BAHASAN MAJALAH AS-SUNNAH BASI?

oleh -1025 Dilihat
oleh

BAHASAN MAJALAH AS-SUNNAH BASI?

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Saya sering mendengar langsung dari pembaca majalah As-Sunnah beberapa tanggapan yang berkaitan dengan isi majalah ini. Menurut mereka, majalah ini hanya memuat masalah-masalah yang sudah basi, seperti sunnah, bid’ah, khurafat, syirik, dan tauhid asma’ wa sifat. Padahal –menurut mereka- masih banyak pembahasan lain yang lebih penting dari masalah-masalah tadi.
Di samping itu, pembahasan yang mengoreksi kebiasaan orang Islam hanya akan mengundang polemik dan keributan di kalangan kaum Muslimin yang sudah terbiasa dengan amalan tertentu, bahkan mengundang ketersinggungan mereka.
Maka dengan surat ini, saya memohon kepada redaksi majalah As-Sunnah supaya ditanggapi dan dijelaskan.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

  1. Dahri: dahrika@hotmail.com

JAWAB

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Terus terang saja, tanggapan sebagian pembaca seperti yang antum ceritakan, sudah kami duga dan memang itulah salah satu tantangan kami, bahkan tantangan dakwah salafiyah secara umum. Orang-orang yang tidak mengerti (atau tidak mau mengerti?) ini telah meletakkan segala sesuatu serba terbalik. Yang penting dianggap tidak penting, yang bid’ah dianggap tidak mengapa, yang membuat keributan dianggap wajar-wajar saja, yang benar/haq dianggap memecah belah umat, yang sunnah dianggap salah, yang tidak pokok justeru dianggap pokok dan sangat penting dan seterusnya. Mengapa demikian? Sebab mereka tidak mengerti agama secara benar.
Padahal kalau orang mau memahami dengan benar dan memperhatikan dengan saksama, akan dapat menarik kesimpulan –insya Allah-, bahwa Islam pada hakikatnya bertumpu pada tauhid yang meliputi tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wa sifat, bertumpu pada ikhlas dan ittiba’ dalam beribadah kepada Allah. Nah, karena itulah pembahasan kita tidak pernah lepas dari masalah ini, sebagai upaya kami dalam berittiba’ kepada Nabi ﷺ dan upaya kami untuk peduli umat serta saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaKwaan.
Bukankah selama tiga belas tahun pertama Rasulullah ﷺ mendakwahkan tauhid? Di mana-mana dan kapanpun yang beliau dakwahkan adalah mengajak orang supaya menyembah Allah saja dan meninggalkan berhala. Bahkan sampai menjelang wafatpun, beliau tidak lupa mengingatkan para Sahabat dan umatnya untuk jangan sampai menyembah kubur. Mengapa? Karena hidup manusia hakikatnya untuk mentauhidkan Allah saja.
Ketika Rasulullah ﷺmengirim Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai da’i, yang beliau jadikan sebagai skala prioritas utamapun adalah tauhidullah. Silahkan periksa dalam hadits-hadits shahih tentang itu.
Apakah sekarang umat Islam tidak membutuhkan dakwah semacam ini, padahal mereka kini banyak yang tidak memahami masalah tauhid?
Sama halnya dengan masalah tauhid Asma’ wa Sifat, di sana banyak kaum Muslimin yang pemahamannya juga salah. Lalu apakah kesalahan itu harus dibiarkan saja, padahal salah dalam memahami Asma’ wa sifat bisa berakibat fatal? Para Ulama salaf menyimpulkan bahwa barangsiapa yang mengatakan “al-Qur’an Makhluk” adalah kafir, karena berarti telah menganggap bahwa semula Allah tidak berbicara, kemudian ketika ingin menyampaikan al-Qur’an, Dia menciptakan kalam dengan bahasa al-Qur’an (bahasa Arab). Berarti mula-mula Allah tidak memiliki sifat kalam? Itulah paham Mu’tazilah, yang kini banyak melanda umat. Apakah hukum kufur seperti ini dianggap remeh? Tentu tidak boleh.
Allah berfirman :

وَللهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا، وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Hanya milik Allah Asma’ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka memohonlah kepada Allah dengan menyebut asma’ (nama-nama) itu. Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (memahami) nama-nama (dan sifat-sifat)-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (al-A’raf : 180)
Maksudnya, orang-orang yang sesat pemahamannya dalam masalah asma’ wa sifat diancam akan mendapat hukuman dari Allah kelak di akhirat. Nah apakah hal yang seperti ini boleh diabaikan?.
Kemudian, lawan kata dari tauhid adalah syirik. Otomatis ketika kita membahas tauhid, kitapun membahas syirik supaya kita jangan sampai terjerumus dalam kemusyrikan. Justeru kita mengetahui bahwa mayoritas umat Islam Indonesia terjerumus dalam perbuatan-perbuatan syirik, maka kita bahas masalah syirik. Apakah kita boleh menutup mata ketika melihat kenyataan ini? Tentu tidak.
Sunnah dan bid’ahpun harus kita bahas, karena kita harus ittiba’ Nabi ﷺ .
Nabi ﷺ bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak termasuk di dalamnya, maka ia tertolak (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu pula pembahasan-pembahasan lain yang dianggap basi. Semua itu justeru persoalan penting yang kaum Muslimin tidak boleh mengabaikannya. Sebab persoalan-persoalan itu merupakan hakikat Islam.
Bagaimana kita tega, membiarkan kaum Muslimin tersesat sementara mereka tidak menyadarinya?. Manusiawikah kita, jika mengabaikannya?
Bertanggung jawabkah kita, jika membiarkan kaum Muslimin karena kesalahannya masuk ke dalam neraka?.
Jadi kritik-kritik/koreksi yang kami lakukan terhadap kesalahan kaum Muslimin, sebenarnya merupakan bentuk ta’awun ‘alal birri wat taqwa dan itulah salah satu kepedulian kami.
Kamipun siap dikritik bila kami salah. Kita harus saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan saling ingat mengingatkan dalam kesabaran. Bukankah demikian yang diperintahkan Allah dalam surat al-‘Ashr?
Selanjutnya, kami tetap akan memperhatikan pembahasan-pembahasan lain selain masalah di atas sesuai dengan skala prioritas dan sesuai dengan kemampuan kami –insya Allah-.
Akhirnya kami mengajak kepada semua fihak, marilah kita menjadi orang yang ikhlas dan ittiba’. Silahkan majalah As-Sunnah dibaca dengan kepala jernih dan hati yang ikhlas, semoga kita senantiasa dibimbing oleh Allah untuk semakin terbuka menerima kebenaran.
Inilah penjelasan kami secara garis besar, semoga dapat dipahami.
Wallahu Waliyyut Taufuq-red.
[Disalin dari rubrik Risalatikum majalah As-Sunnah edisi 07/Tahun V/1422H/2001M]