يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ اُنَاسٍۢ بِاِمَامِهِمْۚ
(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya;…
Pembaca, Pembahasan Rubrik Firoq kali ini, kami angkat penggalan surat al-Isrâ‘/17 ayat 71 sebagaimana tertulis pada judul. Yang secara lebih luas telah kami bahas pada Rubrik Tafsir halaman 9. Semoga bermanfaat.
PENYELEWENGAN MAKNA AYAT
Sebagian kelompok, dengan sengaja melakukan penafsiran yang dipaksakan atas ayat tersebut, berkaitan dengan penyebutan kata “imam”. Mereka melakukan penyelewengan terhadap makna ayat. Ini dilakukan untuk mendukung kepentingan golongan atau kelompoknya supaya bisa tetap eksis, dan para tokohnya teropini sebagai sosok yang hebat, lantaran akan dipanggil oleh Allah سبحانه وتعالى saat hari Kiamat kelak. Para pengikutnya pun dibuat tercengang dengan tafsiran tersebut.
Di antara golongan yang “memanfaatkan” ayat ini ialah Islam Jama’ah, yang kini bernama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kelompok yang sudah berulang kali berganti nama ini memelintir kandungan ayat di atas. Mereka memberi penafsiran, yang isinya diarahkan kepada pemimpin LDII, yaitu Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Berdasarkan penuturannya dalam “tafsir manqul” miliknya, ia berkata: “Pada hari kami panggil setiap manusia dengan imam mereka, sehingga yang tidak punya amir, maka akan masuk neraka”. Penyebutan kata “imam” yang dimaksud oleh LDII ialah amir mereka, yaitu Nur Hasan. Keterangan ini dituturkan oleh mantan tokoh besar LDII yang telah sadar, yaitu Ustadz Hâsyim Rifâ’i yang pernah berguru selama 17 tahun kepada Nur Hasan ‘Ubaidah Lubis, pendiri LDII.1
Kalangan lainnya, yaitu Sufi, juga berkepentingan memegangi ayat ini untuk mempropagandakan thariqat-thariqat yang sebenarnya tidak pernah dicetuskan Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Kalangan Sufi menggiring jamaah-jamaahnya untuk taat kepada para syuyûkh (guru) penggagasnya secara mutlak. Padahal dari ayat tersebut tidak ada muatan sedikit pun yang bisa mendukung klaim mereka. Hal ini akan menjadi jelas dari dua sisi.2
Pertama. Para ulama besar dari kalangan ahli tafsir tidak ada satu pun dari mereka yang memaknai kata “imam” dengan makna “syaikh-syaikh tarikat”. Orang-orang yang ahli dalam bidang tafsir pada masa lalu, seperti Ibnu ‘Abbâs, al-Hasan al-Bashri, Mujâhid, Qatâdah, adh-Dhahhâk, mereka memberi penafsiran kata “imam” dengan makna kitab yang berisi amalan-amalan. Demikian pula Imam al-Qurthubi رحمه الله dan Imam Ibnu Katsir رحمه الله merajihkan pengertian ini dengan merujuk firman Allah pada surat Yâsîn/36 ayat 12.
Menurut al-Qâsimi رحمه الله , yang dirajihkan oleh Ibnu Katsir رحمه الله itulah pendapat yang benar. Karena Al-Qur‘ân menjelaskan sebagian ayatnya dengan sebagian lainnya. Dan yang pertama kali perlu diperhatikan dalam memahami makna-makna ayat-ayat Al-Qur‘ân, yaitu dengan mengacu pada ayat-ayat yang semakna.
Kedua. Seandainya yang dimaksud dengan “imam” adalah syaikh thariqah –sebagaimana klaim kalangan Sufi– , maka pernyataan ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menunjukkan tingginya kedudukan syaikh atau keharusan untuk memuliakannya. Sebab, panggilan dengan namanya tidak mesti menunjukkan keutamaan diri seseorang.
Imam ath-Thabari رحمه الله sendiri merajihkan pengertian “imam” tersebut, ialah orang-orang yang diikuti dan menjadi panutan di dunia.
Seperti sudah diketahui, sejumlah orang mudah mengekor setiap penyeru dan menyambut setiap ajakan. Tidak aneh jika mereka menyambut para tokoh kesesatan pula. Karena itu, diriwayatkan dari sejumlah ulama tafsir dari Ibnu ‘Abbas, berkata tentang tafsir kata “imam mereka” dalam ayat, yaitu “imam dalam hidayah dan imam dalam kesesatan”. 3
Keterangan ini juga telah disinggung oleh Ibnu Katsir. Kata beliau: “Mungkin saja pengertian dari “imam mereka”, maksudnya ialah setiap kaum (dipanggil) dengan orang yang mereka ikuti. Orang-orang beriman akan mengikuti para nabi, dan orang-orang kafir akan mengikuti para tokoh mereka. Allah telah berfirman, yang artinya: Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka …. (Qs al-Qashash/28:41).
Mujahid berkata,”Imam, ialah orang yang diikuti. Maka nanti akan dipanggil, datangkanlah para pengikut Nabi Ibrahim, datangkanlah para pengikut Musa, datangkanlah para pengikut setan, datangkanlah para pengikut berhala-berhala. Orang-orang yang berada di atas al haq, akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kanan. Dan para penganut kebatilan akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kiri”.
Apabila telah jelas bahwa “imam” itu bisa bermakna panutan dalam hidayah atau panutan dalam kesesatan; bisa juga seorang nabi, setan yang terkutuk, maupun berhala dan para pemuja (penganut)nya akan dihimpun di bawah panji sang panutan, baik ia panutan dalam kebaikan maupun dalam kejelekan, jika telah jelas hakikat ini; maka status seorang syaikh thariqat sebagai imam bagi para jamaahnya, tidak otomatis mengindikasikan keutamaannya. Bahkan tetap saja, penilaian terhadap diri syaikh thariqat ini tergantung kepada amalan-amalan, ucapan-ucapan dan ajaran-ajarannya yang ditimbang dengan ajaran Rasulullah, sehingga ia pun menjadi panutan dalam hidayah jika bertumpu pada ajaran-ajaran Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Sebaliknya, bisa jadi ia menjadi panutan dalam kesesatan seiring dengan penyelewengannya dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Seandainya yang menjadi “imam” mereka al-Kitab dan as Sunnah, niscaya mereka tidak membutuhkan penerapan berbagai ibadah yang tidak pernah diajarkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah
DI ANTARA KLAIM PALSU KALANGAN SUFI 4
Seorang penganut thariqat Tijâniyyah yang bernama al-Fûti, ia mengatakan kepada jamaahnya, bahwa thariqat mereka merupakan thariqat terbaik dan akan menjadi maraji‘ (rujukan) bagi semua wali Allah.
Al-Fûti berkata: “Pada hari Allah memanggil manusia dengan nama syaikh mereka dan memanggil mereka untuk mendekati syaikh mereka di atas kedudukannya … kalau para jamaah dipanggil dengan nama-nama syaikh (thariqah) mereka dan Allah memanggil para ahli thariqat untuk menuju tempat syaikh mereka dan menempatkannya pada derajat syaikh, maka menjadi jelas dengan sedikit pencermatan saja, bahwa para penganut penutup para wali (Ahmad at-Tijani) yang bergantung kepadanya, selalu konsisten dengan wirid-wirid dan dzikir-dzikirnya, sehingga tidak ada orang lain yang mampu menyamai derajat mereka, kendatipun mereka itu ahli ma’rifah, shiddiqîn dan para aghwâts, selain para sahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم . Dari sini, kalangan awam tarikat Tijaniyyah lebih afdhol daripada yang lainnya”. Lihat ar-Rimâh, 2/29.
Al-Fûti kian menampakkan rasa percaya diri terhadap kehebatan thariqatnya, dengan perkataannya: “Sungguh, seluruh wali akan memasuki kelompok kita, akan mengambil wirid-wirid kita, dan konsisten dengan thariqat kita, (wali-wali Allah) dari zaman pertama kali muncul kehidupan sampai hari Kiamat. Bahkan bila Imam Mahdi telah bangkit di akhir zaman, ia akan mengambil(ajaran) dari kita dan masuk kelompok kita”. Lihat ar-Rimâh, 2/29.
Sanggahan. Perhatikanlah, sejauh mana kebenaran klaim di atas. Bagaimana mungkin seluruh wali Allah (yang sebenarnya) sejak pertama muncul kehidupan akan bergabung dengan thariqat Tijâniyyah?
Ini sebuah klaim yang membutuhkan burhân (petunjuk) dan dalil yang kuat. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah meninggal sebelum Ahmad at-Tijâni dilahirkan itu bergabung dengan thariqatnya? Sungguh suatu anggapan aneh yang sangat nyata.
Di bagian lain al-Fûti mengomentari orang-orang yang berada di luar thariqatnya. Dia berkata: “Adapun orang-orang yang masih berada dalam kegelapan, kebodohan, kesesatan dan kezhaliman (maksudnya, orang-orang yang belum mengikuti Tijâniyyah), tidak ada penghalang bagi mereka untuk bersandar dengan syaikh kami Ahmad at-Tijâni, padahal telah begitu nampak kemuliaan dan keutamaan thariqatnya, serta keistimewaan para pengikutnya; seperti terangnya sinar matahari siang hari di musim panas, kecuali mereka akan tercampakkan dari rahmat Allah Ta’ala, terhambat dari kebaikan, mendapat laknat, kecelakaan dan kerugian”. Lihat ar-Rimâh, 2/44.
Seorang dai Tijâni bernama Ibrahîm Nayyâs, ia berkata: “Berdasarkan sebagian pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat ini, engkau bisa mengetahui bahwa orang yang memperoleh taufik dari Allah untuk bergabung dengan thariqat kami, niscaya kebahagiaannya di dunia dan akhirat sempurna, dan ia termasuk orang yang dicintai dan diterima di sisi Allah, walau bagaimanapun kondisinya”. Lihat as-Sirrul-Akbar wan-Nûrul-Abhar, hlm. 416).
Begitu pula salah seorang dari kalangan thariqat Rifâ’iyyah. Setelah menunjukkan kemampuan syaikhnya yang luar biasa, seperti menempuh jarak sejauh perjalanan 100 tahun hanya dengan satu langkah saja, mengetahui bahasa-bahasa burung, dan lain-lain, ia berkata: “Pegangilah ujung-ujung pakaiannya. Jadilah engkau orang yang duduk di majlisnya. Jangan sekali-kali menjauh dari kehidupannya dan mintalah syafaat dengan namanya di sisi Allah سبحانه وتعالى . Sungguh Allah سبحانه وتعالى tidak akan menolak permohonan syafaatmu melalui namanya. Karena ia termasuk ahli bait yang mulia. Sungguh orang-orang besar, tokoh-tokoh …, mereka semua telah mengetahui bahwa tarikatnya merupakan jalan keselamatan dan keamanan. Kecintaan terhadapnya termasuk faktor paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى . Mereka mengharuskan diri dan keluarga mereka untuk berpegang dengan janjinya, dan komitmen dengan thariqatnya” Lihat ar-Rimâh, 2/25, 1/349-350.
Oleh karena itu, setiap kaum Muslimin harus waspada. Jalan selamat dalam beragama ialah dengan mengikuti pemahaman generasi Salaf, yaitu jalan yang penuh hikmah dan berdasarkan ilmu.
1 Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 86-87.
2 Dinukil dari Taqdîsul-Asykhâs, 1/348-352.
3 Fat-hul-Qadîr, 3/248. Nukilan dari Taqdîshul-Ashkhâs, 1/348.
4 Dikutip dari Taqdisul-Asykhâs, I/349-350.
Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008M