Atasi Marahmu, Gapai Ridha Rabb-Mu !

oleh -696 Dilihat
oleh
Atasi Marahmu, Gapai Ridha Rabb-Mu !

Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan terkadang tidak bisa mengendalikan diri karena emosi yang sudah memuncak.

Memang sifat marah merupakan tabiat manusia, karena mereka memiliki nafsu yang cenderung ingin selalu dituruti dan tidak mau ditolak keinginannya.

Rasûlullâh ﷺ bersabda :

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ

Aku ini hanya manusia biasa. Aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah. 1

Disamping itu juga, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka. Karena dengan kemarahan, seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya.2

Oleh karena itu, hamba-hamba Allâh l yang bertakwa, meskipun mereka tidak luput dari sifat marah, akan tetapi kerena mereka selalu berusaha melawan keinginan nafsu. Sehingga mereka mampu meredam kemarahan mereka karena Allâh l . Allâh سبحانه وتعالى memuji mereka dalam firman-Nya :

﴿ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤ ﴾

Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafk ahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allâh سبحانه وتعالى menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. Ali ‘Imrân/3:134).

Maksudnya, jika mereka disakiti orang lain yang memancing kemarahan, mereka tidak memperturutkan hawa nafsu mereka (demi melampiaskan kemarahan), akan tetapi sebaliknya, mereka (justru berusaha) menahan kemarahan dalam hati mereka dan bersabar untuk tidak membalas perlakuan orang yang menyakiti mereka.3

KEUTAMAAN MENAHAN MARAH DAN MENGENDALIKAN DIRI KETIKA EMOSI

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasûlullâh ﷺ bersabda :

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), akan tetapi orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah. 4

Inilah kekuatan yang terpuji dan mendapat keutamaan dari Allâh سبحانه وتعالى . Kekuatan seperti tidak dimiliki oleh banyak orang5 .

Imam al-Munâwi رحمه الله berkata, “Makna hadits ini yaitu orang kuat (dalam arti yang sebenarnya) adalah orang yang (mampu) menahan diri ketika kemarahannya sedang bergejolak dan dia (mampu) melawan dan menundukkan nafsunya (ketika itu). Dalam hadits ini, Rasûlullâh ﷺ membawa makna kekuatan fisik kepada makna kekuatan batin. Barangsiapa mampu mengendalikan dirinya ketika itu maka sungguh dia telah (mampu) mengalahkan musuhnya yang paling kuat dan paling berbahaya (yaitu hawa nafsunya).”6

Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allâh l yang disebutkan dalam sabda Rasûlullâh ﷺ :

المُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allâh daripada orang mukmin yang lemah7 .

Kuat dalam hadits ini, maknanya adalah kuat imannya dan kuat dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allâh سبحانه وتعالى . 8

Dalam hadits lain, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

 مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ عَلَى رُءُوْسِ الخَلَائِقِ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُوْرِ مَا شَاءَ

Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allâh سبحانه وتعالى akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari Kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allâh membiarkannya memilih bidadari. 9

Imam ath-Thîbi رحمه الله berkata, “(Perbuatan) menahan amarah itu terpuji karena menahan amarah berarti berhasil menundukkan nafsu yang selalu membisikkan keburukan, oleh karena itu Allâh سبحانه وتعالى memuji mereka dalam fi rman-Nya :

﴿ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤ ﴾

… dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafk an (kesalahan) orang lain. Allâh سبحانه وتعالى menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. Ali ‘Imrân/3:134) 10

Sabda Rasûlullâh ﷺ dalam hadits di atas, “… padahal dia mampu untuk melampiaskannya…”, menunjukkan bahwa menahan kemarahan yang terpuji dalam Islam adalah ketika seseorang mampu melampiaskan kemarahannya dan dia menahannya karena Allâh سبحانه وتعالى . 11 Adapun ketika dia tidak mampu melampiaskannya, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, dan sebab-sebab lainnya, maka dalam keadaan seperti ini menahan kemarahan tidak terpuji.

Seorang Mukmin yang terbiasa mengendalikan hawa nafsunya, maka dalam semua keadaan dia selalu dapat berkata dan bertindak dengan benar, karena ucapan dan perbuatannya tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Orang yang seperti tentu akan mudah baginya untuk berlaku adil dan inilah arti sikap adil yang dipuji oleh Allâh l sebagai sikap yang lebih dekat dengan ketakwaan. Allâh سبحانه وتعالى berfirman :

﴿ …. وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ٨ ﴾

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (QS al-Mâidah/5:8).

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله menukil ucapan seorang Ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini. Beliau رحمه الله berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah, kemarahannya tidak menjerumuskan dirinya ke dalam kesalahan; Dan ketika dia senang, kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran.”12

MENAHAN MARAH, KUNCI SEGALA KEBAIKAN

Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah z diceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasûlullâh ﷺ untuk meminta nasehat beliau ﷺ . Orang itu berkata, “Berilah wasiat (nasehat) kepadaku !” Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Janganlah engkau marah.” Kemudian orang itu mengulang berkalikali permintaan nasehatnya kepada Rasûlullâh ﷺ , maka Rasûlullâh ﷺ mengulangi jawabannya, “Janganlah engkau marah.”13

Orang ini datang kepada Rasûlullâh ﷺ untuk meminta nasehat yang ringkas namun mencakup semua sifat baik, lalu Rasûlullâh ﷺ menasehatinya agar selalu menahan kemarahan. Kemudian orang tersebut mengulang permintaan nasehat berkali-kali dan Rasûlullâh ﷺ memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa melampiaskan kemarahan adalah sumber segala keburukan dan menahannya merupakan penghimpun segala kebaikan.14

Imam Ja’far bin Muhammadt mengatakan, “(Melampiaskan) kemarahan adalah pembuka segala keburukan.”

Imam Abdullâh bin al-Mubârak al-Marwazi رحمه الله , ketika ada yang meminta kepada beliau, “Sampaikanlah (nasehat) kepada kami yang menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat.” Beliau رحمه الله berkata, “(Yaitu) meninggalkan (menahan) amarah.”

Demikian pula imam Ahmad bin Hambal رحمه الله dan imam Ishak bin Rahuyah رحمه الله ketika menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka mengatakan, “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan.”15

Jadi perintah Rasûlullâh ﷺ dalam hadits di atas, “Janganlah engkau marah” berarti perintah untuk melakukan sebab (perantara) yang akan melahirkan akhlak yang baik, yaitu: sifat lemah lembut, dermawan, malu, tawadhu’ (merendahkan diri), sabar, tidak menyakiti orang lain, pemaaf, ramah dan sifat-sifat baik lainnya yang akan muncul ketika seseorang berusaha menahan emosinya pada saat ada faktor-faktor yang memancing kemarahannya.16

PETUNJUK RASÛLULLÂH ﷺ UNTUK MENGATASI EMOSI

Rasûlullâh ﷺ memberi petunjuk atau kiat-kiat untuk meredakan kemarahan dan menahannya dengan izin Allâh سبحانه وتعالى 17, di antaranya:

  1. Berlindung kepada Allâh سبحانه وتعالى dari godaan setan

Dari Sulaiman bin Shurad z , beliau mengatakan, “(Ketika) aku sedang duduk bersama Rasûlullâh ﷺ , ada dua orang laki-laki yang sedang (bertengkar dan) saling mencela. Salah seorang dari mereka, wajahnya telah memerah dan urat lehernya menegang. Lalu Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia mengucapkannya maka niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya. Seandainya dia mengatakan :

أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Aku berlindung kepada Allâh dari godaan setan yang terkutuk. Maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya.”18

  1. Diam (tidak berbicara), agar terhindar dari ucapan-ucapan buruk yang sering timbul ketika orang sedang marah19.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas c bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda (yang artinya), “Jika salah seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam”20

  1. Duduk atau berbaring, agar kemarahan tertahan dalam dirinya dan akibat buruknya tidak sampai kepada orang lain.21

Dari Abu Dzar al-Gifari z bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda:

إذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجِلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring22

Disamping itu, yang paling utama dalam hal ini adalah usaha untuk menundukkan dan mengendalikan diri ketika sedang marah. Ini akan menutup jalan-jalan atau celah-celah setan yang ingin menjerumuskan manusia ke dalam jurang keburukan dan kebinasaan.23

Allâh l berfirman :

﴿اِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْۤءِ وَالْفَحْشَاۤءِ وَاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ١٦٩ ﴾

Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allâh apa yang tidak kamu ketahui (QS alBaqarah/2:169).

Suatu hari, Khalifah yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz marah رحمه الله , maka putranya (yang bernama) ‘Abdul Mâlik berkata kepadanya, “Wahai Amîrul Mukminîn, dengan karunia dan keutamaan yang Allâh berikan kepadamu, engkau marah seperti ini ?” Maka ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz رحمه الله berkata, “Apakah kamu tidak pernah marah, wahai ‘Abdul Mâlik ?” Lalu ‘Abdul Malik رحمه الله menjawab, “Apalah artinya bagi perut (dada) yang lapang, kalau tidak aku (pergunakan untuk) menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak (sehingga tidak mengakibatkan keburukan).”24

MARAH YANG TERPUJI

Ummul Mukminin ‘Aisyah x berkata:

وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا

Rasûlullâh ﷺ tidak pernah marah karena (urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika batasan syariat Allâh dilanggar, maka beliau ﷺ akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allâh. 25

Inilah marah yang terpuji dalam Islam, marah karena Allâh سبحانه وتعالى . Marah dan tidak ridha ketika perintah dan larangan Allâh سبحانه وتعالى dilanggar oleh manusia. Inilah akhlak mulia Rasûlullâh ﷺ , yang selalu ridha dengan apa yang Allâh ridhai dalam al-Qur’ân dan benci atau marah dengan apa yang dicela oleh Allâh سبحانه وتعالى dalam al-Qur’ân.26

‘Aisyah x berkata, “Sungguh akhlak Rasûlullâh ﷺ adalah al-Qur’ân”27. Dalam riwayat lain ada tambahan, “…Beliau ﷺ marah atau benci terhadap apa yang dibenci dalam alQur’ân dan ridha dengan apa yang dipuji dalam al-Qur’ân”28.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali رحمه الله mengatakan, “Wajib bagi seorang Mukmin untuk menjadikan keinginan nafsunya terbatas pada apa yang dihalalkan oleh Allâh سبحانه وتعالى baginya, yang ini bisa termasuk niat baik yang akan mendapat ganjaran pahala (dari Allâh سبحانه وتعالى ). Dan wajib baginya untuk menjadikan kemarahannya dalam rangka menolak gangguan dalam agama (yang dirasakan) oleh dirinya atau orang lain, serta dalam rangka menghukum atau mencela orang-orang yang menentang Allâh سبحانه وتعالى dan rasul-Nya ﷺ , sebagaimana firman-Nya :

﴿قَاتِلُوْهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللّٰهُ بِاَيْدِيْكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُوْرَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِيْنَۙ ١٤ وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوْبِهِمْۗ وَيَتُوْبُ اللّٰهُ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ١٥ ﴾

Perangilah mereka, niscaya Allâh akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allâh سبحانه وتعالى akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan kemarahan orang-orang yang beriman (QS at-Taubah/9:14-15)”29

PENUTUP

Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi kita semua dan menjadi motivasi untuk selalu berusaha menundukkan hawa nafsu dan menahan kemarahan, agar kita terhindar dari segala keburukan.

Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh سبحانه وتعالى dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia senantiasa menganugerahkan petunjuk dan taufik-Nya kepada kita untuk memiliki sifat-sifat yang baik dan mulia dalam agama-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.


Footnote:

1 HR Muslim, no. 2603.

2 Lihat kitab Syarhu Riyâdhish Shâlihîn (1/107) dan Bahjatun Nâzhirîn (1/111).

3 Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 148.

4 HR al-Bukhâri, no. 5763 dan Muslim, no. 2609.

5 Lihat kitab Syarhu Shahîhi Muslim (16/162).

6 Kitab Faidhul Qadîr (5/358).

7 HR Muslim, no. 2664

8 Lihat kitab Syarhu Riyâdhish Shâlihîn (1/305) dan Bahjatun Nâzhirîn (1/183).

9 HR Abu Dawud, no. 4777; at-Tirmidzi, no. 2021); Ibnu Mâjah, no. 4186; dan Ahmad (3/440), dinyatakan hasan oleh imam atTirmidzi dan syaikh al-Albani.

10 Dinukil oleh al-‘Azhîm Abadi dalam kitab Aunul Ma’bûd (13/95).

11 Lihat kitab Bahjatun Nâzhirîn (1/111).

12 Kitab ar-Risâlatut Tabûkiyyah, hlm. 33

13 HR al-Bukhâri, no. 5765.

14 Keterangan imam Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 144

15 Semua ucapan di atas dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 145

16 Lihat keterangan imam Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 145

17 Lihat kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 146 dan Bahjatun Nâzhirîn (1/112)

18 HR al-Bukhâri, no. 5764 dan Muslim, no. 2610

19 Lihat kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 146

20 HR Ahmad (1/239) dan al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 245, dinyatakan shahih dengan penguatnya oleh Syaikh al-Albani رحمه الله dalam ash-Shahîhah, no. 1375

21 Lihat kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 146

22 HR Abu Dawud, no. 4782; Ahmad (5/152) dan Ibnu Hibbân, no. 5688, dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibbân dan syaikh al-Albâni.

23 Lihat kitab Bahjatun Naazhiriin (1/112).

24 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 146

25 HSR al-Bukhari, no. 3367 dan Muslim, no. 2327.

26 Lihat kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 148

27 HSR Muslim, no. 746

28 HR ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Ausath, no. 72

29 Kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 148

EDISI 03/THN XV/SYABAN 1432H/JULI 2011M

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!