عن أسماء بنت أبي بكر نَحَرْنَا فَرَسًا علَى عَهْدِ رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فأكَلْنَاهُ ونحن في المدينة
Dari Asma‘ binti Abi Bakar رضي الله عنهما , ia berkata: “Kami pernah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah dan kemudian kami memakan dagingnya.” Dalam riwayat lain: “Dan kami berada di Madinah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, bahkan diriwayatkan oleh Al Jama’ah kecuali Abu Dawud dan At Tirmidzi).3
PENJELASAN
Perawi hadits ini ialah Asma‘ bintu Abi Bakar.
FIQHUL HADITS
Hadits ini menunjukkan halalnya daging kuda.
Sebab pernah dikonsumsi pada masa Rasulullah ﷺ . Sedangkan pendapat yang mengharamkannya, beralasan, salah satunya dengan pernyataan bahwa tindakan sahabat pada zaman Nabi ﷺ tidak menjadi hujjah kecuali bila Beliau ﷺ mengetahui langsung. Sementara, menurut pendapat ini, kasus di atas masih meragukan (apakah Beliau ﷺ mengetahuinya ataukah tidak). Ditambah lagi, hadits di atas bertentangan dengan hadits:
عن خالد بن الوليد أنَّ رسولَ اللهِ نَهى عنْ أكلِ لحومِ الخيلِ والبغالِ والحميرِ وكلِّ ذي نابٍ مِنَ السِّباعِ
Dari Khalid bin Walid, bahwa Nabi ﷺ melarang (makan) daging kuda, bighal (peranakan kuda dan keledai), keledai dan setiap binatang buas yang bertaring. 4
Jawaban untuk argumentasi ini, ialah: 5
Adalah sebuah kemustahilan jika tindakan di atas terjadi pada zaman Beliau ﷺ , padahal hukumnya terlarang, dan Beliau ﷺ tidak mengetahuinya baik melalui informasi sahabat atau lewat wahyu. Sementara fakta menunjukkan bahwa para sahabat beberapa kali tawaqquf (tidak mengambil sikap) untuk memakan hal-hal yang tingkatannya di bawah ini dan hukumnya halal secara syariat, sampai mereka menanyakannya kepada Beliau.
Berkaitan dengan hadits Khalid, kedudukannya dhaif mungkar berdasarkan kesepakatan ulama. Kalaulah shahih (benar, sah), maka hukumnya mansukh (sudah dihapus).
Imam Ahmad berkata,”(Hadits) ini mungkar.”6 Abu Dawud berkata,”Ia (hadits ini) mansukh.” Sebagian sahabat pernah menyantapnya. Bukhari menyatakan, adapun hadits Khalid masih dipertanyakan.
Ad Daruquthni menyatakan,”Ini hadits dhaif.” Sedangkan Al Baihaqi berkata,”Isnadnya mudhtharib7 , ditambah lagi (adanya) kontradiksi dengan hadits para perawi tsiqah (yang terpercaya) lainnya.”
Footnote:
3) HR Bukhari, no. 5510; Muslim, no. 1942; An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra, no. 4495, 4509, 6644; Ibnu Majah, no. 3190. (Hadits ketiga dari Kitab Al Ath’imah, hlm. 175).
4) HR Abu Dawud, no. 3806; Nasa’i, no. 4331; Ibnu Majah, no. 3198.
5) Lihat Al I’lamu Bi Fawaidi ‘Umdatil Ahkam, karya Ibnul Mulaqqin (9/ 83-84).
6) Hadits yang lemah dan menyelesihi hadits shahih.
7) Mudhtharib, maksudnya hadits yang riwayat-riwayatnya saling kontradiksi, tidak bisa dikompromikan.
MARAJI’
- ‘Umdatul Ahkami Min Kalami Khairi Al Anam, karya Imam Muhaddits Abu Abdillah Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al Maqdisi (541-600 H), Dar Thayyibah Al Khadhra`, Cet. I, Th. 1420-1999.
- Ihkamu Al Ahkam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, karya Imam Al Hafizh Taqiyyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Id (625-702 H), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Dar Al Jail, Cet. II tanpa tahun.
- Al I’lamu Bi Fawaidi ‘Umdatil Ahkam, karya Al Hafizh Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Ali bin Ahmad Al Anshari Asy Syafi’i yang populer dengan sebutan Ibnul Mulaqqin (723-804 H), tahqiq ‘Abdul ‘Aziz bin Ahmad Al Musyaiqih, Pengantar Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan dan Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Penerbit Darul ‘Ashimah, Riyad, Cet. I, Th. 1421 H.
- Taisiru Al ‘Allam Syarhu ‘Umdatul Ahkam, karya Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Maktabah Dar Al Faiha`, Maktabab As Salam, Cet. I, Th. 1414 H.
Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX/1426H/2005M