[Diangkat dari kaidah ke-63 dari al-Qawa’idul Hisan,
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-sa’di ]
يُرْشِدُ القُرْآنُ إِلَى أَنَّ الْعِبْرَةَ بِحُسْنِ حَالِ الإِنْسَانِ : إِيْمَانُهُ وَعَمَلُهُ الصَّالِحُ،
وَأَنَّ الاِسْتِدْلاَلَ عَلَى ذَلِكَ باِلدَّعَاوَى الْمُجَرَّدَةِ أَوْؤبِإِعْطَاءِ اللهِ لِلْعَبْدِ مِنَ الدُّنْيَا بِالرِّيَاسَاتِ
كُلُّ ذَلِكَ مِنْ طُرُقِ الْمُنْحَرِفِيْنَ
Al-Qur’an memberikan petunjuk bahwa tolok ukur seseorang dikatakan baik atau tidak adalah keimanan dan amal shalihnya, Adapun mengukur baik atau buruknya seseorang berdasarkan pengakuan kosong atau pemberian Allâh k kepadanya berupa dunia atau kekuasaan adalah metode orang-orang menyimpang
Kaidah ini banyak sekali dijelaskan dalam al-Qur’an. Misalnya, Allâh Ta’alla yang artinya berfirman:
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (shalih, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam syurga). (QS. Saba’/34:37)
Juga firman Allâh Ta’alla yang artinya:
(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allâh dengan hati yang bersih (QS. asy-Syu’ara/26:88-89)
Allâh Ta’alla telah menyebutkan yang semakna dengan ini dalam banyak ayat dalam al-Qur’an.
Sedangkan tentang hal sebaliknya, yaitu tolok ukur kesempurnaan atau kebaikan dalam pandangan orang-orang yang menyimpang, Allâh menyebutkan kisah orang-orang Yahudi dan Nashara yang mengatakan (yang artinya):
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (QS. al-Baqarah/2:111)
Pengakuan orang-orang Yahudi dan Nashara tentang diri mereka sebagai penghuni surga adalah sebatas pengakuan kosong tanpa bukti, karena yang bisa mengantarkan untuk masuk surga adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Allah k dalam firman-Nya (yang artinya):
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allâh, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. al-Baqarah/2:112)
Dalam ayat lain (yang artinya), Allâh Ta’alla menjelaskan standar yang lain yang dipergunakan oleh orang-orang kafir untuk mengukur baik atau tidaknya seseorang.
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang (maksudnya), niscaya orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Manakah di antara kedua golongan (kafir dan mukmin) yang lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat pertemuan(nya)?” (QS. Maryam/19:73)
Juga firman-Nya (yang artinya):
Dan mereka berkata: “Mengapa al-Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” (QS. az-Zukhruf/43:31)
Mereka mengingkari wahyu dan kenabian Muhammad ﷺ karena menurut pikiran mereka, seorang yang layak diutus menjadi Rasul itu hendaklah seorang yang kaya raya dan berpengaruh.
Mereka menjadikan kekayaan sebagai standar baik dan buruknya seseorang.
Dan masih banyak ayat lain yang menjelaskan tentang cara pandang orang-orang kafir yang menganggap mereka lebih unggul, sempurna dan lebih baik berdasarkan keunggulan mereka dalam urusan dunia. Berdasarkan itu, kemudian mereka berani mencela kaum Mukminin dan menganggap agama yang mereka bawa itu adalah agama yang bathil hanya karena kalah dalam urusan dunia.
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, untuk menilai apakah seseorang itu baik atau buruk, maka hendaklah kita melihat keadaannya, keimanan dan amalnya, bukan hanya mendengar pengakuannya yang bathil, juga tidak berdasarkan harta, anak atau kekuasaan yang dia miliki.
[Majalah As-Sunnah Edisi 01/Thn XVIII/Rajab 1435H/Mei 2014M]