PENJELASAN RASÛLULLÂH ﷺ TENTANG MAKNA LÂ ILÂHA ILLALLÂH
Aspek tauhid (aqidah), poin terpenting dalam risalah dakwah Rasûlullâh ﷺ dan dakwah para rasul sebelumnya, sudah pasti mendapat porsi paling besar, sehingga tidak meninggalkan keraguan dan kesalahpahaman pada diri umat, yang dapat mengakibatkan terjerumus dalam kekeliruan, penyimpangan dan kesesatan.
Pengertian kalimat tauhid sudah dijelaskan oleh Rasûlullâh Muhammad ﷺ sendiri dalam Sunnah. Karena itu, penjelasannya sudah sangat terperinci, sehingga tidak meninggalkan celah bagi orang untuk menyelisihinya dengan bid’ah, takwil, syubhat atau bentuk penentangan lainnya.
Imam al-Bukhâri رحمه الله dan Imam Muslim رحمه الله meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Abbâs c yang menceritakan, “Ketika Nabi ﷺ mengutus Mu’adz ke penduduk Yaman, beliau berpesan kepadanya:
إِنَّكَ تَقْدُمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ أَنْ يُوَحِّدُوْا اللَّهَ تَعَالَى …
Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari kalangan Ahli Kitab. Hendaklah perkara pertama yang engkau dakwahkan kepada mereka ialah agar mereka mentauhidkan Allâh Ta’ala…. (HR. al-Bukhâri dan Muslim. Ini teks riwayat Imam al-Bukhâri)
Dalam riwayat-riwayat lain:
“Serulah mereka kepada persaksian tiada ilah yang berhak dibadahi dengan haq kecuali Allâh dan aku adalah utusan Allah” (Riwayat al-Bukhâri dan Muslim).
“Hendaknya perkara pertama yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allâh” (Riwayat al-Bukhâri).
“Jika engkau telah sampai kepada mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi tiada ilah selain Allâh dan Muhammad adalah utusan Allâh”. (Riwayat al-Bukhâri).
“Hendaknya perkara pertama yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla” (Riwayat Muslim).
Seluruh kandungan riwayat ini maknanya sama, bahwa tauhid kepada Allâh سبحانه وتعالى adalah mengesakan Allâh سبحانه وتعالى dalam ibadah dan menjauhi peribadahan kepada selain-Nya, dan inilah makna syahadat lâ ilâha illallâh.
Imam al-Bukhari رحمه الله menempatkan hadits di atas pada permulaan kitab tauhid dalam Shahîhnya dengan memberi judul ‘bab dakwah Nabi ﷺ kepada umatnya untuk bertauhid kepada Allâh Tabâraka wa Ta’âlâ’. Tujuannya, untuk menjelaskan bahwa inti dakwah Nabi Muhammad ﷺ adalah untuk mengesakan Allâh سبحانه وتعالى dalam ibadah.
Penafsiran tentang makna tauhid akan lebih jelas lagi dengan hadits yang dibawakan oleh Imam al-Bukhâri رحمه الله setelah hadits di atas: Nabi ﷺ bersabda kepada Sahabat Mu’adz bin Jabal z : Wahai Mu’adz, tahukan engkau hak Allâh atas hamba-Nya? Muadz z menjawab: “Allâh dan Rasul-Nya lebih tahu”. Nabi ﷺ menjelaskan, “(Kewajiban mereka) beribadah kepada Allâh tanpa menyekutukan apapun dengan-Nya”. (HR. al-Bukhâri)
Imam al-Bukhâri رحمه الله hendak menjelaskan makna tauhid dengan menyebutkan tujuan utamanya yaitu mengesakan Allâh سبحانه وتعالى dalam ibadah dan kufur kepada selain-Nya. Ini yang dinamakan tauhid uluhiyah karena urgensinya. Orang yang merealisasikannya sungguh telah menunaikan hak Allâh atas dirinya…(Lihat Syarhu Kitâbi Tauhîd Syaikh ‘Abdullâh al-Ghunaimân 1/36-37).
Pengertian ini, sama dengan makna firman Allâh سبحانه وتعالى :
فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allâh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah/2:256)
PANDANGAN GOLONGAN ASY’ARIYYAH TENTANG TAUHID
Gelar mulia Ahlu Sunnah wal Jamaah sering diklaim oleh golongan Asy’ariyah. (Sebagian) masyarakat pun menilai demikian. Padahal mereka bukan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Bahkan sikap ketidaksetujuan (juga penentangan) terhadap hal-hal yang dilakukan oleh para penganut aliran ini, akan membuat mereka menjatuhkan vonis bukan Ahlu Sunnah wal Jamaah bagi yang berseberangan dengan mereka. Kendatipun yang ditentang merupakan hal-hal yang jelas-jelas tidak ada dasarnya, bertentangan dengan nash-nash syar’i dan terkadang menjadi wasilah menuju syirik atau merupakan syirik yang jelas.
Realita di atas harus dikaji ulang. Aliran Asy’ariyah dalam perjalanan pembentukannya banyak terpengaruh oleh ilmu kalam yang bersumber dari filsafat Yunani Kuno. Maka, tak mengherankan, ada sekian perkara yang diadopsi oleh aliran Asy’ariyah berseberangan dengan prinsip-prinsip Ahlu Sunnah wal Jamaah. Pemaknaan tauhid menurut mereka pun sangat berbeda dengan nash-nash syar’i dalam al-Qur`ân dan penjelasan Nabi ﷺ dalam Hadits-hadits .
Dari situ, golongan Asy’ariyah masuk kategori Ahlul Kalam. Pengertian tauhid kepada Allâh سبحانه وتعالى menurut kebanyakan Ahlul Kalam dalam kitab[1]kitab mereka tidak lepas dari tiga hal berikut ini:
واحِدٌ فِيْ ذَاتِهِ لَا قَسِيْمَ لَهُ، وَاحِدٌ فِيْ صِفَاتِهِ لَاشَبِيْهَ لَهُ، وَاحِدٌ فِيْ أَفْعَالِهِ لَاشَرِيْكَ لَهُ.
Makna konsep tauhid mereka ini yaitu Allâh Maha Esa dalam Dzat-Nya, tidak terbagi-bagi; Allâh Maha Esa dalam sifat-sifat-Nya, tidak adayang serupa dengan-Nya; dan Allâh Maha Esa dalam seluruh perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya (di dalamnya).
Tauhid yang paling populer dari ketiga jenis tauhid di atas adalah tauhid jenis ketiga, tauhid af’aal. Maksudnya, Allâh lah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan alam semesta beserta isinya, Yang Mengatur, Pemberi rezeki dan makna rububiyah yang lain.
Sementara makna ilâh menurut mereka adalah yang maha kuasa untuk mencipta, sehingga makna Lâ Ilâha Illallâh menjadi لَا قَادِرَ عَلَى الاخْتِرَاعِ إِلَّا اللَّه )) tiada yang berkuasa menciptakan kecuali Allah سبحانه وتعالى )
Menurut pandangan Asy’ariyyah, inilah tauhid yang dituntut semua manusia mengimaninya, sebagai penjabaran kalimat thayyibah Lâ Ilâha Illallâh.
Simak apa yang tertera pada sebagian kitab-kitab aliran ini. As-Sahrastani رحمه الله 1 berkata, “Tentang tauhid, Ahlu Sunnah dan seluruh golongan yang menetapkan sifat-sifat bagi Allâh – maksud Ahlu Sunnah di sini adalah Asy’ariyah dan yang sejalan dengan pemikiran mereka – menyatakan Allâh Maha Esa dalam Dzat-Nya, tidak terbagi-bagi; Allâh Maha Esa dalam sifat-sifat-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya; dan Allâh Maha Esa dalam seluruh perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya (di dalamnya)”. (Al-Milal wan Nihal 1/42)
Abu Thâlib al-Makki رحمه الله berkata, “Yang dimaksud dengan Tauhid ialah keyakinan hati bahwa Allâh Maha Esa, tidak berbilang, tidak ada yang kedua bagi-Nya; (Allâh) itu ada, tanpa ada keraguan. Nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta cahaya-cahaya-Nya bukan makhluk, tidak lepas dari-Nya”. (Qûtul Qulûb 2/83-90).
Ibnu Hajar al-Haitami رحمه الله mengatakan, “(Yang dimaksud tauhid) yaitu pengakuan bahwa Allâh Maha Esa dalam Dzat-Nya, tidak berbilang dalam kondisi apapun; Allâh Maha Esa dalam sifat-sifat-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam kondisi apapun; dan Allâh Maha Esa dalam seluruh perbuatan-Nya, tidakada yang membantu dan sekutu bagi-Nya (di dalamnya)” (al-Minah al-Makkiyah).2
Seorang penganut Asy’ariyah masa kini pun, tidak berbeda dengan pendahulunya dalam memaknai tauhid. Yaitu, “Keyakinan yang shahih adalah (dengan meyakini ) bahwa Dzat Yang menciptakan manusia dan perbuatannya adalah Allâh semata. Dia-lah Dzat Yang Mencipta manusia dan perbuatan mereka, tidak ada yang berpengaruh pada sesuatu selain-Nya…Inilah tauhid murni. Jika berkeyakinan bertentangan ini, maka akan terjerumus dalam kesyirikan….. (Hâdzihi Mafâhîmuna)
Syaikh DR. Muhammad bin ‘Abdur Rahmân al-Khumayyis berkata, “Setelah pemaparan ini, dapat diperhatikan bahwa syirik dalam uluhiyah (peribadahan) tidak disebutkan, padahal tauhid uluhiyah merupakan pokok agama Islam. Dalam perkara inilah terjadi perselisihan antara para rasul dan kaum-kaum mereka. Itulah (tauhid uluhiyah) risalah yang menjadi alasan utama para rasul diutus, sebagaimana firman Allâh سبحانه وتعالى :
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”. (QS. al-Anbiyâ/21:25)”3
MELURUSKAN PEMAHAMAN TAUHID VERSI ASY’ARIYAH
Sudah jelas di muka adanya perbedaan antara misi tauhid yang didakwahkan Rasûlullâh ﷺ dengan pemaknaan tauhid oleh kaum Asy’ariyyah. Keyakinan Allah l merupakan satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rezeki dan makna rububiyah lainnya ternyata telah diimani oleh kaum musyrikin Jahiliyah.
Mereka tidak pernah berkeyakinan berhala-berhala yang mereka sembah menciptakan alam semesta atau memberi rezeki, anak dan sebagainya. Mereka tidak meyakini patung[1]patung yang mereka agungkan memiliki kekuasaan seperti kekuasaan Allâh سبحانه وتعالى .
Allâh سبحانه وتعالى mengabarkan tentang keyakinan mereka ini dalam beberapa ayat:
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yûnus/10: 31)
Allâh سبحانه وتعالى juga berfirman:
وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ ۗ قُلْ اَفَرَءَيْتُمْ مَّا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ اَرَادَنِيَ اللّٰهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كٰشِفٰتُ ضُرِّهٖٓ اَوْ اَرَادَنِيْ بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكٰتُ رَحْمَتِهٖۗ قُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ ۗعَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُوْنَ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allâh”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allâh hendak mendatangkan kemudharatan kepada-Ku, Apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allâh hendak memberi rahmat kepadaKu, Apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allâh bagiku”. Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. az-Zumar/39:38)
Namun tauhid ini tidak bermanfaat bagi orang yang meyakininya bila tidak dilanjutkan dengan pengesaan Allâh سبحانه وتعالى dalam ‘ubûdiyah (tauhid uluhiyah) dan menjauhi syirik. Sejarah mencatat, Nabi ﷺ tetap memerangi kaum Musyrikin Mekah, dan label musyrikin pun tetap melekat pada mereka.
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata, “Seandainya model keyakinan tauhid ini saja – tauhid rububiyah- sudah dapat menyelamatkan, tentu dahulu sudah dapat menyelamatkan kaum musyrikin (dari pedang kaum Muslimin)”. . (Madâriju as-Sâlikîn 1/327)
Keyakinan tauhid yang demikian menyebabkan orang-orang mudah terjerumus ke dalam lubang syirik atau akses menuju syirik, namun tidak sadar telah melakukan pelanggaran yang besar. Meminta kepada ‘wali’ (orang) yang sudah meninggal dengan dalih bertawasul kepada Allah سبحانه وتعالى salah satu kebiasaan yang terjadi pada komunitas Asy’ariyah. Tak heran, ritual ziarah kubur ‘wali’ menjadi acara yang diagendakan. 4
Masalah akan lebih jelas lagi melalui pengakuan Syaikh Khalîl Harrâs رحمه الله , seorang alim pengajar di universitas al-Azhar Mesir, dan dahulu beraqidah Asy’ariyah, kemudian mendapatkan hidayah sehingga meninggalkannya. Beliau menerangkan dampak buruk jauhnya seseorang dari tauhid yang dibawa para nabi dan rasul, yaitu terjerumus dalam kesyirikan atau melakukan sarana menuju kesyirikan tanpa sadar. Nas`alullâh al-ilma wal hidâyah.
Beliau berkata; “Di antara perkara aneh, para penganut madzhab Asy’ariyyah melihat bahwa aspek uluhiyah yang paling istimewa bagi Allâh سبحانه وتعالى adalah (meyakini) kemahaesaan-Nya dalam menciptakan dan membuat (alam semesta)…Padahal sudah dimaklumi, keyakinan kemahaesaan Allâh سبحانه وتعالى dalam mencipta adalah tauhid rububiyah yang dahulu sudah diyakini oleh kaum musyrikin (Jahiliyah). Sementara jenis tauhid yang paling agung dan terpenting – yaitu tauhid uluhiyah (kewajiban mentauhidkan/mengesakan Allâh سبحانه وتعالى dalam segala bentuk peribadahan) – tidak mereka perhatikan dan juga tidak ditemukan pembahasan ini dalam kitab-kitab karya (Ulama) mereka. Sepertinya, inilah rahasia mengapa sebagian besar dari mereka terjerumus dalam bid’ah tasawuf, dan mendiamkan wasilah-wasilah berupa kesyirikan yang diperbuat saat mengunjungi kubur-kubur masyayikh (tokoh-tokoh mereka) yang sudah meninggal”. (Da’watut Tauhîd hlm.231)
Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhâni berkomentar, “Ini sebuah catatan dari seorang Ulama al-Azhar yang sangat paham tentang mereka. Ingatlah itu”. 5
Demikian pembahasan yang singkat ini. Semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam.
REFERENSI:
- Manhaju al-Imâmi asy-Syâfi’I fî Itsbâti al-‘Aqîdah, DR. Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb al-‘Aqîl 1/229-242.
- Bayânu asy-Syirki wa Wasâilihi ‘inda Ulamâ asy-Syâfi’iyyah , DR. Muhammad bin ‘Abdur Rahmân al-Khumayyis.
- Sittu Durar min Ushûl Ahlil Atsar, ‘Abdul Malik bin Ahmad al-Mubârak Ramadhâni al-Jazâiri hlm.24-27.
Footnote :
1 Abul Fath Muhammad bin ‘Abdil Karîm, wafat 548. Seorang tokoh dalam Ilmu Kalam dan Ulama Asya’irah.
2 Nukilan dari Arâ Ibni Hajar al-Haitami al-I’tiqâdiyyah hlm. 100
3 Bayânu asy-Syirki wa Wasâilihi ‘inda Ulamâ asy-Syâfi ’iyyah hlm.214 Praktek ziarah ini dij adikan contoh karena menjadi aktifi tas yang paling tampak.
Majalah As-Sunnah Edisi 09 Thn XV Shafar 1433H/Januari 2012 M