Kehilangan Buah Hati

oleh -2102 Dilihat
oleh
Kehilangan buah hati

Tak ada sedikit pun perjalanan kehidupan dunia ini yang terhenti, sampai Allah سبحانه وتعالى kelak menetapkan hari yang menjadi akhir bagi segalanya. Waktu demi waktu adalah ujian bagi setiap manusia. Hanyalah seorang Mukmin yang dapat menghadapinya dengan baik. Ia selalu mengharap taufik Allah سبحانه وتعالى dalam setiap langkah di segala keadaannya. Ia meneladani Rasulullah ﷺ dalam setiap ucapan dan keteladanan amalannya. Ia mempelajari dengan seksama sikap para Salafus shâlih dalam setiap hal yang menghampiri kehidupannya. Seorang Mukmin selalu berhati-hati dalam menentukan sikap dan tindakannya agar dapat selaras dengan petunjuk syariat. Saat ia mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan, maka ia bersyukur kepada Allah سبحانه وتعالى , tidak lantas terbuai sehingga lupa bahwa itu hanyalah bersifat sementara. Tatkala ia ditimpa kesulitan atau musibah, maka ia segera menyadari bahwa itu adalah ujian. Ia meyakini bahwa semua yang terjadi merupakan kehendak Allah سبحانه وتعالى sehingga ia bersabar dan tidak hanyut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

عَنْ صُهَيْبٍ الرُّوْمِيِّ – رضي الله عنه- قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

Dari Shuhaib ar-Rûmi رضي الله عنه berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : “Betapa menakjubkan perkara seorang Mukmin. Sungguh semua perkaranya adalah baik. Apabila ia mendapatkan kebahagiaan maka ia bersyukur kepada Allah سبحانه وتعالى dan itu adalah yang terbaik baginya. Manakala ia mendapatkan musibah maka ia bersabar dan itu adalah yang terbaik baginya.”1

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda : “Menakjubkan (kondisi) seorang Mukmin, karena tidaklah Allah سبحانه وتعالى menentukan satu perkara bagi dirinya melainkan itu menjadi yang terbaik baginya”.2

Di antara titipan Allah سبحانه وتعالى yang menjadi ujian kehidupan bagi seorang Mukmin dan Mukminah adalah anak, “si buah hati”. Ia hadir sebagai penyejuk mata yang mendatangkan kebahagiaan. Setiap gerak dan tingkahnya adalah kebanggaan. Setiap keceriaan celoteh beriring senyum dan kemanjaannya adalah penghibur hati dan pengisi kehampaan. Tak ada kata lelah ataupun bosan bagi ibu atau ayah untuk melayaninya dan mencurahkan kasih sayang kepadanya. Tak perlu diminta untuk memberikan yang terbaik baginya. Tak habis cara dan usaha mencari jalan keluar terhadap segala kesulitannya. Semua itu dilalui sebagai kebahagiaan bagi kedua orang tua. Namun pada saat Allah سبحانه وتعالى memanggil kembali si buah hati karena ajal telah menjemputnya, tak jarang sebagian orang tua dirundung kesedihan yang begitu mendalam dan berkepanjangan, seakan kurang dapat menerima kenyataan. Di antara mereka ada yang bingung “Apa yang harus dilakukan??”, “Belum siap”, dan pertanyaan “Mengapa ini terjadi?” bergelayut dalam hati dan pikiran. Mari kita merenung sejenak, sambil mencermati kembali ajaran Islam yang sudah pasti menuntun kepada keputusan yang terbaik dan mendatangkan kebahagiaan. Sehingga langkah setiap Mukmin dan Mukminah saat menghadapi kepergian “si buah hati” yang takkan kunjung kembali adalah langkah yang diridhai Allah سبحانه وتعالى .

Keteladanan Rasulullah Saat Kehilangan “Buah Hati”

Sebagai contoh terbaik bagi umat ini, kita dapatkan dari keteladanan kisah nyata Rasulullah ﷺ saat putranya Ibrahim, meninggal dunia pada usia yang sangat dini. Namun demikian Rasulullah ﷺ tegar dalam menjalani ujian kehidupan tersebut. Ketika Ibrahim telah dekat dengan ajalnya, Rasulullah ﷺ mendekapnya dalam pangkuan, beliau ﷺ menciumnya dan beberapa saat kemudian Ibrahim menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saat itu Rasulullah ﷺ meletakkannya dan beliau pun ﷺ menangis. ‘Abdurrahmân bin ‘Auf bertanya: “Wahai Rasulullah ﷺ , apakah engkau menangis padahal engkau telah melarang (kami) menangis (yakni tangis ratapan atau niyâhah)?” Beliau ﷺ menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya aku tidak melarang (kalian) menangis, hanya saja aku melarang dua jenis suara bodoh lagi jahat; yakni suara alunan (musik) yang melalaikan dan seruling-seruling setan, serta suara tamparan wajah dan mengoyak pakaian ketika musibah. Adapun (tangisan) ini adalah kasih sayang, dan barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi. Jikalah ini bukan janji (Allah سبحانه وتعالى ) yang pasti terjadi dan ucapan yang benar, serta yang telah wafat mendahului kita pastilah akan kita susul, maka kita akan lebih bersedih dari ini. Sungguh kami bersedih dengan (kepergianmu) wahai Ibrahim. Air mata berlinang…, hati bersedih…, kita tidak mengucapkan (sesuatu) yang akan mendatangkan murka Allah سبحانه وتعالى .”3

Lihatlah ketegaran dan ketabahan Rasulullah ﷺ , sekalipun hati beliau bersedih dan air mata berlinang namun beliau menjauhkan diri dari segala sesuatu yang akan mendatangkan murka Allah سبحانه وتعالى . Karena beliau ﷺ meyakini bahwa semua yang terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah سبحانه وتعالى yang sarat kebaikan serta hikmah. Tidak sedikit pun Allah سبحانه وتعالى menzhalimi hamba-Nya. Allah سبحانه وتعالى berfirman yang artinya: “Dan Dialah yang berkuasa atas seluruh hamba-Nya. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”.4 “Dan Aku sekali-kali tidak menzhalimi hambahamba-Ku”.5 Dengan meyakini hal ini maka seorang Mukmin akan mudah berlapang dada terhadap segala yang terjadi karena Allah سبحانه وتعالى pasti memberikan yang terbaik. Menyadari bahwa semua yang kita miliki hanyalah ujian serta titipan sementara yang suatu saat akan kembali kepada-Nya. Allah سبحانه وتعالى berfirman yang artinya: “Kepunyaan Allah سبحانه وتعالى sajalah segala yang ada di langit dan di bumi; dan hanya kepada Allah سبحانه وتعالى segala urusan dikembalikan”.6 Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya: “Apabila Allah سبحانه وتعالى mencintai suatu kaum maka Allah سبحانه وتعالى akan menguji mereka. Barangsiapa ridha, maka ia akan mendapatkan ridha (Allah k), dan barangsiapa marah (benci) maka baginya kebencian dan kemurkaan (Allah k)”.7

Tegar Menghadapi Kenyataan

Diriwayatkan, ada seorang Sahabat bernama Abu Thalhah al-Anshâri رضي الله عنه memiliki seorang istri bernama Ummu Sulaim x serta seorang putra yang ia sayangi. Ketika Abu Thalhah رضي الله عنه keluar dari rumah (untuk suatu kepentingan), anaknya sedang jatuh sakit kemudian meninggal dunia. Ummu Sulaim x mempersiapkan (diri) seraya berkata kepada kerabatnya: “Jangan kalian memberitahu suamiku Abu Thalhah رضي الله عنه tentang putranya, biarkanlah aku sendiri yang akan menyampaikan berita duka ini”. Saat Abu Thalhah رضي الله عنه sampai di rumah bersama beberapa Sahabatnya, beliau bertanya kepada Ummu Sulaim x : “Bagaimana keadaan anak kita?”. Ummu Sulaim menjawab: “Semenjak ia sakit, malam ini sungguh ia lebih tenang dari sebelumnya”. Ummu Sulaim mempersiapkan makan malam, kemudian ia berhias diri dan bersolek untuk suaminya. Abu Thalhah رضي الله عنه memuji Allah سبحانه وتعالى dan merasa senang, ia menyelesaikan makan malam kemudian menggauli istrinya. Setelah itu, Ummu Sulaim x berkata: “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu apabila seseorang meminjam suatu pinjaman dan memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta kembali dia enggan untuk mengembalikannya?” Abu Thalhah رضي الله عنه menjawab: “Dia tidak berlaku adil”. Ummu Sulaim x berkata lagi: “Sesungguhnya putramu adalah pinjaman Allah سبحانه وتعالى bagimu, dan sungguh Allah سبحانه وتعالى telah mengambilnya kembali”. (Ternyata) Abu Thalhah رضي الله عنه bersabar8 serta memuji Allah سبحانه وتعالى … Keesokan harinya ia hendak menyampaikan kepada Rasulullah ﷺ tentang hal tersebut. Saat Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau ﷺ berdoa: “Semoga Allah سبحانه وتعالى memberkahi kalian berdua di malam yang kalian lalui”. Maka tidak berapa lama kemudian Ummu Sulaim x mengandung…9

Ibnu Hajar t berkata: “Sesungguhnya seorang Mukmin manakala ia menyerahkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى (saat musibah) dan melakukan istirjâ` (mengucapkan innalillah…) maka ia akan mendapatkan tiga kebaikan sekaligus; keberkahan dan maghfirah (ampunan), rahmat serta kemudahan jalan petunjuk”.10 Demikian contoh mulia dari para Salafus shâlih yang diuji oleh Allah سبحانه وتعالى , bukan bersikap murung atau putus asa, namun bersikap tegar, tenang, sabar dan tabah menghadapi ujian itu.

Wajib Husnu zhan (Berprasangka Baik) Terhadap Allah سبحانه وتعالى .

Berprasangka buruk kepada Allah سبحانه وتعالى adalah sifat kaum munafikin dan musyrikin. Allah سبحانه وتعالى yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana berfirman yang artinya: “Dan Allah سبحانه وتعالى mengadzab kaum munafik laki-laki dan perempuan, juga kaum musyrik laki-laki dan perempuan karena mereka berprasangka buruk kepada Allah سبحانه وتعالى . Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Allah سبحانه وتعالى memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka jahanam. Dan neraka jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali”.11

Sesungguhnya sebagian manusia menjadi rendah lagi hina karena prasangka buruk mereka terhadap Allah سبحانه وتعالى . Adapun makna berprasangka baik terhadap Allah سبحانه وتعالى ialah seorang hamba berprasangka bahwa Allah سبحانه وتعالى menyayanginya, ia memahami hal tersebut dengan merenungi ayat-ayat, hadits-hadits yang menjelaskan tentang kebaikan dan kemuliaan Allah سبحانه وتعالى serta ampunan-Nya, apapun yang telah Allah سبحانه وتعالى janjikan bagi ahli tauhid sebagai pengganti dan balasan kebaikan bagi mereka di hari Kiamat kelak. Berdasarkan firman Alah سبحانه وتعالى dalam hadits Qudsi: “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku terhadapKu.” Inilah makna hadits yang benar yang dijelaskan oleh jumhur Ulama.”12 Hanyalah orang kafir yang berputus asa dari rahmat Allah سبحانه وتعالى . Allah سبحانه وتعالى berfirman yang artinya: “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah سبحانه وتعالى melainkan kaum yang kafir”13

Rasulullah ﷺ bersabda :

الْكَبَائِرُ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالإِيَاسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ وَالقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah سبحانه وتعالى , pesimis dari kasih sayang Allah سبحانه وتعالى serta berputus asa dari (mendapatkan) rahmat-Nya.” 14

Bersabar Sejak Awal Musibah Terjadi

Ini adalah hal yang sering kali luput atau bahkan dilalaikan sebagian orang yang menghadapi musibah. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُوْلَى

Sesungguhnya kesabaran adalah pada saat awal kejadian (musibah). 15

Yakni apabila bersikap tegar dan tabah pada saat hati terguncang akibat suatu musibah maka itulah sabar yang sempurna yang akan mendatangkan pahala. Al-Khaththâbi t berkata: “Sesungguhnya sabar yang terpuji adalah ketika musibah baru saja terjadi, adapun setelah itu beberapa hari maka dia akan lupa kemudian merelakan kepergiannya”.16 Imam Nawawi t berkata: “Sungguh makna hadits tersebut adalah kesabaran yang sempurna dan akan mendatangkan pahala yang agung, karena ujian kesulitan yang berat di dalamnya…”.17 Dan jika ia berjuang untuk dapat bersabar maka Allah سبحانه وتعالى akan memberikan kemudahan baginya untuk tegar dan bersabar. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa berusaha untuk bersabar maka Allah سبحانه وتعالى akan membuatnya bersabar, tidaklah seseorang diberikan kebaikan yang menyeluruh dan lebih luas dari kesabaran”.18 Tentang definisi kesabaran Ibnul Qayyim t berkata: “Sabar adalah menahan diri dari sikap kesal dan marah, menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota badan dari melakukan kekacauan atau kebodohan”.19

Berharap Pahala dan Balasan Kebaikan Dari Allah

Hal ini pernah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ , dalam sabdanya yang artinya: “Senantiasa ujian (cobaan) menghampiri seorang Mukmin atau Mukminah dalam dirinya, hartanya, serta anaknya sampai ia berjumpa dengan Allah سبحانه وتعالى sehingga tiada lagi tersisa dosa-dosanya”.20 Suatu saat seorang pria mendatangi Nabi ﷺ sambil membawa putranya, kemudian Rasulullah ﷺ bertanya: “Apakah engkau mencintai putramu?” Pria tersebut menjawab: “Allah سبحانه وتعالى telah mencintai engkau (wahai Rasulullah ﷺ ) sebagaimana aku mencintai putraku.” Tak lama setelah itu putranya wafat, ia merasa sangat kehilangan dan bertanya (kepada Rasulullah ﷺ ) tentang (nasib) putranya itu. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidakkah engkau merasa bahagia tatkala engkau mendatangi pintu manapun di antara pintu-pintu Jannah dan putramu berdiri di hadapannya berusaha untuk membukakannya bagimu?”21 Maka hendaknya ia mengharap agar dipertemukan kembali dengan seluruh keluarganya dalam kebahagiaan dan kenikmatan jannah Allah سبحانه وتعالى serta dijauhkan dari adzab Allah سبحانه وتعالى. Kesempatan itu pernah disampaikan Rasulullah سبحانه وتعالى dalam sebuah hadits:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَمُوْتُ بَيْنَهُمَا ثَلَاثَةُ أَوْلَادٍ لَمْ يَبْلُغُوْا الحِنْثَ إِلَّا أَدْخَلَهُمَا اللَّهُ الجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ. يُقَالُ لَهُمْ: “ادْخُلُوْا الْجَنَّةَ”، فَيَقُوْلُوْنَ: حَتَّى يَدْخُلَ آبَاؤُنَا، فَيُقَالُ: ” اُدْخُلُوْا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ

Tidaklah dua Muslim (suami-isteri) yang tiga anak kandung mereka yang belum berdosa telah meninggal dunia, melainkan Allah سبحانه وتعالى akan masukkan keduanya ke dalam Jannah dengan kebaikan dan rahmat Allah سبحانه وتعالى bagi mereka. Dikatakan kepada anak-anak itu “Masuklah kalian ke dalam jannah.” Maka mereka menjawab “(kami menanti) sehingga kedua orang tua kami memasukinya.” Kemudian dikatakan: “Masuklah kalian beserta kedua orang tua kalian ke dalam Jannah.”22

Rasulullah ﷺ bersabda:

“أَيُّمَا امْرَأَةٌ مَاتَ لَهَا ثَلَاثَةٌ مِنَ الوَلَدِ كَانُوْا لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ” . قَالَتْ اِمْرَأَةٌ:  وَاثْنَانِ؟ قَالَ: ” وَاثْنَانِ”

“Seorang wanita (Muslimah) manapun yang telah (didahului) wafat ketiga anaknya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah ﷺ bagaimana jika hanya dua (anak saja)?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Ya, (walaupun) dua.”23

Dalam sabda beliau ﷺ yang lain: “Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Sesungguhnya (janin yang) gugur akan menarik ibundanya dengan ari-arinya (masuk) ke dalam Jannah manakala ibunya itu (bersabar) mengharap pahala.”24

Semoga Allah سبحانه وتعالى menjadikan kita dapat bersabar tatkala mendapatkan musibah khususnya pada saat kepergian buah hati yang mendahului kita, meyakini bahwa Allah سبحانه وتعالى senantiasa memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya, melimpahkan pahala dan menghapuskan dosa serta mempertemukan kita dengan semua keluarga yang telah mendahului kita di dalam jannah-Nya سبحانه وتعالى yang mulia. Amin (Ustadz Rijal Yuliar)

Footnote:

  1. Ahmad 4/333 no: 18939, Muslim no: 2999, ad-Dârimi 2/218 no: 2773, Ibnu Hibbân (At-Ta‘lîqâtul Hisân) 4/447 no: 2885
  2. Ahmad 5/24 no: 20283, Ibnu Hibbân 2/149 no: 726 dari Anas bin Mâlik z. Riwayat ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah 1/277 no: 148
  3. Al-Bukhâri 1303, Muslim 2025, Shahîh Sunan Abu Dâwud dengan no: 2681 (3126), Ahmad 13014 seluruhnya dari Anas z, Ibnu Mâjah 1589 dari Asma bintu Yazid x . Adapun lafazh dan kisah di atas diriwayatkan oleh Hâkim 6825 dari Jâbir dari ‘Abdurrahmân bin ‘Auf رضي الله عنه .
  4. Qs al-An‘âm 6:18
  5. Qs Qâf 50:29
  6. Qs Ali ‘Imrân 3:109
  7. HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah; lihat Shahîh Sunan Tirmidzi 2396, Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 4031 dari Anas bin Mâlik z. Syaikh al-Albâni berkata “Sanadnya hasan”.
  8. Sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah x ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda “Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah kemudian dia mengucapkan apa yang diperintahkan Allah yaitu “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn, Allâhumma` jurnî fî mushîbatii wa akhlif lî khairan minha” (Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku ini dan berikan kepadaku ganti), melainkan Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik dari (mushibah tersebut)”. (HR Muslim 3/474-475 no: 918 Bab yang diucapkan saat musibah). Dalam riwayat lain disebutkan hadits yang senada dan pada bagian akhir hadits beliau ﷺ bersabda “….melainkan Allah akan memberikan pahala kepadanya dan memberikan ganti yang lebih baik”. (HR Ibnu Mâjah 1598 yang dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni). Ini berdasarkan firman Allah “Yaitu (orang-orang) yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ; “Innaa lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn”. Mereka mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk hidayah”. (Qs al-Baqarah/ 2:156-157)
  9. HR. al-Bukhâri 1301, Muslim 6322, Ahmad 12028, seluruhnya dari Anas رضي الله عنه
  10. Fathul Bâri; bab 42 dari kitab Al-Janâ‘iz 3/205 syarah hadits no: 1302
  11. Qs al-Fath/48:6
  12. ‘Aunul Ma‘bûd 8/382-383.
  13. Qs Yusuf/12:87
  14. HR. al-Bazzâr dari Ibnu ‘Abbas zdalam Majma‘ az-Zawâid 1/104. Al-Haitsami berkata “Diriwayatkan al-Bazzâr dan ath-Thabrâni; para perawinya dapat dipercaya” dalam kesimpulannya Syaikh al-Albâni menilainya hasan. Lihat Shahîhul-Jâmi‘ 2/844 no: 4603, dan Silsilah Shahîhah 5/79-80 hadits no: 2051
  15. HR. al-Bukhâri no: 1283 & 1302, Muslim no: 926 dari Anas bin Malik z .
  16. Fathul Bâri 3/179, Tuhfatul Ahwadzi 4/62.
  17. Syarah Muslim 6/481
  18. HR al-Bukhâri no: 1469, Muslim no: 1054 dari Abu Sa‘id al-Khudri z
  19. Madârijus Sâlikîn baina Manâzili Iyyâka Na‘budu wa Iyyâka Nasta‘în karya Ibnul Qayyim 2:129
  20. HR at-Tirmidzi no: 2399. dari Abu Hurairah z. Lihat Silsilah Shahîhah no: 2280
  21. HR. an-Nasâ‘i dari Qurrah bin Iyâs z. Lihat Shahîh Sunan Nasâ‘i no: 764 dan 1974. Dinyatakan oleh Syaikh al-Albâni “Shahîh”
  22. HR an-Nasâ‘i dari Abu Hurairah z; Lihat Silsilah Shahîhah no:2260
  23. HR al-Bukhâri 101,1249,7310 dari Abu Sa‘id al-Khudri رضي الله عنه
  24. HR. Ibnu Mâjah 1609 dari Mu‘adz bin Jabal رضي الله عنه . Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah no:1305

Majalah As-Sunnah edisi 04/Tahun XIII/Rajab 1430H/Juli 2009M

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!