Hikmah Dibalik LARANGAN ADOPSI ANAK

oleh -1831 Dilihat
oleh
Hikmah Dibalik LARANGAN ADOPSI ANAK

Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan anak. Secara alamiah berfungsi untuk melestarikan eksistensi umat manusia di muka bumi. Disamping itu, keberadaan seorang anak juga menjadi sumber kegembiraan di tengah keluarga. Bahkan pada masa senja, sang anak menjadi tumpuan harapan.

Demikian indah dan sempurna menurut semua orang, sebuah rumah tangga yang dipenuhi canda dan tawa anak-anak di dalamnya. Sehingga, tidak heran jika pasangan yang belum mendapatkan keturunan begitu gelisah dan sedih, lalu menempuh bermacam cara untuk memperolehnya. Pada zaman mutakhir ini banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan seorang anak, baik dengan operasi, proses bayi tabung, sewa rahim, maupun dengan mengadopsi anak. Dalam fiqih Islam, cara adopsi dikenal dengan istilah tabanni. Lantas bagaimanakah menurut tinjauan hukum Islam?

SEJARAH ADOPSI DALAM ISLAM

Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya.

Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah ﷺ pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah سبحانه وتعالى menurunkan beberapa firman[1]Nya untuk meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dardialog antara Rasulullah ﷺ , Zaid, dan Hâritsah, bapak kandung Zaid.1

Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak “musuh”. Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah binti Khuwailid رضي الله عنها yang bernama Hakîm bin Hizam bin Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah رضي الله عنها sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan Rasulullah ﷺ , oleh Khadijah, Zaid diberikan kepada Rasulullah ﷺ sebagai hadiah.

Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah ﷺ , terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari Rasulullah ﷺ . Akan tetapi, beliau tidak menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?

Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama Rasulullah ﷺ . Maka beliau ﷺ merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan itu, sehingga beliau ﷺ menggandeng tangan Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy: “Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya”.

Mendengar ungkapan Rasulullah ﷺ , maka tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama Rasulullah ﷺ . Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat 5.2

HUKUM ADOPSI DALAM ISLAM

Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaannya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.

Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.

Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur. Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.

Allah سبحانه وتعالى berfirman :

وَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ

Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah … (Qs al-Ahzab/33:4-5).

Ibnu Umar رضي الله عنهما  berkata: “Dahulu, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah z kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat ‘Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah ‘ –Q s al-Ahzab/33 ayat 5.” 3

Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak orang lain sebagai anak kandungnya. Allah سبحانه وتعالى kemudian memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.

Dalam banyak kesempatan, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah سبحانه وتعالى tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.

Rasulullah ﷺ bersabda :

لَا تَرْغَبُوْا عَنْ آبَائِكُمْ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ

Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir. 4 (HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215).

Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah. Seakan-akan dia berkata “saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (baca: bapak angkat)”, padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).5

Dalam hadits yang lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ أَو انتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيْهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ، لَايَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامِةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا

Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah. (HR Muslim, no. 3314 dan 3373).

PENGECUALIAN HUKUM

Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى :

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗ

Dan tiada dosa bagi atas apa yang tidak kamu sengaja, akan tetapi yang ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu. (Qs al-Ahzab/33:5).

Al-Qurthubi رحمه الله menjelaskan, jika manusia menasabkan seseorang kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau terlanjur terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai dosa. Beliau menyebutkan riwayat dari Qatâdah رحمه الله yang menyatakan, apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung, berdasarkan persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa.6

Mengomentari hadits al-Bukhâri رحمه الله (no. 6766 dan no. 6768), al-Imam Ibnu Baththaal رحمه الله berkata: “Kedua hadits ini tidak memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan penisbatan nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman di atas, seperti al-Miqdad bin al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud, yaitu orang yang berpaling darinasab bapak kandungnya dalam keadaan mengetahui, sengaja dan sukarela. Karena, pada masa jahiliyyah masyarakat tidak mengingkari orang yang mengadopsi anak orang lain dan seseorang yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Sampai akhirnya turunlah ayat “Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah” –Qs al-Ahzâb/33 ayat 5- dan firman-Nya “Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian” –Qs al-Ahzâb/33 ayat 4.

Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada bapak kandungnya masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal dengan nasab bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal, bukan menjadikannya sebagai bapak kandung, seperti al-Miqdâd bin al-Aswad, karena bapaknya bukanlah al-Aswad, akan tetapi ‘Amr bin Tsa’labah al-Bahrâni.7

Sedangkan al-Aswad bin Abdi Yaghuts adalah bapak angkat yang mengadopsi beliau di masa jahiliyyah, dan tidak pernah kita dengar adanya pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan sengaja.8

Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimîn رحمه الله mengatakan:

Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah ﷺ :

Aku adalah anak ‘Abdul-Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu bukan suatu kedustaan. (HR al-Bukhâri, no. 2930; Muslim, no. 78; at-Tirmidzi, no. 1688; dan Abu Dawud, no. 487).

Padahal nama beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil-Muththalib, dan beliau ﷺ mengatakan hal ini pada peperangan Hunain, karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada bapaknya. 9

PERKARA-PERKARA YANG DIBATALKAN

Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya. Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.

  • Larangan memberi panggilan “anak” secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
  • Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain orang tuanya.
  • Putusnya hubungan “anak-bapak” antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya, yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.
  • Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan perkara “haram” berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada waktu itu. Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah سبحانه وتعالى berfirman:

فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًاۗ زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْٓ اَزْوَاجِ اَدْعِيَاۤىِٕهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ

Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya (Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah menceraikan para isteri tersebut. (Qs al-Ahzâb/33:37).

Imam Ibnu Katsir رحمه الله menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi para (mantan) isteri anak[1]anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna.10

Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam ayat tentang Wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya: …(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu…(Qs an-Nisaa‘/4 ayat 23).

Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah.11

Al-Imam asy-Syafi’i رحمه الله menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini.12

Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah رحمه الله , bahwa dalam perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.13

‰ Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, maka wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib memakai busana muslimah secara lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.

KESIMPULAN DAN HIKMAH

Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah سبحانه وتعالى dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.

Mungkin saja, ketika Allah سبحانه وتعالى tidak menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah سبحانه وتعالى hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan nabi al-Khidhr untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah سبحانه وتعالى berfirman:

وَاَمَّا الْغُلٰمُ فَكَانَ اَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَآ اَنْ يُّرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَّكُفْرًا ۚ

Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran. (Q s al-Kahfi/18:80).

Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi, ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut.

Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil. Wallahu a’lam bish-shawâb. Ustadz Imam Wahyudi

 


Footnote:

1 Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl al-Kalbi, Abu Usamah, maula Nabi (budak yang telah dimerdekakan oleh beliau), seorang sahabat Nabi yang terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia meninggal sebagai syahid pada peperangan Mu‘tah, ketika Rasulullah masih hidup. Yaitu pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun. Lihat Taqribut-Tahzib, hlm. 351.

2 Diringkas dari Shuwar min Hayâtish-Shahâbah, Dr. ‘Abdur-Rahmân Ra’fat al-Bâsya, hlm. 217-220.

3 HR al-Bukhari, no. 4782; Muslim, no. 2425; at-Tirmidzi, no. 3209 dan 3814, dll.

4 Kekafiran yang dimaksud disini, ialah bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena menurut Ahlus-Sunnah, seorang muslim tidak dikafirkan lantaran dosa besar yang dilakukannya. Jadi makna yang mungkin, yaitu mendekati kekufuran atau benar-benar kafir, apabila sang pelaku menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Diringkas dari al-Minhaj, karya an-Nawawi ketika menjelaskan hadits nomor 212.

5 Lihat al-Fath (12/67), hadits no. 6768.

6 Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân (14/109).

7 Lihat al-Fath (12/67).

8 Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân (14/109).

9 Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Cet. Darus-Salam (2/1845).

10 Al-Mishbahul-Munir, hlm. 1092.

11 Al-Mishbahul-Munir, hlm. 284, dengan sedikit penyesuaian.

12 Al-Umm (6/69).

13 Al-Mughni (9/518).

Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2007M

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!