Hal – Hal yang dapat membantu mengefisienkan waktu

oleh -1123 Dilihat
oleh
efisienkan waktu

Pembahasan masalah waktu atau umur, merupakan pembahasan yang sangat penting. Karena waktu atau umur ini merupakan ra’sul mâl (modal). Waktu merupakan kehidupan. Jika seseorang tidak memanfaatkan modal ini dengan baik dan benar, maka dia akan rugi. Jadi rugi atau tidaknya tergantung bagaimana kita menggunakan waktu? Apakah untuk kebaikan, beramal shalih, ketaatan kepada Allâh atau sebaliknya??!

Di antara hal-hal yang dapat membantu dalam mengefisienkan waktu yaitu:

  1. Sadar Terhadap Pentingnya Waktu Allâh عزوجل berfirman:

﴿ قٰلَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِى الْاَرْضِ عَدَدَ سِنِيْنَ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَسْـَٔلِ الْعَاۤدِّيْنَ ﴾

Dia (Allah) berfirman, ‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung.’” (QS. Al-Mu’minûn/23:112-113)

Imam Ibnul Jauzi رحمه الله berkata, “Sepatutnya bagi manusia mengetahui kemuliaan dan nilai waktunya. Dan jangan ia sia-siakan waktunya walau hanya satu menit tanpa ada ketaatan kepada Allâh.”1 Jika kita gunakan waktu itu dengan sebaikbaiknya, maka akan ada ganjaran yang banyak ba kita. Bahkan ada Ulama yang menulis kitabnya di dalam safarnya.

Semua umur ini akan ditanya oleh Allâh عزوجل , oleh karena itu jangan sampai kita tersibukan oleh dunia dan angan-angan kosong, sebagaimana orang-orang kafir. Kita disuruh untuk meninggalkan mereka, sebagaimana Allâh عزوجل menyuruh Rasûlullâh ﷺ untuk meninggalkan orang-orang kafir. Allâh عزوجل berfirman:

﴿ ذَرْهُمْ يَأْكُلُوْا وَيَتَمَتَّعُوْا وَيُلْهِهِمُ الْاَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ ﴾

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenangsenang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).” (QS. Al-Hijr/15:3)

Allâh عزوجل juga mengingatkan tentang orang-orang kafir yang menggunakan umurnya untuk berbuat dosa dan maksiat, lalu menyesal saat penyesalan itu tidak ada artinya. Allâh عزوجل mengabadikan perbuatan orang kafir dalam al-Qur’ân agar kita tidak seperti mereka. Allâh عزوجل berfirman:

﴿ حَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُوْنِ ۙ لَعَلِّيْٓ اَعْمَلُ صَالِحًا فِيْمَا تَرَكْتُ كَلَّا ۗاِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَاۤىِٕلُهَاۗ وَمِنْ وَّرَاۤىِٕهِمْ بَرْزَخٌ اِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ ﴾

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak! Sungguh itu adalah dalih yang diucapkannya saja.Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minûn/23:99-100)

Di dalam ayat tersebut, orang kafir menyesali perbuatan mereka di dunia, akan tetapi penyesalan mereka tidak artinya.

Yang disesali oleh orang-orang kafir adalah mengapa mereka tidak beriman dan tidak beramal shalih. Yang mereka minta kepada Allâh عزوجل yaitu agar dikembalikan ke dunia supaya bisa melakukan amal-amal shalih. Mereka tidak minta kepada Allâh عزوجل supaya dikembalikan jabatan, kedudukan, harta, usaha dan lainnya.

Nabi ﷺ bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ : الصِّحَّةُ وَ الفَرَاغُ

Dua nikmat, yang manusia banyak tertipu dengannya: yaitu nikmat sehat dan waktu luang.2

Ibnu Baththal رحمه الله berkata, “Makna hadits tersebut yaitu bahwa seseorang tidak disebut luang sampai dia cukup dan sehat badannya. Siapa yang memperoleh itu, maka hendaklah dia bersemangat agar tidak tertipu dengan tidak bersyukur kepada Allâh atas nikmat yang Allâh berikan kepadanya. Dan mensyukurinya yaitu dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhkan laranganlarangan-Nya. Siapa yang tidak berbuat demikian, maka dialah orang yang tertipu. Sabda Nabi ﷺ (yang artinya) ‘banyak manusia’ menunjukkan bahwa yang diberi taufi عزوجل sangat sedikit.”

Ibnul Jauzi رحمه الله berkata, “Seseorang bisa saja dia sehat tapi ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan pekerjaannya, atau memiliki waktu luang tapi tidak sehat. Jika keduanya berkumpul, lalu ia malas melakukan ketaatan, maka dialah orang yang tertipu. Dunia adalah ladang akhirat, di dalamnya ada perniagaan yang jelas keuntungannya di akhirat, siapa yang menggunakan waktu luang dan sehatnya untuk taat kepada Allâh, maka dialah yang sukses, tapi siapa yang menggunakannya dalam maksiat kepada Allâh, maka dialah yang tertipu. Karena setelah waktu luang akan datang kesibukan dan setelah sehat akan datang sakit.”

Ath-Thibi رحمه الله berkata, “Nabi ﷺ membuat perumpamaan seorang pedagang yang memiliki modal, dia mengharapkan keuntungan dengan modal yang tetap terjaga. Caranya dengan memilih orang yang bermu’amalah dengannya dan selalu jujur serta pandai agar dia tidak tertipu. Kesehatan dan waktu luang adalah modal, dan sepatutnya seseorang bermu’amalah dengan Allâh عزوجل dengan iman, berjuang melawan hawa nafsu dan musuh agama, agar dia beruntung di dunia dan akhirat.”3

Rasûlullâh ﷺ menyebutkan yang pertama nikmat sehat dan kedua waktu luang. Ada orang yang sehat tapi sibuk, ada orang yang waktunya luang tapi dia sakit. Ketika berkumpul dua nikmat ini, yaitu sehat dan waktu luang, mestinya digunakan dengan baik. Jangan sampai dua nikmat ini terbuang sia-sia.

Para Ulama menyebutkan, seorang Muslim yang terkumpul padanya dua nikmat, sehat dan waktu luang, maka sudah seharusnya ia menggunakannya untuk bersyukur kepada Allâh عزوجل , beribadah kepada-Nya, memanfaatkannya dalam ketaatan untuk meraih ridha Allâh عزوجل . Jika ia menyianyiakan, maka ia termasuk dari orang-orang yang tertipu, orang yang merugi dan orang yang bangkrut. Sebab kesehatan akan digantikan dengan sakit dan waktu luang akan digantikan dengan kesibukan. Setiap orang seperti seorang pedagang yang memiliki modal, dan modal tersebut adalah waktu. Jika kita menggunakan waktu kita untuk beribadah kepada Allâh, maka kita akan beruntung dan sukses. Dan jika tidak digunakan, maka kita akan rugi.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما , ia berkata, “Rasûlullâh ﷺ memegang kedua pundakku seraya bersabda:

كُنْ فِيْ الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ ( وَعُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ)، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظْرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ.

Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau musafir, [dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur] (pasti akan mati). Dan Ibnu ‘Umar pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.”4

Imam an-Nawawi رحمه الله (wafat th. 676 H) berkata, “Hendaknya seorang penuntut ilmu memiliki kemauan keras untuk belajar (ilmu syar’i), ia selalu dan senantiasa menggunakan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu, malam maupun siang, di saat mukim (tidak bepergian) maupun ketika safar. Ia tidak mau sedikit pun waktunya hilang sia-sia dengan tidak memperoleh ilmu, kecuali sekedar keperluan makan, tidur, dan hal-hal yang mesti ia lakukan dan juga untuk istirahat sebentar untuk menghilangkan kebosanan (kejenuhan) dan halhal yang penting lainnya. Dan tidak termasuk orang yang berakal (seorang penuntut ilmu) yang sudah ditempatkan sederajat dengan pewaris para Nabi kemudian ia menyia-nyiakan waktu, tidak digunakan untuk menuntut ilmu.”5

Rasûlullâh ﷺ juga bersabda:

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ.

Manfaatkan lima hal sebelum datang lima hal; (1) masa mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) waktu sehatmu sebelum datang sakitmu, (3) masa cukupmu sebelum datang masa fakirmu, (4) waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu dan (5) hidupmu sebelum datang matimu.6

Oleh karena itu seorang penuntut ilmu harus memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Dia tidak boleh menunda-nunda kebaikan, ketaatan, kesempatan untuk menuntut ilmu dan beramal shalih. Bila dia berada di waktu pagi, jangan tunggu waktu sore, dan bila ada pada waktu sore, jangan tunggu waktu pagi. Gunakan waktu sebaik-baiknya untuk melakukan ketaatan dan yang bermanfaat hari ini. Jangan ditunda besok, karena dia tidak tahu tentang umurnya dan apa yang menghalangi dia esok hari.

al-Hasan al-Bashri رحمه الله berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari demi hari, tatkala berlalu satu hari, maka berkuranglah umurmu.”7

Al-Khalîl bin Ahmad رحمه الله (wafat th. 160 H) berkata, “Waktu itu terbagi menjadi tiga bagian, pertama; waktu yang telah berlalu darimu tidak akan kembali. Kedua; waktu yang sedang engkau alami dan lihatlah bagaimana waktu itu akan berlalu darimu. Ketiga; waktu yang engkau tunggu, bisa jadi engkau mendapatkannya dan bisa jadi engkau tidak mendapatkannya.”8

Imam Ibnu Jamâ’ah رحمه الله (wafat th. 733 H) mengatakan, “Hendaknya seorang penuntut ilmu bersegera memanfaatkan masa mudanya dan seluruh waktu dari umurnya untuk memperoleh ilmu. Janganlah ia tergoyahkan dengan tipuan angan-angan kosong dan menunda-nunda, karena setiap jam dari umurnya akan berlalu, tidak akan pernah kembali, dan tidak dapat diganti.”9

  1. Zuhud Terhadap Dunia

Orang yang zuhud terhadap dunia dicintai Allâh عزوجل dan manusia. Nabi ﷺ bersabda:

عَنْ أَبِيْ الْعَبَّاسِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ -رضي الله عنه- قَالَ: أَتَى النَّبِيَّ ﷺ رَجُلٌ، فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللَّهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِيَ النَّاسُ. فَقَالَ رَسُوْلَ اللَّهِ ﷺ : (( ازْهَدْ فِيْ الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا فِيْ أَيْدِيْ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ )).

Dari Abul ‘Abbâs Sahl bin Sa’d as-Sâ’idi z , ia mengatakan, “Seseorang datang kepada Nabi ﷺ lalu mengatakan, ‹Wahai Rasûlullâh, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku kerjakan, maka Allâh mencintaiku dan manusia pun mencintaiku.› Beliau ﷺ bersabda, ‹Berlaku zuhudlah di dunia, maka Allâh akan mencintaimu, dan berlaku zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu.’”10

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله mengatakan, “Makna zuhud yang sesuai dengan syari’at adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat dan hatinya yakin serta percaya dengan apa yang ada di sisi Allâh عزوجل ”11

Seorang Muslim tidak boleh terpedaya dan tidak boleh tertipu dengan gemerlapnya dunia yang fana dan fatamorgana. Allâh E berfirman:

﴿ كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ ﴾

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”(QS. Ali ‘Imrân/3:185)

﴿ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۗ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ ﴾

Wahai manusia! Sungguh, janji Allâh itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh.” (QS. Fâthir/35:5)

Yang wajib diingat, bahwa dunia ini bukanlah tujuan hidup, akan tetapi sebagai sarana dan ladang untuk melakukan amal shalih. Tujuan hidup seorang Mukmin adalah surga di akhirat.

Meski demikian, seorang Muslim wajib mencari nafkah untuk membiayai hidupnya, keluarganya, untuk dikeluarkan zakatnya, sedekah, menolong orang-orang yang susah dan juga untuk membiayai ibadah umrah, haji, dan amal-amal kebaikan lainnya.

Tapi ingat, jangan sampai mencari nafkah menghabiskan waktu belasan jam! Banyak orang yang kerja, dagang, mencari nafkah menghabiskan waktunya untuk itu. Ingat, kita memiliki kewajiban-kewajiban lain yang wajib kita kerjakan. Seorang Muslim harus bersikap zuhud terhadap dunia, karena dengan bersikap zuhud, hati seorang Mukmin akan menjadi lapang dan bahagia.

  1. Senantiasa Mengingat Kematian

Di antara perkara yang dapat membantu kita dalam memanfaatkan waktu yaitu banyak mengingat kematian dengan hati, lisan, dan pikiran. Karena kematian adalah akhir yang pasti didapati seluruh makhluk bernyawa, pemisah antara kehidupan dunia dan alam barzakh. Jika seseorang sering mengingat kematian, bersemangat dalam urusan akhirat, maka dia akan masuk ke dalam orang-orang yang berlomba dalam kebaikan dan amalan shalih.

Tetapi jika hati seseorang lalai dari mengingat kematian, melupakan kepergiannya dari dunia ini, maka dia akan menjadi keras dan bermalasmalasan dari ketaatan.

Rasûlullâh ﷺ bersabda:

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ (يَعْنِيْ الْمَوْتُ).

Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian).12

Diriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Umar رضي الله عنهما , “Aku sedang bersama Rasûlullâh ﷺ , kemudian datang seorang laki-laki Anshar, lalu ia mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ dan bertanya:

يَارَسُوْلَ اللَّهِ، أَيُّ المُؤْمِنِيْنَ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: (أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا). قَالَ: فَأَيُّ المُؤْمِنِيْنَ أَكْيَسُ؟ قَالَ : ( أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اِسْتِعْدَادًا، أُوْلَئِكَ الأَكْيَاسُ).

Wahai Rasûlullâh, siapa orang Mukmin yang paling utama?’ Rasûlullâh ﷺ menjawab, “Orang yang paling baik akhlaknya.’Orang tersebut bertanya lagi, ‘Lalu siapa orang Mukmin yang paling cerdas?’Beliau ﷺ menjawab, ‘Orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk menghadapi apa yang terjadi setelahnya.Mereka itulah orang yang paling cerdas.’”13

Orang Mukmin yang pintar adalah orang yang selalu ingat kepada kematian dan paling baik mempersiapkan untuk akhirat, karena seorang Mukmin benar-benar yakin bahwa dia pasti akan mati dan pasti kembali kepada Allâh. Karena itu dia selalu mempersiapkan bekal dengan takwa kepada Allâh dan melakukan amal shaleh sebaik-baikya dengan ikhlas dan mengikuti contoh Rasûlullâh ﷺ .

Maka renungkanlah, bagaimana saat seseorang di akhirat nanti diperlihatkan semua apa yang dilakukannya di dunia. Kemudian dia menyesal dan merugi atas hari-hari yang dilaluinya tanpa ketaatan kepada Allâh ﷺ .

  1. Takut Kepada Allâh

Di antara faktor yang dapat membantu seorang Muslim dalam mengefisienkan waktunya yaitu adanya perasaan takut kepada Allâh. Takut kepada Allâh عزوجل akan mendorong seorang hamba untuk berlindung hanya kepada-Nya dan memperbanyak amalan kebaikan serta senantiasa taat kepada-Nya.

  1. Muhâsabah (Mengintrospeksi)

Diri Muhâsabah diri adalah manhajnya orangorang shalih, jalannya orang-orang jujur, bekalnya orang-orang yang bertakwa, dan modalnya orang-orang yang menang di surga yang penuh nikmat.

Allâh عزوجل memerintahkan kepada kita agar muhâsabah diri kita, Allâh عزوجل berfirman:

﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ﴾

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allâh dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allâh. Sungguh, Allâh Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr/59:18)

Imam Ibnu Katsir رحمه الله saat menafsirkan ayat ini mengatakan, “Yaitu hisab (hitung)lah diri kalian sebelum kalian dihisab dan lihatlah apa yang telah kalian simpan untuk diri kalian dari amalanamalan shaleh untuk hari kalian dikembalikan dan dihadapkan kepada Rabb kalian.”14

Ibnul Qayyim رحمه الله berkata, “Seorang hamba akan dipertanggungjawabkan dan dihisab atas segala sesuatu, termasuk pendengaran, penglihatan, dan hatinya, sebagaimana Allâh berfirman, yang artinya, “…Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isrâ’/19:36)

Maka wajib baginya untuk menghisab dirinya sebelum dia dihisab.”15

  1. Berdoa kepada Allâh سبحانه وتعالى agar diberi taufik menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya

Bisa memanfaatkan waktu dalam ketaatan adalah sebuah karunia dari Allâh عزوجل . Allâh عزوجل memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki dan memudahkan jalannya. Karena itulah, mintalah kepada Allâh عزوجل dengan hati yang tunduk, lisan yang jujur, dan anggota tubuh yang khusyu’ agar kita dikaruniai taufi عزوجل dalam menjaga waktu kita.

Allâh عزوجل memerintahkan kepada kita untuk berdo’a kepada-Nya, Allâh عزوجل berfirman:

﴿ وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ ࣖ ﴾

Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguh-nya orangorang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.’” (QS. Ghâfir/40: 60)

Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ

Tidak ada yang lebih mulia atas Allâh dari pada do’a.16

  1. Memupuk Semangat yang Tinggi

Di antara wasilah yang dapat menjaga waktu kita yaitu memotivasi diri untuk menyukai perkaraperkara mulia, serta menjauhi perkara-perkara yang rendah dan sepele. Diantara perkara mulia yaitu menghabiskan waktu untuk melakukan amalan-amalan shalih.

Jika kita memperhatikan nash-nash syari’at, kita dapati nash-nash tersebut banyak menganjurkan agar bersemangat dan menyeru untuk berlombalomba memperbanyak amalan-amalan shalih, serta menyeru untuk tidak puas dengan ketaatan yang sedikit dan pendekatan diri kita kepada Allâh عزوجل .

Ini adalah perkara yang wajar, karena agama Islam adalah agama yang agung, yang tidak diamalkan dan ditolong kecuali oleh orang-orang yang memiliki semangat tinggi dan keinginan yang kuat. Adapun orang-orang malas, tidak ada kans bagi mereka dalam mengamalkan agama ini.

Allâh عزوجل berfirman ketika menjelaskan sifat-sifat para hamba-Nya yang shalih dan memiliki semangat yang tinggi serta keinginan yang tulus dalam ketaatan:

﴿ … اِنَّهُمْ كَانُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًاۗ وَكَانُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ ﴾

“…Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. AlAnbiyâ’/21:90)

Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى كَرِيْمٌ، يُحِبُّ الْكَرَمَ وَمَعَالِيْ الأَخْلَاقِ وَيُبْغِضُ سِفْسَافَهَا.

Sesungguhnya Allâh itu Maha Mulia, Allâh menyukai kemuliaan dan perkara-perkara yang tinggi (mulia) dan membenci perkara-perkara yang rendah (hina)17

Nabi ﷺ juga bersabda,

المُؤْمِنُ الْقَوْيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَ اسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ ….

Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah…18

Jika ada seseorang yang bertanya, “Apa sebab-sebab yang dapat mendorong untuk memiliki semangat dan keinginan yang kuat?”

Maka dijawab: Sebab-sebabnya banyak, di antaranya:

  1. Membaca al-Qur’ân dan hadits-hadits Nabi ﷺ .
  2. Membaca kisah-kisah orang-orang shalih terdahulu dan kesungguhan mereka dalam ketaatan serta mereka berlomba-lomba dalam kebaikan.
  3. Meninggalkan keingintahuan dan segala hal yang tidak bermanfaat.
  4. Berdo’a kepada Allâh dan tawakkal (bersandar) kepada-Nya.
  5. Membaca dan mengingat tentang keadaan hari Kiamat, surga dan neraka.
  6. Memaksa diri untuk melaksanakan ketaatan dan sabar terhadapnya.
  7. Istiqamah dan kontinyu dalam melakukan amalan shalih walaupun sedikit.
  8. Selalu berpikir (yang bermanfaat) untuk melaksanakan ketaatan.19

 

  1. 8. Menyadari Bahaya Waktu yang Kosong

Allâh سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ وَاَنِيْبُوْٓا اِلٰى رَبِّكُمْ وَاَسْلِمُوْا لَهٗ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُوْنَ وَاتَّبِعُوْٓا اَحْسَنَ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَّاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ ۙ اَنْ تَقُوْلَ نَفْسٌ يّٰحَسْرَتٰى عَلٰى مَا فَرَّطْتُّ فِيْ جَنْۢبِ اللّٰهِ وَاِنْ كُنْتُ لَمِنَ السّٰخِرِيْنَۙ اَوْ تَقُوْلَ لَوْ اَنَّ اللّٰهَ هَدٰىنِيْ لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ ۙ ﴾

Dan kembalilah kamu kepada Rabb-mu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (alQur’ân) dari Rabb-mu sebelum datang adzab kepadamu secara mendadak, sedang kamu tidak menyadarinya, agar jangan ada orang yang mengatakan, “Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allâh, dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allâh)”, atau (agar jangan) ada yang berkata, ‘Sekiranya Allâh memberi petunjuk kepadaku tentulah aku ter-masuk orang-orang yang bertakwa.”(QS. AzZumar/39: 54-57)

Nabi ﷺ bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ : الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ

Dua nikmat, yang manusia banyak tertipu dengannya: yaitu nikmat sehat dan waktu luang20

  1. Menyadari Bahwa Waktu Sangat Cepat Berlalu.

Di antara ciri-ciri waktu yaitu:

  • Waktu adalah hal paling berharga yang dimiliki oleh manusia.
  • Waktu sangat terbatas.
  • Waktu yang sudah berlalu tidak akan bisa kembali.
  • Waktu berlalu dengan sangat cepat.

Allâh عزوجل berfirman:

﴿ نَحْنُ اَعْلَمُ بِمَا يَقُوْلُوْنَ اِذْ يَقُوْلُ اَمْثَلُهُمْ طَرِيْقَةً اِنْ لَّبِثْتُمْ اِلَّا يَوْمًا ࣖ ﴾

Kami lebih mengetahui apa yang akan mereka katakan, ketika orang yang paling lurus jalannyamengatakan, ‘Kamu tinggal (di dunia), tidak lebih dari sehari saja.’” (QS. Thâhâ/20:104)

﴿ …… كَاَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوْعَدُوْنَۙ لَمْ يَلْبَثُوْٓا اِلَّا سَاعَةً مِّنْ نَّهَارٍ ۗ …﴾

Mereka merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari (QS. Al-Ahqâf/46: 35)

﴿ قٰلَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِى الْاَرْضِ عَدَدَ سِنِيْنَ * قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَسْـَٔلِ الْعَاۤدِّيْنَ * قٰلَ اِنْ لَّبِثْتُمْ اِلَّا قَلِيْلًا لَّوْ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ﴾

Dia (Allah) berfirman, ‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’Mereka menjawab, ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung.’Dia (Allah) berfirman, ‘Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar saja, jika kamu benar-benar mengetahui. (QS. Al-Mu’minûn/23:112-114)

Yahya bin Hubairah al-Baghdadi (wafat th. 560 H) berkata:

وَالوَقْتُ أَنْفَسُ مَا عُنِيْتَ بِحِفْظِهِ

وَأَرَاهُ أَسْهَلَ مَا عَلَيْكَ يَضِيْعُ

Waktu adalah hal yang paling berharga untuk engkau jaga Dan aku melihat waktu itulah yang paling mudah hilang.21

Dan wajib diingat bahwa waktu yang sudah berlalu (lewat) tidak akan kembali. Maka gunakanlah waktu sebaik-baiknya, karena ia sangat cepat berlalu.

Imam asy-Syâfi ’i رحمه الله berkata, “Aku bergaul dengan orang sufi , aku tidak mengambil manfaat dari mereka kecuali hanya dua kalimat saja, aku mendengar mereka berkata, ‘Waktu bagaikan pedang, jika engkau tidak memotongnya maka dia akan memotongmu. Jika engkau tidak menyibukkan dirimu dengan kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dengan kebatilan.’”22

  1. Mengenal Metode Orang-Orang Shalih dalam Memanfaatkan Waktu.

Allâh عزوجل berfirman:

﴿ وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ ﴾

Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.” (QS. Hûd/11:120)

Al-Hasan al-Bashri رحمه الله berkata, “Aku mendapati kaum yang setiap orang dari mereka lebih pelit terhadap umurnya (waktunya) daripada terhadap hartanya.”23

Ahmad bin Ali berkata kepada ‘Abdurrahman bin Abi Hâtim ar-Râzi رحمه الله , “Apa penyebab engkau banyak mendengar hadits dari bapakmu dan banyak bertanya kepadanya?” Maka ‘Abdurrahman menjawab, “Ketika beliau sedang makan, aku membacakan hadits, ketika beliau berjalan, aku membacakan hadits, ketika beliau mau masuk ke kamar mandi, aku membacakan hadits, dan ketika beliau masuk rumah untuk mencari sesuatu, aku membacakan hadits.”24

Muhammad bin ‘Abdul Baqi رحمه الله (wafat th. 535 H) mengatakan, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah berlalu dari umurku untuk bermain-main dan berbuat yang sia-sia.”25

Ada riwayat yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan kesungguhan para Ulama dalam menggunakan waktu. Yaitu riwayat yang disebutkan Imam adz-Dzahabi رحمه الله tentang Dawud bin Abi Hindun رحمه الله (wafat th. 139 H). Dawud berkata, “Ketika kecil aku berkeliling pasar. Ketika pulang, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allâh عزوجل hingga tempat tertentu. Jika telah sampai tempat itu, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allâh عزوجل hingga tempat selanjutnya… hingga sampai di rumah.”26 Tujuannya adalah menggunakan waktu dari umurnya.

Bahkan di antara bukti semangat para Ulama terdahulu dalam memanfaatkan waktu mereka, mereka menyedikitkan waktu makan dan berusaha menguranginya seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan.

Al-Hâfizh adz-Dzahabi رحمه الله berkata, “Al-Khatib al-Bahgdadi رحمه الله (wafat th. 463 H) jika berjalan, di tangannya ada satu kitab yang ia baca.”27Beliau رحمه الله melakukan itu untuk menjaga waktunya dan menggunakan waktunya agar tidak pergi dengan tangan kosong tanpa mengambil dan mendapat manfaat dari ilmu.

Mereka menghabisan waktunya dalam ketaatan, tidak menyia-nyiakannya walaupun satu jam. Sehingga mereka keluar dari dunia dengan membawa bekal yang paling utama. Mudahmudahan Allâh mengampuni dosa-dosa mereka dan merahmati mereka. Mudah-mudahan mereka berbahagia saat hari Kiamat nanti.

Telah banyak riwayat yang menceritakan bahwa para Ulama membaca buku dalam perjalanan mereka, walaupun seseorang yang berjalan membutuhkan konsentrasi antara melihat buku dan jalanan di depannya. Zaman sekarang ini, transportasi telah berkembang, perjalanan dapat menggunakaan mobil, bis, kereta, dan pesawat. Hendaklah para penuntut ilmu memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk berdzikir, tilawah, belajar, mengingat pelajaran, dan membaca buku. Orang yang tertipu adalah orang yang menyia-nyiakan waktu tersebut dengan pembicaraan tak karuan dan tidak bermanfaat.28

  1. Merasa di Awasi oleh Allâh

Allâh عزوجل berfirman:

﴿ ….. وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ ﴾

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allâh Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadîd/57:4)

Mengenai ayat di atas, al-Hâfizh Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Maksudnya, Allâh عزوجل senantiasa mengawasi kalian dan menyaksikan amal perbuatan kalian, bagaimana pun keadaan kalian dan di mana saja kalian berada, baik di daratan maupun di lautan, siang maupun malam, di rumah ataupun di padang pasir. Semua itu berada dalam pengetahuan, pengawasan, dan pendengaran-Nya. Dia senantiasa mendengar ucapan kalian, melihat tempat kalian, serta mengetahui rahasia kalian.”29

Tidak diragukan lagi bahwa Allâh عزوجل memiliki sifat yang tinggi. Sungguh, Rabb Pemilik langit dan bumi adalah Dzat Yang Maha Mengetahui, senantiasa mengawasi hamba-Nya, dan paling keras siksa dan hukuman-Nya. Apabila seorang hamba yang lemah memperhatikan bahwa Rabb-nya senantiasa mengetahui perkataan, perbuatan, dan niatnya, maka hatinya akan menjadi lembut, merasa takut kepada Allâh عزوجل , dan berusaha memperbaiki amalnya semata-mata karena Allâh سبحانه وتعالى . 30

  1. Harus Menentukan Tujuan dalam Menggunakan Waktu dan Juga Menargetkan Kapan Harus Diselesaikan.

Diantara wasilah yang dapat membantu seseorang dalam menjaga waktu, yaitu ketika akan tidur malam, hendaknya berusaha menuliskan amalan-amalan dan kepentingan serta ketaatan yang akan ia lakukan besok. Catatan ini hanya untuk dirinya saja, tidak boleh diketahui oleh orang lain, khawatir akan timbul rasa ‘ujub dan riya’. Dan cara mencatat seperti ini memiliki beberapa faidah, diantaranya:

  1. Mengobati penyakit lupa yang banyak terjadi pada manusia dan menyebabkan mereka meremehkan amalan-amalan yang penting, karena mereka melupakannya dan tidak terlintas sedikit pun dalam benaknya.
  2. Merupakan cara untuk mengatur waktu agar tidak hilang begitu saja. Karena setelah menulis seperti itu, seseorang akan merasa bahwa di dunia ini dia tidak bergerak sembarangan, tetapi dia memiliki kewajiban-kewajiban dan kepentingan yang harus dikerjakannya.
  3. Dengan melihat ke kertas tersebut yang penuh dengan ketaatan dan amalan-amalan, maka seseorang akan merasa pentingnya dan berharganya waktu. Karena ketika itu, ia akan mendapati bahwa kebutuhan dan kepentingan lebih banyak dari pada waktu yang ada, jadi dengan begitu tumbuhlah semangat yang kuat dalam menjaga waktu, sehingga dia tidakmenyianyiakannya dalam hal yang tidak bermanfaat.
  4. Menulis perencanaan seperti ini akan membantu seseorang untuk melaksanakan kepentingan dan amalan-amalan yang berkaitan dalam satu waktu dan satu kesempatan. Ini membuat waktu seseorang menjadi berharga.
  1. Menjauhi Majelis yang Menyia-Nyiakan Waktu

Hendaknya seorang Muslim menjauhi banyak berbicara, berceloteh, dan bers enda gurau dalam perkara-perkara yang sepele dan tidak bermanfaat. Karena banyak orang-orang pada masa sekarang ini yang lalai terhadap waktunya dan menghabiskannya dalam perkara yang tidak bermanfaat.

Rasûlullâh ﷺ bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ

Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.31

Sudah menjadi hal biasa yang kita lihat sekarang ini, orang-orang berkumpul di rumah mereka, atau tempat kerja, atau di pasar, kios, atau di mobil, bahkan terkadang di masjid, pondok pesantren, di tempat kajian serta sebelum dan sesudah ta’lim, mereka menghabiskan waktu lama dalam obrolan, berceloteh, dan bersenda gurau. Ada juga yang menghabiskan waktu dengan majlas dan samara (kumpul-kumpul dan ngobrol-ngobrol) yang tidak ada manfaatnya. Padahal jika dilihat, bisa jadi yang mereka obrolkan adalah perkara-perkara yang haram seperti ghîbah (menggunjing), namîmah, gosip, menuduh orang, fitnah, dan lainnya.

Maka ketahuilah, bahwa banyak berbicara dan bersenda gurau dapat membuat hati menjadi keras, merusak pikiran, melemahkan semangat, dan mencerai-beraikan keinginan. Karena itulah ketika ‘Uqbah bin ‘Amir رضي الله عنه bertanya kepada Rasûlullâh ﷺ , “Apa itu keselamatan?” Maka Rasûlullâh ﷺ menjawab:

أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ.

Jagalah olehmu lisanmu, lapangkanlah rumahmu, dan tangisilah dosa-dosamu32

Rasûlullâh ﷺ juga bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.

…Dan barangsiapa yang beriman kepada Allâh dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. 33

  1. Jangan Menunda-Nunda Hal yang Bisa Dilakukan Sekarang dan Bergegas Melakukan Ketaatan

Jika seseorang mampu melakukan ketaatan, atau melakukan suatu amalan kebaikan, maka hendaklah ia bersegera dalam melakukannya, tidak ditunda, seperti ia mengatakan, “Saya akan melakukannya di waktu lain.” Atau mengatakan, “Saya akan melakukannya nanti saja.” Atau “Saya akan melakukannya besok.”Atau “Saya akan sedekah besok.” Atau “Saya akan ngaji pekan depan.” Atau “Saya akan umrah tahun depan.”Kalau ada waktu dan harta kenapa ditunda?! Dan semua perkataanperkataan di atas merupakan pintu masuk setan untuk memalingkan manusia dari berbuat kebaikan. Sehingga waktunya terbuang sia-sia tanpa ada manfaatnya.

Allâh عزوجل berfirman, yang artinya, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imrân/3:133)

Allâh سبحانه وتعالى juga berfirman ketika menyifati orang-orang Mukmin:

﴿ اُولٰۤىِٕكَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَهُمْ لَهَا سٰبِقُوْنَ ﴾

Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya. (QS. Al-Mu’minûn/23:61)

Rasûlullâh ﷺ bersabda:

 بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ المُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنِهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدٌّنْيَا

Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih (sebelum datangnya) fitnah-fitnah seperti potongan malam yang gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir karena ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi (yang sedikit).34

Al-Hasan al-Bashri رحمه الله berkata, “Umar رضي الله عنه menulis kepada Abu Musa al-Asy’ari رضي الله عنه : Amma ba’du. Sesungguhnya kekuatan dalam amal yaitu engkau tidak menunda pekerjaan hari ini ke hari esok. Karena jika engkau berbuat demikian, maka pekerjaan-pekerjaan itu akan banyak dan menumpuk, lalu engkau tidak tahu mana yang harus dikerjakan lebih dahulu, dan akhirnya hilanglah waktumu.”35

Jangan sekali-kali menunda amal shaleh yang dapat kita lakukan hari ini. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari.

  1. Tidak Berlebihan Dalam Segala Sesuatu Ada empat racun hati, yaitu berlebihan dalam berbicara, memandang, makan dan berlebihan dalam bergaul.

a) Berlebihan dalam bicara

Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ، فَاليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allâh dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam36 Orang yang banyak bicaranya, banyak salahnya, dan kesalahan-kesalahannya itu dapat merusak dan membuat hatinya sakit.

b) Berlebihan dalam makan

Allâh سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ ….. وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ ﴾

“…Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allâh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’râf/7:31)

Orang yang banyak makan akan banyak tidur, lalai dan malas belajar, malas mengaji, dan malas beribadah kepada Allâh عزوجل .

c) Berlebihan dalam memandang

Nabi ﷺ berpesan kepada ‘Ali bin Abi Thâlib رضي الله عنه :

يَا عَلِيْ! لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ، فَإِنَّ لَكَ الأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ

Wahai ‘Ali! Janganlah engkau mengikuti satu pandangan dengan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu. 37

Memandang dan melihat sesuatu yang diharamkan, menonton televisi, fi lm, membaca koran, majalah, dan buku-buku porno semuanya akan merusak hati, akal dan agama seseorang. Yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim dan Muslimah bahwa acara-acara televisi dan fi lm-fi lm yang ada dan disaksikan oleh kebanyakan orang sekarang ini acaranya 90% lebih adalah tontonan yang tidak bermanfaat, lebih merusak hati, dan agama.

d) Berlebihan dalam bergaul

Tentang bergaul, Rasûlullâh ﷺ bersabda:

المَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَالْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung dari agama sahabat karibnya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian memperhatikan dengan siapa ia bersahabat karib.38

Orang yang pandai bergaul adalah orang yang bergaul dengan orang-orang yang dapat menyelamatkan dirinya dari kemurkaan dan siksa Allâh عزوجل . Dia bergaul dengan orang-orang shalih (baik) yang akan membawa dirinya pada ketaatan. Maka, pandai-pandai-lah dalam memilih teman agar kita selamat dunia dan akhirat.

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan, “Berkumpul bersama teman itu terbagi dua; salah satunya adalah berkumpul untuk kesenangan dan menghabiskan waktu, maka hal ini bahayanya lebih besar dari manfaatnya, minimal hal ini akan merusak hati dan menyianyiakan waktu. Dan yang kedua berkumpul bersama mereka untuk saling bekerja sama dalam meraih kesuksesan hidup dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Hal ini termasuk perbuatan yang paling mulia dan ber-manfaat, namun menimbulkan tiga bahaya: saling berbasa-basi, banyak berbicara, dan berkumpul lebih dari kebutuhan. Hal ini akan menjadi kecenderungan hati dan kebiasaan sehingga menghalangi tujuan utamanya…”39

Mudah-mudahan bermanfaat.

Footnote:

1 Shaidul Khâthir (hlm. 26), tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.

2 Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258, 344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306), dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbâs z

3 Fat-hul Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (XI/230)

4 Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6416), Ahmad (II/24, 41), at-Tirmidzi (no. 2333), Ibnu Majah (no. 4114), ‘Abdullah Ibnul Mubârak dalam kitab az-Zuhd (no. 11), al-Baihaqi dalam Syu’abul Îmân (no. 10059), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (I/387, no. 1105), dan alBaghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/230, no. 4029). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1157).Kalimat di dalam tanda kurung [ ] tidak terdapat dalam riwayat al-Bukhâri.

5 Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab (I/37), cet. Daarul Fikr.

6 Shahih: HR. Al-Hâkim (IV/306) dari Sahabat Ibnu ‘Abbâsz. Beliau menshahihkannya, disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam takhrij hadits Iqtidhâul Ilmil ‘Amal (no. 170).

7 Hilyatul Auliyâ (II/148).

8 Thabaqât al-Hanâbilah (I/288).Dinukil dari kitab Ma’âlim fi i Tharîq Thalabil ‘Ilmi (hlm. 35-36).

9 Tadzkiratus Sâmi’ wal Mutakallim (hlm. 114-115), tahqiq asSayyid Muhammad Hasyim an-Nadwi.

10 Hasan: HR. Ibnu Majah (no. 4102), dari Sahabat Sahl bin Sa’d as-Sa’idi z . Dishahihkan oleh al-Hâkim (IV/ 313).Hadits ini dihasankan oleh al-Hafi zh al-‘Iraqi dalam kitab al-’Amali dan Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkâr. Imam as-Suyuthi juga menshahihkannya dalam kitab al-Jâmi’ush Shaghîr. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahîhah (no. 944) dan ash-Shahîhul Jâmi’ (no. 922).

11 Majmû’ al-Fatâwâ (X/641).

12 Hasan Shahih: HR. Ahmad (II/293), at-Tirmidzi (no. 2307), dan Ibnu Majah (no. 4258), an-Nasa-i (IV/301), dari Sahabat Abu Hurairah z .

13 Hasan: HR. Ibnu Majah (no. 4259) dan ath-Thabrani dalam alMu’jamul Ausath (V/340, no. 4668). Dihasankan oleh Syaikh alAlbani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1348).

14 Tafsîr Ibni Katsîr (VIII/77), cet. Daar Thaybah.

15 Ighâtsatul Lahfân (I/167), tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

16 Shahih: HR. Ahmad (II/362), at-Tirmidzi (no. 3370), Ibnu Majah (no. 3829), dari Sahabat Abu Hurairah z . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîhul Jâmi’ (no. 5392)

17 Shahih: HR. Al-Hâkim (I/48), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (III/255 dan VIII/133), dari Sahabat Sahl bin Sa’d z . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ashShahîhah (no. 1378).

18 Shahih: HR. Muslim (no. 2664), Ahmad (II/366, 370), Ibnu Majah (no. 79, 4168), An-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627), At-Thahawi dalam Syarh Musykilul Âtsâr (no. 259, 260, 262), Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356), dari Sahabat Abu Hurairah z . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât (no. 5228).

19 125 Tharîqah Lihifzhil Waqti (hlm. 45), Muhammad bin Shalih bin Ishaq.

20 Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258, 344), ad-Darimi (II/297), al-Hâkim (IV/306), dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas z .

21 Dinukil dari Qîmatuz Zamân ‘indal ‘Ulamâ(hlm. 41).

22 Madârijus Sâlikîn (III/134).

23 Syarhus Sunnah (XIV/225), Imam al-Baghawi.

24 Siyar A’lâmin Nubalâ` (XIII/250-251).

25 Siyar A’lâmin Nubalâ` (XX/26).

26 Siyar A’lâmin Nubalâ`’ (VI/378).

27 Tadzkiratul Huffâzh (III/1141).

28 Qîmatuz Zamân ‘indal ‘Ulamâ (hlm. 93).

29 Tafsîr Ibni Katsir (VIII/9), cet. Daar Thaybah.

30 Lihat at-Taqwa al-Ghâyatul Mansyûdah (hlm. 38-39) dengan ringkas.

31 Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976), Ibnu Hibbân (no. 229–At-Ta’lîqâtul Hisân), dan selainnya dari Sahabat Abu Hurairah z .

32 Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2406). Dihasankan oleh Syaikh alAlbani dalam ash-Shahîhah (no. 890).

33 Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6018, 6138), Muslim (no. 47), dan atTirmidzi (no. 2500), dari Abu Hurairah z

34 Shahih: HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/303-304, 523), Ibnu Hibbân (no. 1868-Mawârid), dan selainnya dari Abu Hurairah z .

35 Al-Khutab wal Mawâ’izh (hlm. 204), Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam. Dinukil dari Qîmatuz Zaman (hlm. 46-47).

36 Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 6018, 6138), Muslim (no. 47), dan atTirmidzi (no. 2500), dari Sahabat Abu Hurairah z

37 Hasan: HR. Abu Dawud (no. 2149) dan at-Tirmidzi (no. 2777).

38 Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4833), at-Tirmidzi (no. 2378), Ahmad (II/303, 334), dan al-Hâkim (IV/171). Lihat ash-Shahiihah (no. 927).

39 Al-Fawâ-id (hlm. 63) dan Fawâ-idul Fawâ-id (hlm. 447). Lihat juga Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hlm. 38-39).

Majalah As-Sunnah Edisi Khusus [03-04]/Thn XVIII/Ramadhan-Syawwal 1435H/Juli-Agustus 2014M

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!