Jawab: Tidak ada ayat Al Qur’an yang bertentangan dengan hadits shahih, karena Al Qur’an adalah haq, dan hadits shahih adalah haq, sedangkan yang haq tidak akan bertentangan antara satu dengan yang lain. Sumber keduanya sama, yaitu Allah سبحانه وتعالى , keduanya sama sebagai wahyu Allah سبحانه وتعالى . Nabi Muhammad ﷺ hanyalah menyampaikan wahyu dari Allah سبحانه وتعالى . Nabi ﷺ bersabda:
أَلاَ إِنّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Ingatlah, sesungguhnya aku diberi Al Kitab (Al Qur’an) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu As Sunnah) bersamanya. (HR Abu Dawud, no. 4604; Tirmidzi, Ahmad, dan Al Hakim dari Al Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Maka tidak boleh menolak sebagian nash (ayat atau hadits shahih) dengan alasan bertentangan dengan yang lain, karena hal ini berarti mendustakan sebagian al haq. Meski ada ayat-ayat atau hadits-hadits yang dianggap bertentangan oleh sebagian orang, namun hal itu hanyalah persangkaan semata. Para ulama sudah mendudukan nash-nash tersebut pada tempatnya sehingga tidak lagi bertentangan.
Adapun hadits tentang menghajikan orang lain yang dicontohkan penanya, maka perlu diketahui, hadits ini diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, antara lain:
عَنْ عَبْدِاللهِ بِنْ عَبَّاسِ أَنَّ اِمْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جاءَتْ إلى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أنْ تَحُجَّ، فَلَمْ تَحُجَّ حتَّى ماتَتْ؛ أفَأَحُجُّ عَنْها؟ قالَ: نَعَمْ حُجِّي عَنْها؛ أرَأَيْتِ لو كانَ علَى أُمِّكِ دَيْنٌ أكُنْتِ قاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ؛ فاللَّهُ أحَقُّ بالوَفاءِ.
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنه , bahwa seorang wanita dari Juhainah mendatangi Nabi ﷺ lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku bernadzar akan berhaji, tetapi dia belum berhaji sampai meninggal. Apakah aku (dapat) menghajikan untuknya?” Nabi ﷺ menjawab,”Ya, hajikanlah untuknya. Bagaimana pendapatmu, jika ibumu menanggung hutang, apakah engkau (dapat) membayar? Bayarlah (hutang) kepada Allah, karena Allah lebih berhak terhadap pemenuhan (hutang).” (HR Bukhari, no. 1852).
Hadits ini shahih dan para ulama bersepakat menerima isinya. Bahwa seorang yang menanggung hutang haji boleh dihajikan oleh orang lain yang telah melakukan ibadah haji.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata,”Seorang wanita boleh menghajikan wanita lain dengan kesepakatan para ulama.” (Lihat Majmu’ Fatawa, 26/13).
Syaikhul Islam juga mengatakan: “Tentang menghajikan mayit atau orang yang tidak kuat badannya, dengan harta yang diambil dari orang yang dihajikan itu sebagai biaya selama haji, maka ini boleh dengan kesepakatan para ulama. Adapun menghajikan orang yang mengambil upah, (hal ini) masih diperselisihkan di antara fuqaha.” (Lihat Majmu’ Fatawa, 26/13).
Adapun perkataan Ustadz A. Hassan رحمه الله di dalam tarjamah Bulughul Maram (1/367), hadits no. 733, keterangan no. 2, yaitu: “Seseorang menghajikan seorang itu berlawanan dengan ayat 33 dari An Najm dan lainnya yang artinya seseorang tidak dapat melainkan apa yang ia kerjakan”, maka kami jawab sebagai berikut:
- Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada ulama yang menolak hadits ini dengan alasan bertentangan dengan ayat surat An Najm ayat 33 dan lainnya. Bahkan para ulama bersepakat menerima hadits di atas, sebagaimana telah kaminukilkan perkataan Syaikhul Islam رحمه الله . Muhammad Al Amin Asy Syinqithi رحمه الله berkata,”Para ulama telah bersepakat bahwa mayit mendapatkan manfaat dengan shalat (jenazah) atasnya, doa untuknya, haji baginya, dan semacamnya dari apa yang telah pasti seseorang mendapatkan manfaat dengan sebab amal orang lain.” (Tafsir Adh-waul Bayan, surat An Najm, ayat 39).
Jika ini merupakan ijma’, maka menyelisihi ijma’ merupakan kesalahan.
- Adapun firman Allah ﷻ:
وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakannya, (QS An Najm:39).
Ayat ini tidak bertentangan dengan hadits shahih tentang menghajikan orang lain itu. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini bersifat umum, sedangkan hadits mengkhususkannya.
Di antara ulama yang berpendapat demikian ialah, Imam Asy Syaukani رحمه الله . Beliau menjelaskan makna ayat 53 surat An Najm itu dengan menyatakan: “Dan makna ayat itu ‘Dia (manusia) tidak memiliki kecuali balasan usahanya dan balasan amalnya, dan amal seseorang tidak bermanfaat kepada orang lain’. Keumuman ini dikhususkan dengan semisal firman Allah Ta’ala
اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
“Kami hubungkan anak cucu mereka dengan”. (QS Ath Thur:21), dan dengan semisal tentang syafa’at para nabi dan para malaikat untuk hamba-hamba (Allah), dan disyari’atkannya doa orang-orang hidup untuk orang-orang yang telah mati, dan semacamnya. Dan tidak benar orang yang mengatakan ‘Sesungguhnya ayat itu dihapuskan dengan semisal perkara-perkara ini’, karena sesungguhnya yang khusus tidaklah menghapuskan yang umum, tetapi mengkhususkannya. Maka setiap apa yang dalil telah tegak bahwa manusia mendapatkan manfaat dengannya, sedangkan itu bukan usahanya, hal itu menjadi pengkhusus keumuman ayat ini”. (Tafsir Fathul Qadir, surat An Najm, ayat 39).
Sebagian ulama lainnya menjelaskan bahwa, yang ditiadakan oleh ayat itu hanyalah kepemilikan.
Imam Muhammad Al Amin Asy Syinqithi رحمه الله berkata,”Ayat itu hanyalah menunjukkan atas peniadaan milik pada manusia terhadap selain usahanya. Dan ayat ini tidak menunjukkan peniadaan manusia mendapatkan manfaat dengan usaha orang lain”. (Tafsir Adh-waul Bayan, surat An Najm, ayat 39). Wallahu a’lam.
Adapun hadits tentang mayit yang disiksa karena ditangisi, maka sangat banyak riwayat yang menyebutkan hal ini. Di antaranya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ : المَيِّتُ يُعَذَّبُ في قَبْرِهِ بِما نِيحَ عليه
Dari Ibnu Umar, dari bapaknya, dari Nabi ﷺ , Beliau bersabda,”Mayit akan disiksa di dalam kuburnya dengan sebab dilakukan niyahah (tangisan dengan jeritan dan perkataan yang menunjukkan tidak menerima keadaan) terhadapnya.” (HR Bukhari, no. 1292).
Tentang makna hadits ini yang seolah-olah bertentangan dengan firman Allah سبحانه وتعالى :
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۚ
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (QS Al An’am:164), Namun para ulama telah memberikan jawaban yang banyak.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani رحمه الله berkata,”Ulama telah berbeda pendapat dalam menjawab hal itu menjadi delapan pendapat. Yang paling dekat kepada kebenaran ada dua pendapat. Pertama. Pendapat mayoritas ulama, bahwa hadits ini tertuju terhadap orang yang berwasiat untuk dilakukan niyahah (ratapan) terhadapnya, atau orang yang tidak berwasiat untuk meninggalkannya, padahal dia mengetahui bahwa orang-orang biasa melakukannya. Oleh karena itulah Abdullah bin Mubarak رحمه الله berkata,’Jika dia (si mayit) telah melarangnya ketika hidupnya, lalu mereka melakukan sesuatu dari itu (niyahah) setelah wafatnya, tidak ada sesuatu (siksa) atasnya (mayit)’.”
Kemudian Syaikh menyebutkan pendapat kedua, namun kemudian menguatkan jawaban mayoritas ulama di atas. (Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 41, karya Syaikh Al Albani, Penerbit Maktabah Al Ma’arif).
Berdasarkan penjelasan ini, maka siksa yang dialami oleh si mayit tadi disebabkan oleh perbuatannya sendiri. Dengan demikian tidak ada pertentangan dengan ayat Al Qur’an. Alhamdulillah.
Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IX/1426H/2005M