Pertanyaan.
“Bagaimanakah petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjenguk orang yang sedang sakit?”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab[1]:
Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang yang sakit. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghiburnya dan memberikan ketenangan. Terkadang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meruqyahnya (mengobatinya dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an -red). Inilah yang seharusnya dilakukan oleh kaum Muslimin. Seyogyanya mereka menjenguk saudaranya yang sakit di rumah sakit atau di rumah mereka. Karena dengan menjenguknya, berarti mereka telah menghibur hati orang yang sakit. Dan sebenarnya, kegembiraan yang dirasakan oleh orang yang sedang sakit itu bisa menjadi bagian dari sebab kesembuhannya. Karena dengan kebahagiaan itu, jiwanya menjadi tenang dan membuatnya bisa melupakan rasa sakitnya. Apalagi, jika orang yang menjenguknya itu adalah orang yang terpandang di tengah masyarakatnya, maka ketika itu pahala kunjungannya berlipat ganda.
Seyogyanya orang yang menjenguk orang sakit agar menghibur orang yang dijenguknya, (misalnya -red) dengan mengatakan, “Hari ini kamu terlihat lebih baik daripada kemarin.” Dan sejatinya, memang seorang Muslim itu, hari ini mesti lebih baik daripada hari kemarinnya, baik ketika semakin sembuh maupun bertambah sakit. Jika dia semakin sembuh berarti akan dia akan sehat, sebaliknya jika dia semakin sakit, berarti pahalanya bertambah.
Seyogyanya orang yang sakit juga diingatkan agar bertaubat tapi dengan cara yang tidak membuatnya merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Misalnya dengan mengatakan, “Alhamdulillah, sekarang bisa istirahat dan bisa fokus melakukan berbagai amal shalih seperti membaca al-Qur’an, berdzikir, beristighfar dan amalan-amalan shalih lainnya.” Atau ungkapan lain yang tidak memberi kesan ajal orang yang sedang sakit itu sudah dekat.
Diantara yang mestinya dilakukan juga adalah menanyakan kepada yang sakit tentang cara wudhu’ dan shalatnya. Karena ada sebagian orang yang salah dalam mengerjakan shalat. Misalnya, saat ditanya tentang shalatnya, ada yang menjawab bahwa selama sekian hari sakitnya dia menjama’ dan mengqashar shalatnya, padahal dia tidak sedang safar (tidak sedang melakukan perjalanan jauh). Perhatikanlan! Dia mengira ketika ada faktor-faktor yang menyebabkan boleh menjama’ shalat, maka pada saat itu juga boleh mengqashar shalat. Ini sebuah kesalahan, yang benar adalah sebaliknya. Yaitu ketika ada faktor-faktor yang menyebabkan boleh mengqashar shalat, maka pada saat itu juga boleh menjama’ shalat. Terkadang boleh menjama’ tapi tidak boleh mengqashar. Menjama’[2] boleh dilakukan di daerah tempat tinggalnya, tapi qashar tidak boleh dilakukan di sana.
Ada juga sebagian orang yang mengira bahwa ketika si sakit tidak bisa shalat dengan menggunakan isyarat kepala, maka dia boleh shalat dengan isyarat satu jari, (misalnya) jarinya dibuat tegak lurus sebagai isyarat berdiri tegal dalam shalat, kemudian ditekuk sedikit sebagai isyarat gerakan ruku’ lalu ditekuk lebih kuat sebagai isyarat gerakan sujud. Ini juga salah, karena tidak ada seorang Ulama’ pun yang berpendapat demikian. Untuk orang seperti ini, kita bisa mengatakan, “Shalatlah dengan cara berdiri! Jika tidak bisa berdiri, kerjakan shalat dengan cara duduk! Berilah isyarat untuk ruku’ dan sujud! Membungkuklah lebih rendah sebagai isyarat sujud. Jika tidak bisa, engkau bisa shalat sembari berbaring dan memberikan syarat dengan kepala. Dan masalah ini luas.” Kita juga bisa menjelaskan kepadanya, jika dia kesulitan mengerjakan shalat tepat pada waktunya, maka dia bisa menjama’shalat Zhuhur dengan shalat Ashar serta bisa menjama’ shalat Maghrib dengan shalat Isya’.
Demikianlah, orang yang mendapat taufiq dari Allâh Azza wa Jalla, dia akan menjadikan kunjungan kepada orang yang sakit sebagai kunjungan sekaligus kesempatan untuk mengajari atau mengingatkan, sehingga dia bisa memberikan manfaat dan yang sakit bisa mendapatkan faidah ilmu.
Termasuk yang seharusnya dilakukan saat menjenguk orang sakit yaitu mengingatkannya tentang wasiat. (Misalnya), dengan mengatakan, “Wahai Fulan! Sampaikanlah kalau ada wasiat yang ingin kau sampaikan (misalnya) untuk melunasi hutang, zakat, kafarat atau lain sebagainya.” Di sini, si penjenguk itu memberitahukan kewajiban orang yang sakit terkait hal-hal di atas.
(Itulah beberapa hal yang seyogyanya dilakukan saat menjenguk orang sakit, bukan sekedar datang lalu bersenda gurau tanpa arah. Menghibur dengan bergurau atau membawakan sesuatu tentu boleh selama tidak melalaikan dari dzikrullah atau mengingat akhirat.
Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kesembuhan kepada kaum Muslimin yang sedang mendapatkan ujian berupa sakit dan semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kesabaran kepada mereka semua dalam menerima ujian yang sedang mereka hadapi. -red)
_______
Footnote
[1] Fatâwâ Nûr ‘alad Darbi, 6/44-45
[2] Menjama’ shalat yaitu menggabung dua shalat yang boleh digabung dan dikerjakan pada salah satu waktu shalat tersebut, dengan dua kali salam -red)
Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Kompleks Pesantren Imam Bukhari, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Kunjungi Toko Online Majalah As-Sunnah, untuk mendapatkan koleksi majalah yang lebih lengkap dengan harga dan penawaran menarik lainnya.