عَنْ أَبِيْ موسى، عَنِ النَّبِيْ ص قَالَ : إنَّ مَثَلِي ومَثَلَ ما بَعَثَنِيَ اللَّهُ به كَمَثَلِ رَجُلٍ أتى قَوْمَهُ، فقالَ: يا قَوْمِ إنِّي رَأَيْتُ الجَيْشَ بعَيْنَيَّ، وإنِّي أنا النَّذِيرُ العُرْيانُ، فالنَّجاءَ، فأطاعَهُ طائِفَةٌ مِن قَوْمِهِ، فأدْلَجُوا فانْطَلَقُوا على مُهْلَتِهِمْ، وكَذَّبَتْ طائِفَةٌ منهمْ فأصْبَحُوا مَكانَهُمْ، فَصَبَّحَهُمُ الجَيْشُ فأهْلَكَهُمْ واجْتاحَهُمْ، فَذلكَ مَثَلُ مَن أطاعَنِي واتَّبَعَ ما جِئْتُ به، ومَثَلُ مَن عَصانِي وكَذَّبَ ما جِئْتُ به مِنَ الحَقِّ.
Dari Abu Musa dari Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan aku dan risalah yang aku bawa dari Allâh seperti halnya seorang lelaki yang mendatangi kaumnya. Ia berkata (kepada mereka): ‘Wahai kaumku! Sungguh aku melihat ada pasukan (yang hendak menyerang) dengan dua mataku. Dan sungguh akulah sang pemberi peringatan yang sangat terang. Maka carilah keselamatan!’ Lalu, ada sekelompok kaumnya yang mematuhinya, sehingga merekapun segera pergi di awal malam. Mereka bergegas bertolak dengan perlahan (dan mereka pun selamat). Namun ada pula kelompok lain yang mendustakannya, sehingga merekapun tetap berada di tempat mereka. Hingga pasukan musuh menyerang mereka pada waktu pagi hari, sehingga membinasakan dan meluluh-lantakkan mereka. Maka itulah perumpamaan antara orang yang taat kepadaku dan mengikuti apa yang aku bawa; dengan orang yang durhaka kepadaku, dan mendustakan kebenaran yang aku bawa”.
(Shahih al-Bukhari Kitab ar-Riqâq bab no 26; Bab al-Intihâ’ anil Ma’âshi –bab meninggalkan maksiat- no hadits 6482 –lihat Fathul Bari 14/ 631 dengan ta’liq Syaikh Abdurrahmân Bin Nashir al-Barrâk; cetakan Dar ath-Thaibah. Imam al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam Kitab al-I’tisham bil Kitab was-Sunnah Bab al-Iqtida’ bi Sunani Rasûlillâh ﷺ ; Shahih Muslim dari al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 15/ 49; Kitab al-Fadhâil Bab Syafaqatuhu ﷺ ala Ummatihi).
BIOGRAFI SAHABAT PERAWI HADITS
Abu Mas’ud; seorang sahabat agung. Ia adalah Abdullâh Bin Qais al-Asy’ari. Rasul ﷺ pernah mendoakannya: Ya Allâh, ampunilah Abdullâh Bin Qais, dan masukkanlah ia pada hari Kiamat ke dalam negeri mulia (yakni akhirat). Beliau turut serta dalam ghazwah dan berjihad bersama Nabi ﷺ . Nabi ﷺ menjadikan Ibnu Mas’ud dan Muadz sebagai qadhi di Zabid dan And. Ia turut serta dalam penaklukan negeri Syam. Umar mempercayakannya sebagai gubernur Basrah. Dialah yang menaklukan kota Ahwaz dan Asfahan. Ia punya suara yang merdu kala membaca al-Qur’an. Imam Adz-Dzahabi رحمه الله berkata: Abu Musa adalah sosok yang banyak berpuasa, banyak shalat malam, Rabbani, seorang zuhud, ahli ibadah. Yang terhimpun padanya ilmu, pengamalannya, jihad dan hati yang bersih. Ia tidak terpedaya dengan gemerlap dunia. Ia meninggal padah tahun 42 H, dikebumikan di Mekah.
MAKNA GLOBAL DARI HADITS
Rasûlullâh ﷺ sangat antusias menyeru umatnya agar mereka beriman kepadanya, membenarkan dan menaatinya dalam semua petunjuk yang Beliau ﷺ emban dari Allâh. Sekaligus memperingatkan mereka dari sikap mendurhakai dan mendustakannya. Sehingga Beliau ﷺ memisalkan diri Beliau dan ajaran yang Beliau bawa, dan juga sikap orang-orang dalam menyambut dakwahnya; Beliau misalkan seperti gambaran seseorang yang nyata-nyata tahu tentang datangnya pasukan besar yang hendak menyerang kaumnya. Sedangkan ia adalah sosok yang sangat peduli dengan kebaikan dan keselamatan kaumnya. Maka iapun memberitahukan hal tersebut kepada mereka dengan keadaannya yang sangat meyakinkan bahwa ia sama sekali tidak berdusta; menasihati mereka agar segera menyelamatkan diri; mengingat kekuatan musuh tak bisa dibendung dan dilawan. Maka orang yang menuruti nasihatnya, iapun segera bertolak meninggalkan kampungnya di awal malam; agar tidak jatuh ke tangan musuh. Sehingga akhirnya iapun selamat dari kebinasaan. Adapun orang yang tak mempercayainya, atau tidak menuruti nasehatnya, maka ia masih tetapberada di tempatnya. Hingga akhirnya pasukan musuh datang dan membantai mereka. Mereka binasa tak bersisa..
Demikianlah keadaan Nabi Muhammad ﷺ terhadap umat manusia. Beliau ﷺ jelaskan kepada mereka segala yang menjadi kebaikan untuk mereka, dan memperingatkan segala hal yang membinasakan mereka. Maka barangsiapa yang membenarkannya dan istiqamah di jalan Allâh, iapun selamat dari adzab Allâh. Ia berjaya mendapatkan kebahagiaan sejati nan abadi. Adapun mereka yang mendustakannya, durhaka kepadanya, maka Neraka lah tempat kembalinya. Wal iyâdzu billâh.
MAKNA PERBENDAHARAAN KATA
إنَّ مَثَلِي ومَثَلَ ما بَعَثَنِيَ اللَّهُ به
[Sesungguhnya perumpamaan aku dan risalah yang aku bawa dari Allâh]
Asal makna kata al-matsal dalam bahasa berarti padanan atau yang semisal (nazhîr).
Matsal merupakan suatu gambaran yang menakjubkan, di mana seorang yang punya kecakapan dalam tutur kata membawakan gambaran ini untuk menyerupakan (sesuatu hal), sebagai bentuk mendekatkan pemahaman. Dalam hadits ini Rasul ﷺ memberikan gambaran; bahwa permisalanku dan permisalan ajaran menakjubkan yang aku diutus Allâh untuk mengembannya; seperti halnya permisalan seorang lelaki yang mendatangi suatu kaum dan sikap kaum terhadapnya. 1
رَأَيْتُ الجَيْشَ
[ Aku melihat pasukan ]
Huruf alif dan lâm dalam kata al-jaisy memberikan arti pasukan yang sudah dikenal dan terlintas di benak lawan bicara. Berarti maksudnya adalah pasukan yang sudah dikenal permusuhannya bagi orang-orang yang menjadi sasaran pembicaraan (mukhaathab; orang kedua).
بعَيْنَيَّ،
[ Dengan dua mataku ]
Ini adalah sebagai bentuk penguat kalimat; sekaligus mengisyaratkan untuk menolak makna majazinya. Kata al-‘ain di sini disebutkan dalam bentuk mutsanna (menunjukkan dua); dalam riwayat lain dengan bentuk mufrad (bentuk tunggal; yaitu dengan mataku). Tujuan dari disebutkannya kata ini adalah untuk menunjukkan bahwa sang pemberi peringatan telah nyata-nyata mendapati (melihat nyata) tentang semua yang ia beritakan; nyata-nyata tahu; layaknya orang yang melihat sesuatu dengan dua matanya; tak dihinggapi syak wasangka sedikitpun, sama sekali tidak tercampur keraguan.
النَّذِيرُ العُرْيانُ، \
[ Pemberi peringatan yang terang ]
Dalam ucapan Rasul dalam hadits di atas, terdapat beberapa perangkat yang memberikan penguatan makna (ta’kid), yaitu: [1] ucapan beliau bi’ainayya -dengan dua mataku-. [2]: wainni ana –dan sungguh aku ini- [3] al-uryân; sebab itu untuk menunjukkan betapa musuh sudah sangat dekat sekali, dan bahwa sang pemberi peringatan memang orang yang secara khusus berciri jujur.2 Bahkan ta’kid-nya bila dirincikan adalah: lafazh inna (sesungguhnya); ditambah lagi dengan dhamir munfashil (kata ganti yang terpisah) yaitu ana (aku); kemudian khabar inna disebutkan secara ma’rifah (an-nadzir), dan lafazh nadzir yang disifati dengan kata al-uryân, yang menunjukkan makna jujur sejujur-jujurnya dalam peringatannya. Ditambah lagi dengan ungkapan yang disebutkan selanjutnya yang menunjukkan permintaan agar mencari keselamatan, yang menegaskan peringatan tersebut.3
Kata al-uryân diambil dari kata at-ta’arry; yang artinya menanggalkan pakaian. Kata an-nadzir al-uryân adalah suatu ungkapan sejak masasilam. Perumpamaan untuk perkara yang sangat genting, tentang begitu dekatnya bahaya yang dikhawatirkan, dan bahwa pemberi peringatan terbebas dari tuduhan dusta.4 Ini adalah suatu peribahasa atau perumpamaan yang sudah jamak tersiar di kalangan orang-orang Arab sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad ﷺ . Nabi ﷺ membawakan ungkapan ini, sebagai permisalan, dalam rangka untuk memahamkan kepada orang-orang dengan jelas gamblang. Mengingat permisalan ini sudah begitu populer di kalangan mereka. Sang pemberi peringatan secara khusus disifati dengan kata al-uryân; sebagai bentuk mubâlaghah (melebih-lebihkan makna; hiperbola) dalam memberikan peringatan; dan sebagai bentuk bukti atas kejujuran dan keseriusan ucapannya. Sebab hal itu lebih jelas gamblang bagi mata, lebih nyleneh dan mencolok bagi yang memandangnya. Seseorang yang menjadi pengintai yang memata-matai pergerakan musuh; ia berdiri di tempat tinggi. Bila ia melihat ada musuh, ia akan melepas pakaiannya dan dalam keadaan itu ia kibar-kibarkan pakaian tersebut untuk memberi peringatan kepada kaumnya.5
Ada yang mengatakan bahwa asal mula dari kata an-nadzir al-uryân (pemberi peringatan yang melepas pakaiannya) adalah; ada seorang lelaki yang berpapasan dengan pasukan perang. Mereka pun merampas apa yang ada padanya dan menawannya, serta melucuti pakaiannya. Hingga akhirnya ia berhasil meloloskan diri kembali ke kaumnya. Iapun berkata: ‘sungguh, aku telah melihat pasukan, lalu mereka merampasku.’ Kaumnya mendapatinya dalam keadaan tak berpakaian; dan itu membuat mereka yakin dan nyata akan kejujurannya. Sebab mereka telah mengenalnya dan tidak meragukan ketulusannya dalam memberi nasihat (untuk kebaikan orang lain). Pun bertelanjang bukan menjadi kebiasaannya. Sehingga mereka pun yakin akan kejujurannya, berdasarkan indikasi-indikasi tersebut di atas. Maka, di sini Nabi ﷺ membuat permisalan antara dirinya dan risalah yang Beliau bawa dari Allâh, seperti apa yang tersebut dalam kisah di atas.
Di mana Nabi ﷺ menunjukkan berbagai hal luar biasa dan mukjizat-mukjizat Beliau yang menunjukkan ketulusan dan kejujurannya; dalam rangka untuk mendekatkan pemahaman mukhathab (orang-orang yang menjadi obyek sasaran pembicaraan Beliau) dengan sesuatu yang sudah familiar dan sudah dikenal oleh mereka. Namun menurut al-Aini; menerapkan asal makna dari hadits di atas berdasarkan kisah tersebut, agak jauh; kurang bisa diterima.
Ada lagi pendapat lain yang mengatakan; bahwa yang dimaksud dengan an-nadzir al-uryân (pemberi peringatan yang menanggalkan pakaiannya) adalah orang yang memberi peringatan kepada kaumnya dengan menanggalkan pakaiannya, lalu iapun mengibar-ngibarkan dan mengibas-ngibaskan pakaian tersebut, melambai-lambaikan pakaiannya di atas kepalanya; sebagai bentuk pemberitahuan dan peringatan kepada kaumnya akan adanya serangan musuh. Dan kebiasaan mereka adalah bahwa bila seseorang melihat ada serangan yang mengancam dengan mendadak, lalu iapun hendak memberi peringatan kepada kaumnya, iapun akan menanggalkan pakaiannya dan ia lambai-lambaikan, untuk memberitahukan kepada mereka ada masalah genting yang menyergap mereka secara tiba-tiba. Dan akhirnya; jadilah hal tersebut sebagai suatu permisalan untuk hal yang dikhawatirkan menyergap secara mendadak.6
Hal ini didukung oleh hadits yang datang dari riwayat Ahmad:
إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُكُمْ كُمَثَلِ قَوْمٍ خَافُوْا عَدُوًّا يَأْتِيْهِمْ فَبَعَثُوْا رَجُلًا يَتَرَايَا لَهُمْ، فَبَيْنَنَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ أَبْصَرَ الْعَدُوَّ فَأَقْبَلَ لِيُنْذِرَهُمْ، أَرَاهُ قَالَ: خَشْيَةَ أَنْ يُدْرِكَهُ الْعَدُوُّ قَبْلَ أَنْ يُنْذِرَ قَوْمَهُ، فَأَهْوَى بِثَوْبِهِ، أَيُّهَا النَّاسُ أُتِيْتُمْ أَيُّهَا النَّاسُ أُتِيْتُمْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Permisalan antara aku dengan kalian adalahbagaikan suatu kaum yang khawatir serangan musuh yang akan datang menyerang mereka. Maka merekapun mengutus seorang lelaki untuk melakukan pengintaian. Ketika mereka dalam keadaan seperti demikian, tiba-tiba lelaki tersebut melihat musuh; sehingga ia pun segera memberi peringatan kepada mereka. Aku (perawi hadits) kira beliau berkata: karena ia khawatir kalau-kalau musuh berhasil menyergap mereka sebelum ia memperingatkan kaumnya. Maka iapun meraih pakaiannya seraya berkata: Wahai manusia! (Musuh) sudah mendatangi Kalian! Wahai manusia! (Musuh) sudah mendatangi Kalian (tiga kali). (HR. Ahmad)
Ada pula diriwayatkan lafazh dari ungkapan tersebut menggunakn kata al-‘urbân; yaitu an-nadzir al-‘urbân; menggunakan huruf bâ’ dengan titik satu di bawah; menggantikan huruf yâ’ dengan titik dua di bawahnya. Kata al-‘urbân bermakna al-mu’rib al-fashîh yang artinya yang fasih lagi terang. Sehingga artinya adalah: akulah sang pemberi peringatan yang jelas terang dalam memberikan peringatan; tidak menggunakan kata-kata yang menutup-nutupi; tidak pula menggunakan kata-kata kiasan. 7
فالنَّجاءَ،
Maka carilah keselamatan
Artinya carilah keselamatan, dengan bergegas-gegas melarikan diri. Ini adalah isyarat bahwa mereka tidak punya daya untuk melawan pasukan tersebut.
Imam An-Nawawi رحمه الله berkata: al-Qadhi berkata: Yang biasa dikenal dalam kata an-najaa’ adalah; bila disebutkan secara sendirian, maka dibaca dengan madd [ النّجَاء [. Sedangkan Abu Zaid menghikayatkan dibaca juga dengan qashr [َالنَّجَا]. Bila kata ini mereka sebut dengan berulang, yang]; النَّجَاء النَّجاء ] :mengatakan mereka maka bisa dibaca dengan madd juga bisa dengan qashr. (Syarh Imam Nawawi 15/ 49). Ketika kata ini diulang (seperti dalam sebagian riwayat); itu adalah untuk menekankan dan menguatkan makna. Danungkapan tersebut bisa dikira-kirakan maknanya adalah: bila kalian mempercayaiku, maka carilah keselamatan.
فأطاعَهُ طائِفَةٌ مِن قَوْمِهِ،
Ada sekelompok dari kaumnya yang patuh taat kepada peringatannya.
فأدْلَجُوا
Merekapun melakukan perjalanan di awal malam, atau sepanjang malam. Yaitu untuk menyelamatkan diri dari pasukan musuh.
وكَذَّبَتْ طائِفَةٌ منهمْ
Sekelompok lainnya mendustakan
Kalau menurut zhahirnya, mestinya dipakai kata: [وَعَصَتْهُ ;mereka durhaka atau membangkangnya]; agar kata-kata yang dipakai berhadap-hadapan dengan kata sebelumnya yaitu fa-athaa’athu [ فَأَطَاعَتْهُ: mereka taat patuh kepadanya]. Ataupun mengatakan: fashaddaqathu [ فَصَدَّقَتْهُ ; lalu mereka membenarkannya] sebagai ganti dari kata faathaa’athu; agar sesuai berhadapan dengan kata kadzdzabathu. Namun Nabi ﷺ berbelok dari rangkaian kalimat tersebut, berpindah pada ungkapan seperti yang disebutkan dalam redaksi hadits, untuk menunjukkan bahwa keselamatan tergantung pada ketaatan. Hanya membenarkan saja (tashdiq; shaddaqathu) tidak cukup bila disertai pembangkangan. Dan kebinasaan kaum hanyalah sinkron bila kaum tersebut mendustakan. Dan kebinasaan pun juga terwujud walau hanya sekedar dengan pendustaan saja; meskipun mungkin secara zahir ada ketaatan, seperti halnya kaum munafik. Ath-Thibi berkata: dalam kalimat pertama Nabi ﷺ menggunakan kata ath-tha’ah (ketaatan) sedangkan kalimat kedua dengan kata at-takdzib (pendustaan), untuk mengindikasikan bahwa ketaatan itu harus didahului (didasari) dengan tashdiq (membenarkan); dan menunjukkan bahwa mendustakan itu berkonsekuensi adanya pembangkangan dan kedurhakaan.8
فأصْبَحُوا مَكانَهُمْ
Mereka berada di waktu pagi masih di tempat mereka.
فَصَبَّحَهُمُ الجَيْشُ
Pasukan datang kepada mereka di waktu pagi untuk melancarkan serangan. Ini makna asalnya. Kemudian ungkapan ini akhirnya banyak digunakan untuk menunjukkan makna orang yang datang tiba-tiba di waktu kapanpun.
واجْتَاحَهُمْ
Menghabisi mereka seakar-akarnya, menghancurkan mereka secara total; dikarenakan mereka telah mendustakan peringatan tersebut. Ini termasuk dalam kategori tasybih mafruq9 (Mir’âtul Mafâtîh Syarh Misykat al-Mashabih 1/ 245). Bentuknya seperti yang dikatakan ath-Thibi رحمه الله , yaitu: Nabi ﷺ menyerupakan dirinya dengan seorang lelaki; sedangkan peringatan Beliau akan adanya siksa yang pasti datang diserupakan dengan peringatan yang diserukan seseorang terhadap kaumnya akan datangnya pasukan yang menyerang tiba-tiba. Sedangkan sebagian umatnya yang menaati Beliau dan sebagian lain yang mendurhakai Beliau; diserupakan dengan mereka yang mendustakan dan juga yang membenarkan sang pemberi peringatan.
Gambaran mudah dari permisalan ini adalah: bahwa Rasul ﷺ menyerupakan keadaan diri Beliau dan petunjuk yang Beliau bawa, dan juga keadaan umat obyek dakwahnya, ini semua Beliau serukan dengan gambaran seseorang yang sudah dipastikan kejujurannya, yang datang hendak menasihati kaumnya agar mereka selamat dari kebinasaan disebabkan pasukan besar yang tak bisa dihadapi. Hingga ada sekelompok yang membenarkannya, sehingga mereka pun menyelamatkan diri dan selamatlah mereka. Namun ada pula sekelompok lain yang mendustakannya. Mereka tidakmengindahkan peringatan tersebut; hingga musuh pun berhasil meluluh-lantakkan mereka.
PELAJARAN DARI HADITS
- Kewajiban bergegas berpegang teguh dengan agama Allâh; dan mengimani Rasul-Nya, taat kepadanya dan meninggalkan maksiat. Dengan demikian seseorang akan benar-benar selamat dari adzab Allâh.
- Keutamaan Rasul ﷺ atas umatnya. Di mana Beliau ﷺ menunjukkan kepada mereka jalan menuju Allâh; menerangi jalan mereka dan menjelaskan kepada mereka tentang kesudahan dan akibat dari perbuatan mereka. Beliau telah memperingatkan umatnya akan adanya adzab pada hari yang sangat dahsyat.
- Membuat perumpamaan dan permisalan, untuk mendekatkan pemahaman audiens; yaitu dengan hal-hal yang sudah familiar dan mereka kenal.
- Nabi ﷺ yang menjadi suri tauladan kita sangat getol mendakwahi manusia menuju kebaikan hakiki mereka, sekaligus memperingatkan mereka dari keburukan.
- Membenarkan Rasul ﷺ , menaatinya dan istiqamah di atas Islam yang Beliau bawa adalah jalan keselamatan di dunia dan akhirat.
- Durhaka dan membangkang kepada Rasul ﷺ adalah pertanda buruk dan sebab kebinasaan.
- Jadikanlah tauladan kita adalah Rasul ﷺ ; yang berdakwah menuju kebaikan dengan akhlaknya yang mulia dan interaksinya yang menawan serta selalu menasihati umatnya.
- Nabi ﷺ membuat perumpamaan; menyerupakan dakwah Beliau dan keadaan manusia dalam menyikapi dakwahnya. Bahwa Beliau laksana seseorang yang memperingatkan kaumnya dari serangan musuh; sehingga manusia terbagi menjadi dua kelompok:
- Kelompok pertama yang membenarkan dan menaatinya; sehingga merekapun selamat dari kebinasaan.
- Kelompok kedua yang mendustakan dan membangkangnya. Mereka tidak mau lari menyelamatkan diri, sehingga merekapun binasa. Semoga Allâh عزوجل menuntun kita untuk selalu taat mematuhi perintah Allâh عزوجل dan Rasul-Nya; dan menjauhi segala larangan Allâh عزوجل dan Rasul-Nya. Sehingga kitapun selamat dari siksa-Nya, berjaya mendapatkan rahmat-Nya di Surga Allâh عزوجل . Âmîn.
[Fathul Bâri; 14/ 633, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim; 15/ 207; Lama’aat at-Tanqih Syarh Misykat al-Mashabih; 1/ 457, Mir’aatul Mafaatiih Syarh Misykat al-Mashabih; 1/ 245. Manhal al-Hadits 4/ 207; Al-Hadits li ash-shaffi l awwal al-Mutawassith hlm. 10.
Footnote:
1 al-Kâsyif an Haqâ’iq as-Sunan ath-Thibi 612.
2 al-Manhal al-Hadits 4/ 206 menukilkan dari ath-Thibi.
3 Dari Syarh Syaikh Thaha Muhammada as-Saakit dari: https:// www.alukah.net/sharia/0/73515/4 al-Kâsyif an Haqâ’iq as-Sunan ath-Thibi 612.
5 Lama’ât at-Tanqih fi Syarhi Misykât al-Mashâbîh 1/ 4576 Mir’âtul Mafâtîh 1/ 244. 7 Lama’ât at-Tanqih fi Syarhi Misykât al-Mashâbîh 1/ 4578 al-Manhal al-Hadits 4/ 2079 Tasybih adalah penyerupaan; menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, di mana ada sisi kesamaan antara keduanya. Tasybih mafruq adalah tasybih dengan menyebutkan musyabbah dan musyabbah bih, lalu diikuti lagi dengan musyabbah dan musyabbah bihi lainnya; dan kadang bisa lebih dari itu dalam suatu ucapan yang beruntun.
Majalah As-Sunnah
EDISI 05/TAHUN. XXIII/MUHARRAM 1441H/SEPTEMBER 2019M