yang bertanya siapakah para wali Allâh tersebut? Apa sifat-sifat mereka? Allâh سبحانه وتعالى melanjutkan firman-Nya:

﴿ اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ ٦٣ ﴾

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yûnus/10:62)

Oleh karena itu, para Ulama menyimpulkan dari ayat tersebut, “setiap orang yang beriman dan bertakwa kepada Allâh, berarti dia adalah wali Allâh.” Setiap kali seorang hamba berantusias untuk merealisasikan iman dan takwa, maka ia mempunyai satu bagian dari sifat kewalian ini, sesuai dengan kadar iman dan takwa yang ia wujudkan.

Apa yang dimaksud dengan iman? Yang pertama tentunya adalah beriman kepada Allâh. Beriman bahwa Allâh Pencipta kita, yang memberi rezeki, yang mengatur alam semesta ini. Beriman dengan nama-nama Allâh, sifatsifat Allâh yang mulia dan meyakini tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh, serta memurnikan seluruh ibadah hanya untuk Allâh.

Masuk pula dalam cakupan iman, yaitu beriman dengan segala yang Allâh perintahkan untuk diimani. Yaitu rukun-rukun iman berikutnya, seperti mengimani para Malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan lainnya. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ ۞ لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ ﴾

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allâh, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi (QS. Al-Baqarah/ 2: 177)

Juga firman-Nya:

﴿ اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ ٢٨٥ ﴾

Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yangditurunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allâh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami, wahai Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. AlBaqarah/2: 285)

Kriteria yang kedua adalah takwa. Apa yang dimaksud takwa? Takwa adalah menjalankan setiap perintah Allâh serta menjauhi larangan Nya.

Oleh karena itu, wali Allâh itu adalah orang yang terpancar darinya keimanan dan ketakwaan. Keimanan terwujud dengan hatinya yang lurus dengan meyakini akidah yang benar; dan ketakwaan terealisasi dengan anggota tubuhnya yang istiqamah melakukan amalanamalan mulia dan jauh dari perbuatan buruk.

Mereka bertakwa dengan melaksanakan apa yang Allâh perintahkan, dan menjauhi apa-apa yang Allâh larang. Sebagaimana yang dikatakan Thalq bin Habib ketika ditanya tentang kriteria takwa, “Takwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allâh dengan mengharap rahmat Allâh, di atas cahaya dari Allâh; dan meninggalkan maksiat kepada Allâh karena takut akan (adzab) Allâh, di atas cahaya dari Allâh.”

Pahamilah ayat di atas, niscaya kita tahu siapa itu wali Allâh. Wali Allâh adalah orang yang amalan-amalan hatinya bersih dan bagus, dan anggota badan mereka istiqamah dengan menerapkan ketakwaan dan amalan yang menyebabkan Allâh سبحانه وتعالى ridha. Karena itu, orang yang beriman dan bertakwa, ia adalah wali Allâh سبحانه وتعالى .

Dari sini diketahui bahwa wali Allâh bukanlah gelar yang disematkan oleh seseorang. Wali Allâh tidak didapat dengan memulazamahi seseorang dalam jangka waktu tertentu, kemudian setelah itu ia digelari dengan sebutan wali. Pangkat wali bukanlah pakaian yangdisematkan oleh seseorang. Akan tetapi derajat wali adalah bentuk ketaatan dan taqarrub hamba kepada Allâh, beribadah dengan sebaik-baiknya kepada Allâh.

Para wali tidaklah harus mengenakan pakaian berbeda dengan orang lain. Mereka tidak harus memakai pakaian khusus yang menunjukkan derajat kewaliannya. Karena sesungguhnya wali yang paling tinggi kedudukannya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ berpakaian seperti para Sahabat umumnya.

Wali bukanlah label atau julukan yang harus diberikan seseorang kepada orang lain. Akan tetapi kewalian adalah keimanan dan ketakwaan kepada Allâh, ketaatan kepada-Nya, kedekatan seorang hamba kepada-Nya dengan menjalankan ibadah-ibadah yang disyariatkan oleh-Nya.

Sedangkan dari hadits yang berbicara tentang kriteria wali, kita ketengahkan sebuah hadits tentang itu. Hadits tersebut ada dalam Shahih al-Bukhâri. Para Ulama menyebutkan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih yang berbicara tentang kriteria para wali, sehingga para Ulama kita menjuluki hadits ini sebagai hadits wali. Hadits yang dimaksudkan adalah sabda Nabi ﷺ dari hadits Abu Hurairoh bahwa Allâh berfirman dalam hadits qudsi, Allâh berfirman:

مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا، فَقَدْ آذَنْتُهُ بالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنًّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِي بِهَا وَإِنِ سَأَلَنِيْ أَعْطَيْتُهُ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُ

Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguhAku telah umumkan genderang perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepadaKu; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terusmenerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi pengelihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya.

Ini adalah hadits agung mengenai wali Allâh dan kriteria mereka. Karena Allâh سبحانه وتعالى menyatakan bahwa barangsiapa yang memusuhi wali Allâh, maka sungguh Allâh telah mengumumkan perang kepadanya.

Pertanyaannya, siapakah para wali Allâh yang bila ada orang yang berani memusuhinya, maka Allâh mengumumkan perang terhadapnya? Jawabannya ada pada firman-Nya, dalam hadits qudsi di atas, “Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadahibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”

Berdasarkan pada hadits tersebut, para Ulama mengatakan bahwa wali Allâh ada dua tingkatan.

  1. Tingkatan muqtashid (yang pertengahan atau yang sedang).

Mereka adalah yang melaksanakan halhal yang wajib dan meninggalkan segala yang diharamkan. Mereka ini termasuk wali Allâh. Dalam Shahih Muslim:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ ﷺ النُّعْمَانُ بْنِ قَوقَلٍ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ المَكْتُوْبَةَ وَحَرَّمْتُ الحَرامَ وَأَحَلَلْتُ الحَلاَلَ أَأَدْخُلُ الجَنَّةَ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ نَعَمْ.

Dari Jabir berkata, “Nu’man bin Qauqal رضي الله عنه datang kepada Nabi ﷺ seraya berkata, “Wahai Rasûlullâh! Bagaimana menurutmu, bila aku melakukan shalat yang wajib, aku mengharamkan yang haram, dan menghalalkan yang halal, apakah aku akan masuk surga?” Nabi ﷺ menjawab, “ Ya”

Dalam satu riwayat, Sahabat tersebut berkata, “Demi Allâh! Aku tidak akan menambah apapun atas amalan (wajib) tersebut.”

Jadi, seorang hamba ketika menjalankan sesuatu yang diwajibkan oleh Allâh سبحانه وتعالى dan menjauhi yang diharamkan Allâh, maka dia termasuk wali Allâh. Dan meninggalkan halhal yang diharamkan, ini termasuk hal yang diwajibkan Allâh atas hamba-Nya. Karena Allâh mewajibkan atas hamba untuk melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang diharamkan.

Ini adalah satu tingkatan wali, yakni tingkatan muqtashidin; yakni mereka yang mencukupkan diri dengan mekakukan yang wajib dan meninggalkan yang diharamkan.

Tingkatan muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allâh) yaitu yang bergegas melakukan kebaikan.

Tingkatan ini diisyaratkan dalam firman Allâh dalam hadits qudsi di atas, “Dan masih saja hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya.” Dalam teks hadits di atas disebutkan dengan kata: wa lâ yazâlu ‘abdî… yang bermakna terus menerus berlangsung. Artinya hamba tersebut terus-menerus melakukan amalan nawâfi سبحانه وتعالى (sunnah) setelah ia menjaga hal-hal yang wajib.

Ini adalah tingkatan yang sangat tinggi dalam derajat kewalian, yaitu bertaqarrub kepada Allâh سبحانه وتعالى dengan amalan-amalan sunnah setelah menjaga dan terus-menerus melakukan amalan wajib. Orang tidak bisa dikatakan terus menjaga amalan sunnah bila ia menyia-nyiakan amalan-amalan wajib. Ini adalah tingkatan yang tinggi dalam kewalian yaitu tingkatan sâbiqun bil khairat.

Dalam al-Quran pun disebutkan ayat-ayattentang dua tingkatan tersebut, seperti dalam Surat al-Insân, al-Wâqi’ah, al-Muthaffi fi n, juga dalam Surat Fa-thir. Dalam Surat Fâ-thir, Allâh سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَاۚ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ ۚوَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ ۚوَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِالْخَيْرٰتِ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُۗ ٣٢ ﴾

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orangJ I orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS. Fâ-thir/ 35: 32)

Dua kelompok tersebut adalah wali Allâh, yaitu yang masuk dalam tingkatan muqtashid yang melaksanakan amalan-amalan wajib dan meninggalkan yang diharamkan; dan sabiq bilkhairat, yang berlomba-lomba dan bergegas dalam melaksanakan amalan-amalan sunnah setelah menunaikan hal-hal yang diwajibkan.

Kedua kelompok ini pada hari Kiamat akan masuk surga tanpa hisab. Karena mereka adalah para wali Allâh سبحانه وتعالى . Allâh سبحانه وتعالى tidak menghisab mereka apalagi menyiksa mereka. Kelompok muqtashid, karena mereka telah menunaikan apa yang telah Allâh سبحانه وتعالى fardhukan atas mereka dan meninggalkan apa yang Allâh haramkan, sedangkan sabiqun bil khairat, karena kedudukan dan tingkatan mereka lebih tinggi.

Para wali Allâh yang terwakili dalam dua golongan tersebut (yaitu muqtashid dan sabiq bil khairat), tersebar di kalangan umat ini. Mereka tidak harus memakai pakaian khusus, label dan gelar tertentu, tidak juga seperti layaknya jenjang studi yang ditempuh seseorang, dengan melâzimi syaikh kemudian ia berhak untuk dij uluki sebagai wali Allâh. Akan tetapi wali Allâh adalah orang yang benar-benarmendekatkan diri kepada Allâh, yang tulus dan sungguh-sungguh dalam bersandar kepada Allâh; terutama dalam menjalankan kewajibankewajiban agama, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan dan mengandung dosa.

Oleh karena itu, bisa jadi wali Allâh adalah seorang petani yang bekerja di sawah, atau seorang karyawan di pabrik, seorang pedagang di pasar, atau seorang ahli ibadah di masjid. Bisa jadi pula wali Allâh adalah seorang da’i, Ulama, mubaligh. Dan mereka ini adalah orang yang paling mulia. Bahkan sebagaimana diriwayatkan al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya Jâmi’ Bayânil Ilmi wa Fadhlih, Imam Syafi ’i berkata, “Seandainya Ulama itu bukanlah wali Allâh, maka tidak ada wali Allâh.” Yang dimaksudkan dengan Ulama adalah para Ulama yang mengamalkan ilmunya. Yaitu mereka yang mempelajari agama ini, mendakwahkannya dan mendidik umat untuk memahami agama ini. Karena sesungguhnya Rasûlullâh ﷺ menjelaskan:

وَإِنَّ فَضْلَ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ عَلَى سَائرِ الكَوَاكِبِ. إِنَّ العُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوْا العِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِخَظٍّ وَافِرٍ

Sesungguhnya keutamaan Ulama dibandingkan dengan ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama dibandingkan dengan bintang-bintang. Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh, para nabi tidaklah mewariskan dinar, tidak pula mewariskan dirham. Yang mereka wariskan tidak lain adalah ilmu. Barangsiapa mewarisi ilmu tersebut, maka sungguh dia sudah mendapatkan bagaian warisan yang sangat besar. (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Abu Daud, Ibnu Majah)

Jadi, ciri utama seorang wali adalah dia senantiasa menjaga kewajiban-kewajiban agama. Ini adalah tanda dan ciri yang membedakan antara wali Allâh dan lainnya. Ia menjagakewajiban-kewajiban agama Allâh; yaitu dengan melakukan apa yang diwajibkan dan menjauhi apa yang diharamkan oleh Allâh. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadist wali di atas.

Dan di antara kewajiban terbesar yang diwajibkan atas umat ini adalah shalat lima waktu, dengan menunaikannya di masjid secara berjama’ah bagi kaum laki-laki, seperti yang diperintahkan Allâh سبحانه وتعالى . Shalat lima waktu adalah barometer harian seorang wali. Orang yang jarang kelihatan di masjid, menyianyiakan shalat, meremehkannya dan tidak menunaikannya di masjid, ini menunjukkan bahwa kualitas agamanya tidak baik. Begitu pula bila seseorang yang menyepelekan kewajiban agama, sehingga dengan mudahnya menerjang hal yang diharamkan dan membinasakan agamanya, mendatangi tempat-tempat maksiat. Ia bukanlah wali Allâh. Jadi, ciri seorang wali Allâh سبحانه وتعالى adalah ia sangat peduli dan perhatian terhadap kewajiban-kewajiban agamanya. Ia selalu menjaga dan menaruh perhatian terhadapnya, serta menjauhi apa yang telah Allâh haramkan atas para hamba-Nya.

Waspadai Distorsi Penafsiran Arti Wali Allâh

Sangat sesat orang yang mengatakan bahwa wali adalah orang yang telah sampai pada suatu derajat, di mana taklîf agama (beban menjalankan kewajiban agama) telah gugur darinya. Mereka telah memalingkan manusia dari jalan Allâh سبحانه وتعالى yang lurus. Mereka merekayasa untuk mentakwilkan ayat-ayat Allâh, seperti ayat Allâh:

﴿ وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ࣖࣖ ٩٩ ﴾

dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (QS. Al-Hij r/ 15: 99)

Mereka memaknai ayat ini dengan makna, “Sembahlah Rabbmu hingga engkau sampai pada derajat yakin, di mana pada derajat itu kewajiban menjalankan taklif agama telah gugur, dia bebas berbuat, tidak terikat lagi dengan syariat.

Ini adalah pemahaman batil dan sesat. Kita berlindung kepada Allâh dari pemahamanpemahaman seperti ini. Mereka telah menyelewengkan nash dari maknanya yang lurus. Tak ada seorang pun dari wali Allâh سبحانه وتعالى yang meninggalkan kewajiban shalat. Tidak ada wali Allâh yang tidak menjaga kewajibankewajiban agama. Bahkan, seorang wali selalu mendekatkan diri kepada Allâh سبحانه وتعالى hingga ajal menjemput. Ini seperti firman Allâh di atas, “dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” yaitu sampai datang kematian.

Inilah pemahaman yang benar. Inilah makna ayat ini, sebagaimana yang Allâh سبحانه وتعالى firmankan:

﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ١٠٢ ﴾

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran/ 3: 102)

Ibadah kepada Allâh terus berlanjut hingga kematian datang. Karena itulah, Nabi ﷺ pada hari di mana Beliau ﷺ wafat, pada tatapan Beliau ﷺ yang terakhir kepada para Sahabatnya, dari jendela rumahnya Beliau ﷺ melihat para Sahabatnya yang tengah menunaikan shalat di masjid. Kala itu, saat shalat Shubuh. Beliau ﷺ melihat para wali Allâh yang tengah menunaikan shalat Shubuh. Ada di antara mereka Abu Bakr, Umar bin Khatt hab, Utsman bin Aff an, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya g (semoga Allâh meridhai mereka).

Beliau ﷺ tersenyum melihat mereka, pertanda ridha dan bahagia melihat para Sahabatnya berkumpul menunaikan ibadah kepada Allâh سبحانه وتعالى . Merekalah para wali Allâh. Mereka sangat perhatian terhadap masjid, menjaga kewajiban-kewajiban yang Allâh سبحانه وتعالى bebankan kepada mereka, dan mereka kontinyu dalam ketaatan kepada Allâh سبحانه وتعالى .

Adapun orang yang mengatakan bahwa wali Allâh adalah orang yang telah sampai pada satu tingkatan derajat, di mana pada derajat itu ia telah bebas dari syariat, tidak terikat dengan kewajiban agama dan bebas menerjang larangan Allâh, maka ini merupakan suatu bentuk kesesatan, kedustaan dan khurafat. Bahkan, diantara mereka berkata bahwa wali Allâh bisa mencapai suatu derajat, di mana ia lebih tinggi daripada harus pergi ke Ka’bah untuk thawaf di sana. Bahkan maqamnya lebih agung daripada itu. Ka’bah itulah yang harus pergi kepadanya untuk thawaf mengelilinginya!

Ini semua adalah khurafat, kedustaan besar, dan mengelabui akal manusia dari pemahaman Islam yang benar yang penuh barakah yang datang dalam Kitab Allâh سبحانه وتعالى dan Sunnah Nabi ﷺ . Mereka menggiring manusia menuju berbagai macam khurafat yang sama sekali tak pernah Allâh سبحانه وتعالى ajarkan.

Baca Juga : Kehebatan Tauhid, Menghapus Semua Dosa

Bahkan disebutkan dalam sebuah buku karya seorang yang berpemahaman seperti itu, bahwa bila Ka’bah pergi untuk thawaf mengelilingi wali, maka ke arah mana kaum Muslimin harus menghadap dalam shalatnya? Kata mereka, dalam masalah tersebut ada dua pendapat. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa mereka tetap shalat menghadap ke tempat asal Ka’bah. Pendapat kedua bahwa mereka harus mencari keberadaan Ka’bah. Mereka harus mencari ke mana Ka’bah pergi, sehingga mereka bisa shalat dengan menghadap ke arah Ka’bah yang tengah pergi tersebut.

Lihatlah! Bagaimana khurafat telah mempermainkan akal kaum yang tidak memiliki ilmu agama. Lihatlah! bagaimana kaum penebar kesesatan menjajakan kesesatan-kesesatan seperti ini atas kaum jahil, dengan melecehkan akal mereka. Padahal Rasûlullâh ﷺ telah bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الأَئِمَّةُ المُضِلُّوْنَ

Sesungguhnya golongan yang paling aku takutkan atas umatku adalah orang-orang yang dij adikan panutan namun menyesatkan. (HR. Ahmad, AdDarimi, Ath-Thabrani)

Tidak Menganggap Diri Suci

Di antara ciri wali Allâh, bahwa meski ia telah mengerahkan segenap daya untuk mendekatkan diri kepada Allâh سبحانه وتعالى dan memperbagus amalnya, namun mereka tidak pernah menganggap dirinya suci. Ini sebagai wujud pengamalan dari firman Allâh سبحانه وتعالى :

﴿    فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى ࣖ ٣٢ ﴾

maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An-Najm/ 53: 32)

Ia tak pernah menganggap dirinya suci. Para Sahabat, dan juga para Tabi’în tidak memandang diri mereka suci. Karena itu seorang wali tidak akan memandang dirinya suci. Ia tidak akan mengatakan bahwa ia adalah salah seorang wali Allâh, atau mengatakan bahwa ia telah mencapai suatu maqam tertentu. Bahkan ia senantiasa memandang dirinya adalah sosok yang penuh alpa dan lalai. Karena itu, ketika menyebutkan sifat-sifat kaum Mukminin yang sempurna, Allâh سبحانه وتعالى berfirman dalam Surat al-Mu’minûn:

﴿ وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ رٰجِعُوْنَ ۙ ٦٠ ﴾

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. (QS. Al-Mu’minûn/ 23: 60)

Ummul Mukminin Aisyah x bertanya kepada Nabi ﷺ tentang makna ayat ini. Aisyah x bertanya:

أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِيْ وَيَسْرِقُ وَيَشْرِبُ الخَمْرَ؟

Apakah ia adalah orang yang mencuri, berzina dan meminum khamr?

Nabi ﷺ menjawab:

لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ، وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُوْمُ وَيُصَلِّيْ وَيَتَصَدَّقُ، وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ

Tidak wahai Putri Abu Bakr Ash-Shiddiq! Akan tetapi ia adalah seseorang yang berpuasa, shalat dan bersedekah, namun meski begitu ia khawatir kalaukalau itu tidak diterima darinya. (HR. Ahmad dan lainnya)

Dan banyak ditemukan dalam atsar dari para Sahabat, yang menjelaskan tentang keadaan penuh tauladan nan mulia seperti ini.

Abdullah bin Abi Mulaikah berkata, “Aku mendapati lebih dari 30 Sahabat g , masingmasing dari mereka khawatir kalau-kalau diri mereka dij angkiti sifat nifaq!”

Abdullah bin Umar c berkata, “Sekiranya aku tahu kalau satu sujud yang aku lakukan diterima Allâh سبحانه وتعالى , tentu itu lebih baik bagiku daripada dunia seisinya.”

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Orang yang beriman adalah orang yang menggabungkan antara perbuatan baik dengan perasaan khawatir (kalau-kalau amalnya tidak diterima). Sedangkan orang munafi سبحانه وتعالى menggabungkan perbuatan maksiat dengan perasaan aman (merasa aman dari adzab Allâh).”

Seorang Mukmin beramal dengan baik, namun dalam waktu yang sama ia merasa khawatir kalau-kalau amalnya tidak diterima oleh Allâh سبحانه وتعالى . Oleh karena itu, ia senantiasa bersungguh-sungguh dalam berbuat kebaikan, ketaatan dan dalam mendekatkan diri kepada Allâh سبحانه وتعالى . Akan tetapi, ia sama sekali tidak menganggap dirinya suci. Ia berharap agar Allâh سبحانه وتعالى berkenan menerima amalnya.

Lihatlah contoh yang mengagumkan dari kisah Nabi Ibrahim q sang kekasih Allâh (Khalîlurrahmân). Yakni kala beliau q membangun rumah Allâh atas perintah Allâh arRahmân. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ ١٢٧ ﴾

( Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan(membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Wahai Rabb kami! Terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 127)

Para Ulama seperti disebutkan dalam kitab-kitab tafsir berkata, bahwa beliau mengucapkan doa ini setiap kali beliau q meletakkan sebongkah batu dalam membangun Ka’bah. Setiap kali meletakkan batu, beliau q mengucapkan doa ini, memohon agar Allâh سبحانه وتعالى berkenan menerimanya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ketika menafsirkan ayat di atas, beliau menukilkan, bahwa Wuhaib bin alWard t membaca ayat ini, lalu ia menangis seraya berujar, “Wahai Khalîlurrahman! Engkau meninggikan pondasi rumah Allâh ar-Rahman, namun engkau pun khawatir kalau-kalau itu tidak diterima darimu!”

Kejadian di Luar Kebiasaan Bukan Syarat Wali

Terjadinya hal-hal di luar kebiasaan tidaklah menjadi syarat seseorang itu dikatakan sebagai wali Allâh. Hal-hal di luar kebiasan, bisa saja terjadi pada diri seorang wali Allâh, sebagai bentuk Allâh memberikan kemuliaan baginya (karamah baginya), bisa sebagai hujjah (bukti) baginya dari Allâh, atau bisa juga karena saat itu memang dibutuhkan. Karamah bisa sebagai hujjah di mana Allâh سبحانه وتعالى hendak memenangkan agama-Nya lewat hal di luar kebiasaan tersebut. Atau karena faktor kebutuhan; di mana seorang wali Allâh سبحانه وتعالى sangat membutuhkannya, sehingga Allâh memuliakannya dengan karamah tersebut. Dengan hal tersebut ia bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan keperluannya yang mendesak, sebagai bentuk kemuliaan dari Allâh. Akan tetapi, itu bukanlah syarat bagi seseorang untuk menjadi wali Allâh. Bahkan karamah yang paling agung adalah konsisten dalam meniti jalan istiqamah.

Baca Juga : IMAN KEPADA PARA RASUL ALLAH

Karamah paling agung yang Allâh سبحانه وتعالى anugerahkan untuk memuliakan hambaNya adalah ia dianugerahi keistiqamahan dalam ketaatan serta taqarrub, meskipun tidak ditemukan pada dirinya hal-hal menakjubkan di luar kebiasaan. Banyak Sahabat, padahal mereka adalah manusia terbaik dari umat ini, namun tidak didapatkan pada mereka hal-hal menakjubkan di luar kebiasaan. Padahal mereka, para wali Allâh سبحانه وتعالى yang paling terpandang, para imam pilihan dan hamba Allâh terbaik.

Jadi, terjadinya hal-hal menakjubkan di luar kebiasaan bukanlah menjadi syarat dan bukan pula pertanda bahwa seseorang sebagai wali Allâh. Ia bukanlah barometer yang menjadi patokan seseorang dikatakan wali Allâh. Karena hal-hal di luar kebiasaan, bisa saja itu datang dari syaitan, sebagai bentuk pertolongan bagi para pengikut dan wali-wali syaitan. Syaitan menolong mereka dengan halhal di luar kebiasaan, sehingga orang-orang pun menjadi terkecoh dan menjadi sesat. Jadi, hal-hal ajaib di luar kebiasaan bukanlah syarat seorang wali Allâh. Akan tetapi tanda seseorang sebagai wali Allâh adalah konsistensi dalam meniti jalan istiqamah, terus menjaga ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allâh, meskipun tidak terjadi hal-hal ajaib di luar kebiasaan pada dirinya.

Mengenai karamah, ahlussunnah meyakini adanya karamah bagi wali Allâh سبحانه وتعالى . Dan karamah bagi wali Allâh ini cukup banyak terjadi. Bahkan berkenaan dengan banyaknya karamah bagi wali-wali Allâh, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t sampai-sampai mengatakan bahwa hal itu seperti halnya hujan. Sangat banyak sekali karamah yang diberikan Allâh سبحانه وتعالى kepada para wali-Nya sebagai bentuk pemuliaan bagi mereka. Ibnu Taimiyyah dan Ulama lainnya menukilkan banyak contoh karamah yang diberikan Allâh kepada para Sahabat dan Tabi’in. Akan tetapi itu bukanlah menjadi pertanda kewalian seseorang. Akan tetapi seperti dinyatakan sebelumnya, bahwa pertanda kewalian seseorang adalah bahwa ia konsisten meniti jalan istiqamah, dan menjaga ketaatan kepada Allâh سبحانه وتعالى .

Barometer Wali Allâh

Imam Ibnu Qoyyim al Jauziyyah dalam kitab beliau ar-Rûh menyatakan, bahwa bila engkau merasa bimbang dalam menilai perihal seseorang, apakah ia termasuk wali Allâh atau bukan, maka periksalah ia dalam tiga hal:

  1. shalatnya,
  2. kecintaannya terhadap sunnah beserta para pengikut sunnah;
  3. dakwahnya menuju pada agama Allâh dan Rasul-Nya, usahanya dalam memurnikan tauhidullâh serta dalam mutâba’ah mengikuti sunnah Rasul-Nya dan upayanya menerapkan sunnah sebagai hukum dalam setiap perkara.

Inilah barometer yang harus menjadi pedoman dalam menilai kewalian seseorang. Timbanglah dengan barometer ini. Jangan ditimbang dengan keadaannya, kasyf-nya, dan perkaranya yang aneh dan luar biasa, meskipun ia bisa berjalan di atas air atau terbang di angkasa.

Ini adalah tiga perkara untuk menilai dan menimbang serta menyingkap perihal seseorang, apakah dia termasuk wali Allâh atau bukan.

Yang pertama adalah lihat shalatnya. Apakah ia sangat perhatian terhadap shalatnya? Karena shalat adalah barometer dan standar harian. Ia bisa dinilai dari shalatnya. Bila ia senantiasa menjaga shalatnya di masjid, tidak menyia-nyiakannya, tidak berlaku lalai terhadap shalatnya, maka ini adalah barometer yang menunjukkan bahwa ia orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allâh سبحانه وتعالى , dan menjadi indikasi bagusnya kwalitas hubungan dia dengan Allâh سبحانه وتعالى .

Yang kedua adalah, apakah ada pada orang tersebut kecintaaan kepada sunnah dan pengikut sunnah, atau justru yang ada kebenciannya terhadap sunnah dan para pengikut sunnah. Bila seseorang mencintai sunnah dan para pengikut sunnah, maka ini adalah pertanda kebaikannya. Adapun bila seseorang benci terhadap sunnah, memusuhi para pengikut sunnah, maka ini bukanlah pertanda kebaikannya. Ini pertanda ia bukan wali Allâh.

Yang ketiga adalah dakwah menyeru pada agama Allâh dan Rasul-Nya. Artinya seorang wali Allâh, tidak menyeru untuk kemaslahatan dirinya sendiri; namun ia menyeru untuk menuju agama Allâh سبحانه وتعالى . Banyak ditemukan orang yang menjadi da’i, namun ia bukan menyeru untuk agama Allâh. Ia berdakwah untuk meraih popularitas diri, atau untuk mendulang suara, atau untuk memperbanyak pendukung, atau hal-hal duniawi lainnya.

Imam Syafi i menyatakan bahwa aku menginginkan sekiranya orang-orang masuk ke dalam agama Allâh سبحانه وتعالى dengan berbondongbondong, meskipun tubuhku tercabik-cabik dipotong-potong. Beliau t tidak peduli dengan dirinya. Yang terpenting adalah bahwa orang-orang menjemput hidayah dan masuk ke dalam agama Allâh, dan mengenal kebenaran.

Maka di antara tanda kewalian seseorang adalah bahwa ia tidak berdakwah untuk kepentingan diri pribadi. Ia tidak mengajak manusia untuk mengagungkan dirinya. Ia tidak mencari banyaknya penggemar dan pengikut. Akan tetapi ia berdakwah menyeru pada mentauhidkan Allâh, menyeru pada agama Allâh, pada ibadah kepada Allâh. Tidak ada obsesi pada dirinya selain untuk memperbaiki masyarakat, untuk keistiqamahan mereka dalam ketaatan dan dalam bertaqarrub kepada Allâh. Jadi, point ketiga dari barometer untuk mengetahui wali Allâh seperti diungkapkan Imam Ibnul Qayyim adalah: dalam hal dakwah menyeru kepada agama Allâh dan RasulNya, dan memurnikan tauhid (tajridut tauhid) dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Nabi ﷺ ), dan menjadikan sunnah sebagai hukum dan pedoman. Adapun tajridut tauhid artinya ikhlas karena Allâh. Mutaba’ah artinya mengikuti sunnah Rasûlullâh ﷺ dan menjadikan sunnahnya sebagai pedoman dalam segala hal.

Inilah tiga hal dalam menilai seseorang adalah wali Allâh. Jangan ditimbang dengan melihat keadaannya, atau pada kasyf yang ada padanya, atau dengan hal-hal luar biasa padanya, meskipun ia bisa berjalan di atas air atau terbangdi udara. Namun ukur dan timbanglah dengan tiga perkara di atas yang merupakan barometer yang cermat dan akurat, yang diambil dari Kitab Allâh dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ .

Wali Allâh seperti diungkapkan Ibnul Qayyim t di atas, harus senantiasa memurnikan tauhid dan memurnikan mutâba’ah kepada Rasûlullâh ﷺ . Seseorang tidak akan mungkin sampai pada derajat kewalian, melainkan seandainya dia memenuhi kedua syarat tersebut, yaitu memurnikan tauhid untuk Allâh; dengan memurnikan keikhlasan kepada Allâh, dengan mendakwahkan kepada tauhid dan ikhlash untuk Allâh. Dan yang kedua adalah memurnikan mutabaah yakni mengikuti dan meneladani Rasûlullâh ﷺ . Karena itulah Allâh menghimpun antara dua hal ini dalam firmanNya:,

﴿ قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ١٠٨ ﴾

Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orangorang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allâh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allâh, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf/ 12: 108)

[katakanlah wahai Muhammad! Inilah jalanku, aku berdakwah kepada agama Allâh], artinya adalah mentauhidkan Allâh dan hanya memberikan peribadatan kepada Allâh semata. [aku dan juga orang-orang yang mengikutiku berdakwah di atas hujjah] para pengikut rasul; inilah status dan keadaan mereka. Mereka menyeru pada agama Allâh, pada mengikhlaskan agama hanya untuk Allâh, dengan berlepas diri dari syirik. Karena itulah, orang-orang yang menyeru pada kesyirikan, yang menyerukan untuk bergantung pada selain Allâh, termasuk bertaut hati pada mereka yang telah mati, dengan beristighatsah, menaruh pengharapan, memanjatkan doa pada mereka; Mereka ini tidak termasuk wali-wali Allâh. Begitu pula dengan orang-orang yang menyeru pada bid’ah, kesesatan, dan hal-hal yang tidak diperkenankan Allâh سبحانه وتعالى . Mereka juga tidak termasuk wali-wali Allâh. Karena para wali Allâh سبحانه وتعالى adalah orang-orang yang memurnikan tauhid hanya untuk Allâh, dan memurnikan mutabâ’ah kepada Rasûlullâh ﷺ .

Dengan mewujudkan dua pokok dasar Islam; persaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh, dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allâh. Sesungguhnya persaksian pertama mempunyai arti mengikhlaskan agama hanya untuk Allâh, sedangkan persaksian kedua mempunyai arti memurnikan mutâba’ah; yaitu hanya mengikuti dan meneladani Rasûlullâh ﷺ .

Permasalahan tentang wali Allâh, mendapatkan perhatian khusus dari para Ulama. Mereka menulis banyak kitab tentang masalah ini. Bahkan tentang hadits yang kita angkat di awal-awal, yang dikenal dengan sebutan “hadîtsul awliyâ” (hadits tentang para wali Allâh), Imam Syaukani menulis satu buku khusus untuk menjabarkan makna hadits tersebut dengan judul, Qathrul Waliy Fi Syarhi Hadîtsil Wali. Ini adalah salah satu buku yang bernilai tinggi, yang menjelaskan tentang siapakah sebenarnya wali Allâh. Sebelumnya, Imam an-Nawawi telah menyebutkan hadits ini dalam Kitabnya yang dikenal dengan nama alArba’in An-Nawawiyyah, dan beliau memberikan ulasan secara ringkas. Kemudian ulasan tentang hadits tersebut dij abarkan secara luas oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab beliau ‘Jâmi’ul Ulûm wal Hikam’.

 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t juga mempunyai buku khusus bermutu tinggi yang membahas masalah ini. Beliau tuangkan masalah tersebut dalam kitabnya yang berjudul ‘al-Furqân baina Auliya Ar-Rahmân wa Auliyâ’ asy- Syaithân’ (Pembeda antara wali-wali Allâh dan wali-wali syaitan). Dalam kitab tersebut, beliau membahas ciri-ciri dan kriteria masingmasing dari wali Allâh dan wali syaitan. Beliau sebutkan dalam kitabnya, siapakah sebenarnya wali Allâh, dan bagaimana kriteria mereka dalam perspektif al-Quran dan as-Sunnah. Beliau membahasnya dengan panjang dan pemaparan yang sungguh menawan, dalam memberikan benang merah yang membedakan antara wali Allâh dan wali syaitan.

Penutup

Di penghujung pembahasan ini, kami ingin menyampaikan nasehat untuk diri kami pribadi dan untuk kaum muslimin secara umum, berkaitan dengan tema ini.

Pertama, Hendaknya seorang Mukmin bersemangat dan berusaha keras untuk menjadi wali Allâh سبحانه وتعالى . Hendaknya kita mempunyai cita-cita dan semangat tinggi untuk meraihnya. Dan tidak sulit bagi Allâh سبحانه وتعالى untuk menjadikan hamba-Nya sebagai wali Allâh سبحانه وتعالى . Nasihatilah diri kita sendiri, dan hendaknya kita senantiasa berusaha untuk menggapai keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ini sesuai dengan yang disabdakan oleh Nabi Kita Muhammad ﷺ :

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، واسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ : لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكْنْ قُلْ: قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ: فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Bersemangatlah engkau menggapai hal-hal yang bermanfaat untukmu, dan mintalah tolong kepada Allâh. Janganlah engkau bersikap lemah. Seandainya engkau tertimpa sesuatu, janganlah engkau katakan: andaikan aku berbuat begini, pastilah akan begini dan begitu. Akan tetapi katakanlah: Allâh telah mentakdirkannya. Dan apa yang Dia kehendaki pasti Dia melakukannya. Karena sesungguhnya ungkapan ‘seandainya’ membuka amalan syaitan. (HR. Muslim)

Jadi, seorang Mukmin harus melawan hawa nafsunya. Ia harus menaklukan hawa nafsunya untuk bersungguh-sungguh, meninggalkan rasa malas, melawan hawa nafsunya. Allâh سبحانه وتعالى sudah menyampaikan dalam al-Qur’an:

﴿ وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ ٦٩ ﴾

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari رضي الله عنه y keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allâh benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Ankabut/ 29: 69)

Kedua: Perbanyaklah berdoa kepada Allâh, karena sungguh doa adalah merupakan kunci dari kebaikan dunia maupun akhirat. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ  ﴾

Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. (QS. Ghâfi r/ 40: 60)

Maka perbanyaklah doa. Terutama doa yang diajarkan oleh Rasûlullâh ﷺ dalam haditshadits yang shahih. Di antaranya adalah doa yang ada di shahih Muslim di mana Nabi ﷺ mengajarkan doa:

 اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمْولَاهَا

Ya Allâh, karuniakanlah jiwa kami ketakwaan, sucikanlah jiwa kami, Engkaulah sebaik-baik yang mensucikan jiwa. Sesungguhnya Engkau yang menguasai dan memiliki jiwa-jiwa kami.

Dalam hadits lainnya, Rasûlullâh ﷺ mengajarkan doa kepada Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه :

اللّهُمَّ اهْدِنِيْ، وَسَدِّدْنِي

Ya Allâh, berilah aku petunjuk, dan jadikanlah aku lurus (dalam semua perkaraku). (HR. Muslim)

Dan juga doa-doa lain yang diajarkan Nabi ﷺ . Dan ketika berdoa, berdoalah dengan penuh keyakinan bahwa doa kita akan dikabulkanoleh Allâh سبحانه وتعالى . Teruslah berdoa kepada Allâh! Dan carilah waktu-waktu yang mustajab. Perbanyaklah berdoa dan bermunajat kepada Allâh. Karena hidayah ada di tangan Allâh سبحانه وتعالى . Perihal Allâh menjadikan seseorang sebagai wali-Nya, dan perkara dikabulkannya doa, itu semua ada di tangan Allâh سبحانه وتعالى . Mintalah kepada Allâh dengan penuh keyakinan bahwa Allâh akan mengabulkan doa! Sesungguhnya Allâh tidak akan menyia-nyiakan orang-orang yang berdoa dan bermunajat kepada-Nya.

Ketiga: Cintailah orang-orang shalih. Cintailah orang-orang yang gemar melakukan kebajikan. Dan berhati-hatilah, jangan sampai kita membenci dan memusuhi mereka. Karena sesungguhnya tali simpul iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allâh dan membenci karena Allâh. Dan mencintai orang-orang shalih merupakan suatu karunia yang agung. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ketika seseorang bertanya kepada Rasûlullâh ﷺ :

الرَّجُلُ يُحِبُّ الْقَوْمَ، وَلَمَّا يَلْحَقْ بِهِمْ. قَالَ: المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

Seseorang mencintai orang-orang, namun ia tidak bisa mengejar (amalan mereka)? Beliau ﷺ menjawab:

المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

Seseorang itu (di Hari Kiamat) akan dihimpun bersama orang yang ia cintai. (mutt afaq alaih)

 Para Sahabat begitu bahagia mendengar ungkapan Nabi ini . Maka ketika kita mendapatkan seorang alim, seorang dai yang menyeru kepada Sunnah Nabi ﷺ , maka cintailah dia. Begitu pula ketika engkau melihat seorang ahli ibadah yang tekun dan konsisten dalam ibadah dan ketaatan kepada Allâh, cintailah dia. Sekiranya kita menemukan seorang yang berakhlak mulia, menjalankan perintah agama sesuai dengan tuntunan Rasûlullâhb, maka cintailah dia. Karena mencintai orang yangpunya keutamaan dalam agama, itu adalah satu bentuk keutamaan. Imam Syafi i berkata:

Aku mencintai orang-orang shalih, meski aku bukan termasuk mereka.

Ini adalah bentuk tawadhu’ dari Imam Syafi i. Mencintai orang-orang shalih mempunyai pengaruh yang sangat agung terhadap diri seseorang; mempengaruhinya untuk selalu berbuat kebaikan. Karena itulah, sudah seyogyanya seseorang memperhatikan hal ini, yaitu mencintai orang-orang yang suka berbuat kebajikan. Ini adalah di antara bentuk mendekatkan diri kepada Allâh, di mana itu melengkapi keimanannya.

Aku mencintai orang-orang shalih meskipun aku bukan bagian dari mereka. Ini menujukkan ketawadukan mereka, mereka orang shalih akan tetapi mereka tidak merasa demikian. Mencintai orang shalih memiliki efek yang luar biasa terhadap amalan seorang hamba, dia akan terus termotivasi untuk melakukan amalan-amalan kebajikan.

Keempat: Teruslah untuk belajar ilmu syar’i yang dibangun di atas Kitab dan sunnah. Karena ilmu syar’i adalah cahaya dan lentera yang menerangi jalan yang kita tapaki. Rasûlullâh ﷺ bersabda:

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ

Barangsiapa yang meniti jalan, di mana ia menuntut ilmu di jalan tersebut, maka dengan jalan tersebut Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju surga. (HR. Muslim)

Dengan ilmu, kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sesuai petunjuk mana yang menyimpang dari petunjuk, mana yang sesuai Sunnah mana yang tidak sesuai dengan Sunnah. Adapun orang yang tidak berilmu, maka ia akan bimbang dan ragu. Karena itu, setiap Muslim harus meluangkan waktu untuk mencari ilmu di setiap hari yang ia jalani. Tak ada hari, melainkan ada bagian dari waktunya yang ia gunakan untuk mencari ilmu syar’i. Kelima: Bertemanlah dengan orang-orang yang baik, sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda:

المَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ

Seseorang tergantung dengan perilaku dan jalan hidup temannya. Karena itu, hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapakah orang yang ia jadikan teman. (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi)

Allâh سبحانه وتعالى juga berfirman:

﴿ وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا ٢٨ ﴾

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi / 18: 28)

Dengan bergaul dan berbaur dengan orang-orang shalih dan ahli kebajikan, akan bisa terwujud keistiqamahan dan selamat dari penyimpangan dengan izin Allâh.

Keenam: Jauhilah pintu-pintu keburukan, apalagi di jaman sekarang, di mana keburukan begitu banyak menyeruak. Kita waspadai berbagai mode dan trend yang menimbulkan berbagai bencana dan keburukan, yang itu semua membuat iman menjadi lemah dan menyebabkan banyak kerusakan manusia dalam lini akidah, ibadah dan akhlak mereka. Yang kita maksudkan di sini adalah berbagai situs internet yang merusak, begitu pula dengan siaran-siarantv dan parabola, yang itu semua menimbulkan banyak kerusakan dan keburukan. Itu semua menjauhkan manusia dari agama Allâh. Maka sudah menjadi kewajiban setiap Muslim untuk berhati-hati dan waspada, agar agama kita selamat, begitu pula selamat ibadah kita, taqarrub kita kepada Allâh سبحانه وتعالى .

Ketujuh dan Yang terakhir: Perbanyak muhasabah diri, introspeksi terhadap diri sendiri, sebelum diri kita dihisab oleh Allâh سبحانه وتعالى . Timbanglah amalan kita sebelum nanti di akhirat amalan kita akan ditimbang pada hari perjumpaan dengan Allâh سبحانه وتعالى . Karena hari ini, kehidupan dunia ini adalah waktu untuk beramal, hisab belum datang masanya. Sedangkan esok kelak adalah waktu untuk hisab dan tidak ada kesempatan untuk beramal. Orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang memperturutkan dirinya untuk memuaskan hawa nafsunya, meski demikian ia masih berangan-angan kosong untuk mendapatkan rahmat Allâh.

Akhirnya, kita berdoa memohon kepada Allâh dengan Asmaul Husna milik-Nya agar menjadikan kita semua termasuk wali-wali Allâh yang bertakwa dan ikhlas kepada-Nya. Ya Allâh perbaikilah agama kami yang menjadi pedoman hidup kami, dan perbaikilah dunia kami yang menjadi tempat hidup kami, dan perbaikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai media untuk menambah kebaikan kami, dan kematian sebagai pemutus keburukan. Ya Allâh ampunilah kami, kedua orang tua kami, ampunilah kaum muslimin dan muslimat yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Ya Allâh berilah jiwa kami ketakwaan, dan sucikanlah jiwa kami sesungguhnya engkau sebaik-baik yang mensucikan jiwa. Dan semoga shalawat dan salam senantiasa Allâh curahkan untuk Rasûlullâh, para keluarga dan sahabatnya.

Oleh : Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr

MAJALAH AS-SUNNAH EDISI 05/THN XX/DZULQA’DAH 1437H/SEPTEMBER 2016M

Tentang Penulis: Redaksi

Gambar Gravatar
Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.