Allah سبحانه وتعالى mengutus Rasulullah ﷺ untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus, dan memerintahkan manusia untuk menaati dan mencontoh perilaku beliau. Allah berfirman:
﴿ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ٧﴾
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Qs al-Hasyr/59:7).
Untuk itulah, Rasulullah ﷺ juga telah menunaikan semua tugasnya. Sehingga beliau ﷺ berpesan kepada ummatnya agar berpegang dengan peninggalan beliau, yaitu berupa Al-Qur‘ân dan Sunnah. Dua hal ini sebagai petunjuk bagi manusia hingga hari Kiamat dalam mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ
Aku tinggalkan untuk kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur‘an) dan Sunnahku. (HR al-Hâkim, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, no. 2937).
Dari sini jelaslah, bahwasanya hadits-hadits Rasulullah ﷺ menjadi salah satu sumber pengambilan hukum syari’at, baik dalam hal aqidah, hukum fikih, dan yang lainnya. Sunnah-sunnah Rasulullah ﷺ ini menjadi sumber pedoman seorang muslim dalam menggapai kebahagian dan keridha’an Allah سبحانه وتعالى . Sehingga, dengan kedudukannya ini, maka hadits-hadits tersebut menjadi sumber dan asas syari’at yang kekal dan selalu terjaga keotentikannya.
Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-’Abbâd1 berkata,”Sesungguhnya Sunnah Rasulullah ﷺ merupakan wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya ﷺ . Dia bersama Al-Qur‘ân yang mulia merupakan asas agama Islam dan menjadi sumber hukumnya. Keduanya saling berhubungan sebagaimana kaitan syahadat Lâ ilâha illa Allah dengan syahadat Muhammad Rasulullah. Barang siapa yang tidak beriman kepada Sunnah, berarti tidak beriman kepada Al-Qur‘ân”.2
Keterkaitan antara keduanya sebagai sumber utama dalam mengenal aqidah dan hukum-hukum syari’at, sebab Sunnah sebagai penjelas kandungan Al-Qur‘an yang mujmal (global) dan membatasi kemutlakannya. Bahkan sebenarnya, Sunnah sabagai wujud dalam penerapan Al-Qur‘ân melalui Rasulullah ﷺ yang Allah سبحانه وتعالى sifatkan dengan ketinggian akhlaknya dalam firman-Nya:
﴿وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ٤﴾
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Qs al-Qalam/68:4).
Demikianlah, ketika Ummul-Mukminin ‘Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah ﷺ , ia tidak dapat mengungkapkannya kecuali dengan berkata:
كَانَ خُلُقُهُ القُرآنَ
Akhlak beliau adalah Al-Qur‘ân. (HR Ahmad, no. 23460, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahih al-Jâmi’ ash-Shaghîr, no 4811).
ALLAH سبحانه وتعالى MENJAGA SUNNAH RASULNYA
Eratnya hubungan Al-Qur‘ân dan Sunnah ini tidak dapat dipisahkan dalam memahami Islam secara benar dan dikehendaki Allah سبحانه وتعالى . Kedudukan Sunnah Nabi ﷺ yang tinggi ini membuat musuh-musuh Islam berusaha merusaknya dengan membuat-buat perkataan yang disandarkan kepada beliau ﷺ . Bahkan ada yang berusaha melontarkan syubhat-syubhat untuk mengingkari Sunnah sebagai sumber hukum. Namun Allah سبحانه وتعالى telah menjamin keotentikannya, dan akan memeliharanya sebagaimana menjaga dan memelihara Al-Qur‘ân. Allah berfirman:
﴿إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ﴾
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Qs Hijr/15:9).
Ayat mulia ini yang merupakan nash tentang penjagaan Al-Qur‘ân, di dalamnya juga terkandung maksud penjagaan terhadap hadits-hadits Nabi ﷺ , karena Allah سبحانه وتعالى berfirman:
﴿ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ٤٤﴾
Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (Qs an-Nahl/16:44).
Dalam ayat ini, Allah سبحانه وتعالى memerintahkan Rasul-Nya ﷺ untuk menjelaskan Al-Qur‘ân kepada manusia, Sehingga, jika penjelasan beliau ﷺ terhadap Al-Qur‘ân tidak terjaga dan terpelihara (mahfûzh), tentunya tidak dapat berpegang teguh dan beramal dengan Al-Qur‘ân, padahal Allah berfirman:
﴿وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى٣ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى٤﴾
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu, tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Qs an-Najm/53:3-4).3
Dengan demikian, jelaslah bahwasanya janji Allah untuk memelihara adz-Dzikr tidak hanya terbatas pada Al-Qur‘ân saja, tetapi juga menjaga syari’at dan agama Allah سبحانه وتعالى yang disampaikan Rasulullah ﷺ , dan penjagaan bersifat lebih umum dari sekedar Al-Qur‘ân atau Sunnah saja.4
Ibnu Hazm dalam kitab al-Ihkaam (1/121) menyatakan, tidak ada perbedaan di kalangan para ulama ahli lughah (bahasa Arab) dan syari’at, bahwasanya semua wahyu yang turun dari Allah سبحانه وتعالى adalah adz-Dzikrul-Munazzal. Semua wahyu terpelihara dengan pemeliharaan dari Allah سبحانه وتعالى dengan pasti. Dan semua yang dijamin oleh Allah pemeliharaannya, maka ia terjaga, tidak akan hilang, dan tidak akan terubah sedikit pun, tanpa ada penjelasan tentang kebatilannya.
Kemudian beliau membantah orang yang menganggap pengertian adz-Dzikr dalam ayat di atas hanyalah Al-Qur‘ân saja.
Beliau berkata: “Anggapan ini adalah dusta yang tidak berdasarkan bukti, dan pengkhususan kata adz-Dzikr tanpa dalil. Kata adz-Dzikr adalah nama umum untuk semua yang diturunkan Allah سبحانه وتعالى kepada Rasul-Nya ﷺ , berupa Al-Qur`ân maupun Sunnah yang merupakan wahyu penjelas bagi Al-Qur`ân. Allah سبحانه وتعالى juga berfirman:
﴿ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ٤٤﴾
Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan. (Qs an-Nahl/16:44).
Dengan demikian, maka sungguh merupakan kebenaran bahwa beliau ﷺ diperintahkan untuk menjelaskan Al-Qur‘ân kepada manusia. Dalam Al-Qur‘ân banyak terdapat perintah yang mujmal (global), seperti shalat, zakat, haji, dan selainnya yang kita tidak mengetahui yang Allah سبحانه وتعالى wajibkan dengan lafadz Al-Qur‘ân itu kecuali dengan penjelasan Nabi ﷺ . Apabila penjelasan beliau ﷺ terhadap yang global tidak terpelihara dan tidak terjamin keselamatannya dari yang bukan dari Sunnah, maka manusia tidak dapat mengambil manfaat dari nash Al-Qur‘ân, lalu hilanglah banyak syari’at yang diwajibkan kepada kita, dan kita tidak mengetahui kebenaran yang Allah سبحانه وتعالى kehendaki”.5
Demikian juga pemeliharaan Al-Qur‘ân tidak sempurna, kecuali dengan menjaga dan memilihara Sunnah Rasulullah ﷺ . Hal itu, karena makna kandungan Al-Qur‘ân terrefleksikan pada akhlak dan amalan beliau ﷺ . Sehingga mengingkari, tidak menggunakan dan membiarkan satu Sunnah yang shahîh, atau menyimpangkan dan menakwilkan keluar dari maksudnya, serta memahaminya diluar ketentuan syari’at, adalah sama dengan meninggalkan dan tidak peduli dengan Al-Qur‘ân”.6
PENJAGAAN ALLAH TERHADAP SUNNAH
Jelaslah, seluruh yang disampaikan Nabi ﷺ tentang agama, semuanya ialah wahyu dan adz-Dzikr. Semua terjaga dan terpelihara dengan penjagaan dan dalam pemeliharaan Allah.
Semua kandungan Al-Qur‘ân terpelihara dan dinukilkan secara mutawatir. Demikian juga Sunnah Rasulullah ﷺ yang merupakan penjelas Al-Qur‘ân , pengkhusus lafazh-lafazh umumnya dan pembatas lafazh-lafazh mutlaknya, ia terjaga dan terpelihara.
Dapat disebutkan beberapa faktor yang menjadi sebab, sehingga Allah سبحانه وتعالى menjadikan Sunnah tetap terpelihara dan terjaga.
- Thâ‘ifah al-Manshurah.
Allah سبحانه وتعالى menciptakan sekelompok dari umat Islam yang senantiasa menegakkan kebenaran sampai hari Kiamat, sebagaimana disampaikan Rasulullah ﷺ :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَايَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang di atas kebenaran; orang-orang yang menghina mereka tidak merugikan mereka hingga datang keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian. (HR Muslim no. 3544).
Dengan adanya umat yang menegakkan kebenaran dan memenangkannya, maka tentunya akan dapat memelihara keotentikan Sunnah Rasulullah ﷺ . Hal ini terbukti dengan adanya perhatian para salaful-ummah dan ulama muhadditsin pada setiap zaman dan tempat.
- Perhatian Salafush-Shalih terhadap Sunnah.
Allah سبحانه وتعالى menyiapkan pembela Sunnah. Yaitu dengan menciptakan generasi Salafush-Shalih dan setelah mereka, yang telah memberikan perhatian besar kepada Sunnah. Perhatian Salaf umat ini terhadap Sunnah Rasulullah ﷺ sangat beragam, sesuai dengan kemampuan dan sarana yang ada pada setiap zaman. Mereka telah mengerahkan seluruh kesungguhan dan kemampuan, serta beragam sarana dalam memperhatikan Sunnah Rasulullah ﷺ , baik dalam masalah ilmu maupun amal, menghafal dan menulisnya, mempelajari dan menyebarkannya kepada manusia.
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, para sahabat memberikan perhatian lebih dari sebelumnya dalam menjaga Sunnah Rasulullah ﷺ . Di antaranya dengan menghafal dan tatsabut (melakukan klarifikasi), sehingga salah seorang dari kalangan mereka bepergian hanya untuk satu hadits sepanjang perjalanan sebulan. Yakni untuk mengecek ulang (tatsabut) tentang hafalannya. Demikian juga, mereka menulisnya dalam lembaran shahifah, kemudian menyebarkannya di antara manusia. Semua ini disesuaikan dengan metodologi amaliyah dan ilmiah.
Demikian pula para Tabi’in, mereka memberikan perhatian terhadap Sunnah yang dapat diwujudkan dalam banyak bentuk, di antaranya:
- – perhatian dalam menghafalnya.
- – bertanya tentang sanad.
- – mencari pengetahuan mengenal keadaan para perawi dan penukil hadits yang menghasilkan ilmu rijal; hingga kemudian ilmu rijal ini menjadi salah satu keistimewaan umat Islam.
- – tadwin (kodifikasi) Sunnah Rasulullah ﷺ yang dimulai dari lembaran shahifah hingga menjadi karya tulis yang memiliki bab dan tersusun rapi,7 dan demikian juga orang-or[1]ang setelah mereka.
- Ulama-ulama Ulama-ulama muhadditsin.
Allah سبحانه وتعالى telah memberikan taufik kepada sejumlah besar dari kalangan ulama-ulama muhadditsin pada setiap masa dan tempat untuk meriwayatkan Sunnah Rasulullah ﷺ , menyebarkannya, menuliskannya, menggunakannya dalam menepis kebatilan dan melakukan khidmat yang sempurna, tiada bandingannya terhadap Sunnah dalam sejarah dunia.
Ulama muhadditsin telah mengerahkan segala kemampuan dan kekuatannya dalam menjaga Sunnah Rasulullah ﷺ dari penambahan dan pengurangan, sehingga bila ditambah satu huruf pada matan hadits, maka akan mereka jelaskan.
Ibnu Hibân dalam mensifati ulama muhadditsin, ia menyatakan, hingga jika salah seorang mereka ditanya tentang jumlah huruf dalam sunnah-sunnah untuk setiap sunnah, tentulah mereka akan sampaikan jumlahnya. Dan seandainya ditambahkan padanya huruf alif atau wawu, tentulah akan dikeluarkan secara paksa dan akan ditampakkan.8
Manshur bin ‘Ammâr as-Sulami al-Khurâsâni dalam mensifati ahlu hadits menyatakan:
Allah سبحانه وتعالى menugaskan penjagaan atsar yang menafsirkan Al-Qur‘ân dan sunnah-sunnah yang kokoh bangunannya sekelompok orang-orang pilihan. Allah سبحانه وتعالى memberikan mereka taufik untuk mencarinya dan menuliskannya, dan memberikan kekuatan kepada mereka dalam memelihara dan menjaganya. Juga memberikan kepada mereka kecintaan membaca dan mempelajarinya, dan menghilangkan dari mereka perasaan lelah dan bosan, duduk dan bepergian, mengorbankan jiwa dan harta dengan menyeberangi hal-hal yang menakutkan. Mereka bepergian dari satu negeri ke negeri lainnya untuk menuntut ilmu di setiap tempat dalam keadaan rambut yang kusut, pakaian compang camping, perut lapar, mulut kering, wajah pucat karena kelelahan dan kelaparan, dan badan yang kurus.
Mereka memiliki satu tekad kuat dan ridha kepada ilmu sebagai petunjuk dan pemimpinnya. Rasa lapar dan haus tidak memutus mereka dari hal itu. Juga musim panas dan dingin, tidak membuat mereka bosan dalam memilah-milah yang shahih dari yang bermasalah, dan yang kuat dari yang lemah (dari sunnah-sunnah) dengan pemahaman yang kuat, pandangan yang luas, dan hati yang sangat mengerti kebenaran. Sehingga dapat menjaga dari kesesatan orang yang suka menduga-duga, perbuatan bid’ah orang-orang mulhid, dan kedustaan para pendusta.
Seandainya engkau melihat mereka pada malam hari, mereka telah menghidupkannya dengan menulis semua yang telah mereka dengar, mengoreksi semua yang telah mereka kumpulkan dalam keadaan menjauhi kasur empuk dan pembaringan yang menggiurkan. Rasa kantuk pun telah menguasai mereka sehingga menidurkannya dan lepaslah pena-pena dari telapak tangan mereka; namun seketika itu juga mereka tersadar dalam keadaan terkejut.
Kelelahan telah memberikan rasa sakit pada punggung mereka, dan keletihan berjaga waktu malam telah melelahkan akal pikiran mereka, sehingga mereka berusaha menghilangkannya. Untuk mengistirahatkan badan, mereka berusaha berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk menghilangkan rasa kantuk dan tidurnya, mereka memijat-mijat mata dengan tangan mereka, kemudian kembali menulis karena semangat yang tinggi dan antusias mereka kepada ilmu.
Hal ini, tentu membuat engkau mengerti, bahwa mereka adalah penjaga Islam dan penjaga gudang ilmu Allah سبحانه وتعالى . Apabila mereka telah selesai menunaikan sebagian yang mereka tuntut dari keinginan-keinginannya tersebut, maka mereka pulang menuju negerinya, lalu duduk menetap di masjid-masjid dan memakmurkannya dengan menggunakan pakaian tawadhu‘ (kerendahan hati), pasrah dan menyerah. Mereka berjalan dengan rendah hati, tidak mengganggu tetangga dan tidak melakukan perbuatan buruk, hingga apabila ada penyimpangan atau orang yang keluar dari agama, maka mereka keluar sebagaimana keluarnya singa dari kandangnya untuk mempertahankan syiar-syiar Islam.9
Demikianlah, mereka manjadi penjaga Sunnah Rasulullah ﷺ sepanjang masa.
- Rihlah fî thalabi al-hadits
Di antara perhatian dan usaha para ulama dalam menjaga Sunnah Rasulullah ﷺ , yaitu dengan bepergian, melakukan perjalanan untuk mengumpulkan hadits (rihlah fî thalabi al-hadits). Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengumpulkan hadits dan sanad[1]sanadnya hingga bepergian yang menempuh jarak sangat jauh dengan tingkat kesulitan sedemikian besar. Rihlah ini sudah menjadi tradisi mereka dalam menuntut ilmu dan memiliki pangaruh sangat besar dalam penyebaran hadits Nabi ﷺ dan memperbanyak jalur periwayatannya. Demikian juga memiliki pengaruh baik dalam mengenal para perawi secara sangat detail dan mendalam, sebab seorang muhaddits yang pergi ke suatu negeri lalu mengenal ulama di negeri itu, ia akan berbicara dan bertanya kepadanya. Demikian juga, rihlah telah dapat membongkar pemalsu hadits dan menghilangkan banyak hadits palsu yang ada pada umat, sehingga umat terlepas dari musibah dan penyimpangan agama. Maka sangat pantas bila Ibrâhîm bin A’dham menyatakan, Allah telah menghilangkan musibah dari umat ini dengan rihlahnya ash-hâbul-hadits. 11
- Kaidah ilmu jarh wa ta’dil dan mushthalah.
Usaha para ulama dari zaman sahabat hingga kini menghasilkan kaidah ilmu musthalah dan ilmu al-jarh wa ta’dil. Para ulama menulis dan menyusun ilmu-ilmu ini untuk memerangi bid’ah, dan untuk menjaga agama Islam ini dari para pendusta, serta dari penyimpangan dan penakwilan orang-orang jahil.
Imam al-Hâkim di muqaddimah kitab Ma’rifat ‘Ulûmul-Hadits, ia menyatakan: “Sungguh, aku melihat bid’ah pada zaman kita ini telah banyak; dan pengetahuan manusia terhadap ushul sunnan sangat sedikit dengan tenggelamnya mereka dalam penulisan Hadits dan banyak mengumpulkannya dengan lalai dan tidak perhatian. Hal ini mendorongku untuk menuliskitab ringan yang mencakup bagian dan jenis ilmu Hadits yang dibutuhkan para penuntut hadits yang terus menerus menulis hadits-hadits….”11
Demikian juga para sahabat telah meletakkan manhaj (metodologi) untuk mengetahui kejujuran perawi dari kedustaannya dan diikuti para tabi’in. Para ulama semakin memperluas metodologi ini, setiap kali menjauh dari zaman generasi terbaik umat ini. Belum habis abad ketiga hijriyah, ilmu ini telah tersebar dan dikenal. Ilmu ini dinamakan ilmu “al-Jarh wa Ta’dil”.12
Kaidah-kaidah ilmu hadits ini mempelajari seluruh sisi hadits secara sempurna dan dalam, sehingga dapat untuk memilah-milah di antara hadits-hadits yang shahih, yang lemah dan yang palsu. Ini semua merupakan wujud penjagaan Allah terhadap Sunnah.
Demikianlah sekelumit permasalahan penjagaan Allah سبحانه وتعالى terhadap Sunnah RasulNya. Mudah-mudahan bermanfaat.
Marâji‘:
- As-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyri’ al-Islami, Musthafa as-Sibâ’i, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cetakan Keempat, Tahun 1405 H, halaman 156.
- Manhaj al-Muhadditsin fî Taqwiyât al-Ahâdits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, Dr. al Murtadha az-Zein Ahmad, Maktabah ar-Rusyd, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
- Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadits, al-Hâkim Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah an-Naisâburi, Tahqîq: Dr. as-Sayyid Mu’azhzham Husain, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Kedua, Tahun 1397H.
- Miftâh al-Jannah fî al-Ihtijâj bi as-Sunnah, as-Suyuthi, Penerbit al-Jâmi’ah al-Islamiyah Madinah, Cetakan Kelima, Tahun 1415H.
- Dirâsât fî al-Jarh wa Ta’dil, Dr. Muhammad Dhiya‘ur-Rahman al-A’zhami, Maktabah al-Ghurabâ‘ al-Atsariyah, Madinah, Cetakan Keempat, Tahun 1419H.
- Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, Dr. Muhammad bin Mathar az-Zahrâni, Dar al-Khudhairi, Madinah Nabawiyah, Cetakan Kedua, Tahun 1419H.
- Zawâbigh fî Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, Shalahuddin Maqbûl Ahmad, Islamic Sceintific Research Academy, New Delhi, India, Cetakan Pertama, Tahun 1411 H, halaman 7-8.
Footnote:
1 Seorang ulama besar kota Madinah dan pengajar hadits di Masjid Nabawi hingga sekarang ini
2 Lihat prakata beliau dalam kitab Miftâh al-Jannah fî al-Ihtijâj bi as-Sunnah, hlm. 3.
3 Zawâbigh fî Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hlm. 7-8.
4 As-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 156.
5 Pernyataan Ibnu Hazm ini dinukil dari kitab as-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 156-158.
6 Zawâbigh fî Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, hlm. 8
7 Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, hlm. 38.
8 Manhaj al-Muhadditsin fî Taqwiyât al-Ahâdits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, hlm. 7
9 Al-Muhaddits al-Fâshil Baina ar-Râwi wa al-Wâ’i, hlm. 220-221. Dinukil dari Manhaj al-Muhadditsin fi Taqwiyât al-Ahâdits al-Hasanah wa al-Dha’ifah, hlm. 6-7.
10 Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, hlm. 44 dan 50.
11 Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadits, hlm. 1.
12 Dirâsât fî al-Jarh wa Ta’dil, hlm. 20.
Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M