Biografi ini ditulis secara ringkas dan bebas dari kitab-kitab: Siyar A’lâm Nubalâ’ karya Imam adz-Dzahabi Juz 3, penerbit Mu’assasah ar-Risâlah, Tahqiq; Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharji, cet. XI – 1422 H/2001 M; al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Imam Ibnu Katsîr, juz 8, Maktabah al-Ma’ârif – Beirut, tanpa tahun; Tahdzîb at-Tahdzîb karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni رحمه الله cet. I- Mathba’ah Majlis Dâ-irah al-Mâ’arif an-Nizhâmiyah, India – Haidar Abâd dan Majmû’ Fatâwa karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah رحمه الله .
Nama dan Nasab
Beliau adalah Husain bin Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thâlib bin ‘Abdil Muth-thalib bin Hâsyim bin ‘Abdi Manâf bin Qushayy al-Qurasyi al-Hâsyimi. Kun-yahnya Abu ‘Abdillah. Seorang imam yang mulia, cucu yang merupakan salah satu bunga kehidupan Rasulullah ﷺ di dunia dan kesayangannya di samping Hasan c. Kedua orang tuanya adalah ‘Ali bin Abi Thâlib dan Fâthimah az-Zahra’ binti Rasulullah ﷺ .
Kelahirannya
Dilahirkan pada tanggal 5 Sya’bân tahun keempat Hijriyah, dan jarak umur antara beliau dengan Hasan, kakaknya, menurut sebagian ulama adalah satu kali masa suci ditambah masa kehamilan1 .
Kedudukan Husain رضي الله عنه
Beliau adalah seorang Imam di antara imam-imam Ahlu Sunnah, memiliki kedudukan mulia di sisi Rasulullah ﷺ dan sangat dicintainya. Dari Ibnu Abi Nu’mi , ia berkata: “Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنهما ketika ditanya oleh seseorang (yang datang dari Irak) tentang hukumorang yang berihram- (kata Syu’bah: saya menduga ia bertanya tentang hukum) membunuh lalat-. Maka ‘Abdullah bin ‘Umarz berkata: “(Lihatlah) orang-orang Irak bertanya tentang hukum membunuh seekor lalat, padahal mereka telah membunuh putra dari putri Rasululah ﷺ . Padahal Nabi ﷺ telah bersabda:
هُمَا رَيْحَا نَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا. رواه البخاري
Keduanya (Hasan dan Husain) adalah dua buah tangkai bungaku di dunia. (Riwayat al-Bukhari dan lainnya, Fathul Bâri VII/95, no. 3753)
Adz-Dzahabi رحمه الله dalam Siyar A’lâm Nubalâ’ 2 membawakan riwayat dari Jâbir رضي الله عنه yang ketika melihat Husain bin ‘Ali masuk ke dalam Masjid mengatakan: “Barangsiapa yang ingin melihat seorang sayyid (pemuka) dari para pemuda ahli sorga maka lihatlah Husain رضي الله عنه ini”. Saya mendengar hal itu dari Rasulullah ﷺ “3
Dalam kitab yang sama, adz-Dzahabi رحمه الله juga membawakan riwayat dari Ummu Salamah x , ia berkata: “Sesungguhnya Nabi ﷺ menyelimuti ‘Ali, Fâthimah serta kedua anaknya (Hasan dan Husain) dengan sebuah selimut, kemudian beliau berdoa:
الْلَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلُ بَيْتِ بِنْتِي وَحَامَتِي، اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا” . فَقُلْتُ : يَارَسُوْلَ اللَّهِ ! أَنَا مِنْهُمْ؟ قَالَ : إِنَّكَ إِلَى خَيْرِ.
“Ya Allah, mereka adalah ahli bait putriku dan kesayanganku. Ya Allah, hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan sesuci[1]sucinya”. Aku (Ummu Salamah) bertanya: Apakah aku termasuk mereka?. Beliau menjawab: “Sesungguhnya engkau menuju kepada kebaikan”.
Hadits ini dikatakan oleh adz-Dzahabi رحمه الله bahwa isnad-nya jayyid (baik), diriwayatkan dari beberapa jalan dari Syahr. Sementara pentahqiq mengatakan, hadits itu shahih dengan syawâhidnya4 .
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
حُسَيْنٌ مِنِّي وَأَنَا مِنْ حُسَيْنٍ، أَحَبَّ اللَّهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا، حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ الأَسْبَاطِ
Husain termasuk bagian dariku dan aku termasuk bagian darinya, Allah akan mencintai siapa saja yang mencintai Husain. Dan Husain adalah satu umat di antara umat-umat yang lain dalam kebaikannya. 5
Demikianlah kedudukan Husain bin ‘Alic, beliau sempat hidup bersama Rasulullah ﷺ selama sekitar lima tahun. Rasulullah ﷺ sangat menyayangi dan memuliakannya sebagaimana menyayangi dan memuliakan Hasan رضي الله عنه hingga beliau ﷺ wafat. Sepeninggal Rasulullah ﷺ , Abu Bakar, ‘Umar dan Utsman pun رضي الله عنهما sangat mencintai, memuliakan dan mengagungkannya. Dan Husain رضي الله عنه selalu menyertai ayahnya, ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه sampai wafatnya.
Ketika Mu’awiyah رضي الله عنه resmi menjadi khalifah, maka Mu’awiyah رضي الله عنه juga sangatmemuliakannya, bahkan sangat memperhatikan kehidupan Husain رضي الله عنه dan saudaranya, sehingga sering memberikan hadiah kepada keduanya. Tetapi, ketika Yazid bin Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah, Husain رضي الله عنه bersama Ibnu Zubair رضي الله عنه termasuk yang tidak mau berbai’at. Bahkan penolakan itu terjadi sebelum Mu’awiyah رضي الله عنه wafat ketika Yazid sudah ditetapkan sebagai calon khalifah pengganti Mu’awiyah.
Oleh karena itu, beliau berdua keluar dari Madinah dan lari menuju Mekah. Kemudian keduanya menetap di Mekah. Ibnu Zubair رضي الله عنه menetap di tempat shalatnya di dekat Ka’bah, sedangkan Husain رضي الله عنه di tempat yang lebih terbuka karena di kelilingi banyak orang.
Selanjutnya, banyak surat yang datang kepada Husain رضي الله عنه dari penduduk Irak membujuk beliau supaya memimpin mereka. Menurut isi surat, mereka siap membai’at Husain رضي الله عنه . Dan surat-surat itu di antaranya berisi pernyataan gembira atas kematian Mu’awiyahz6 . Karena penduduk Irak memang banyak diwarnai oleh pemikiran rafidhah (syi’ah) dan khawarij.
Begitulah, semua Sahabat Nabi ﷺ memuliakan Husain رضي الله عنه sebagaimana mereka memuliakan Hasan رضي الله عنهما .
Adz-Dzahabi رحمه الله membawakan riwayat dari Ibnu al-Muhazzim رحمه الله yang mengatakan: “Pernah kami sedang menghadiri suatu jenazah. Lalu, datanglah Abu Hurairah رضي الله عنه yang dengan bajunya mengibaskan debu[1]debu yang ada pada kaki Husain”.7
Beberapa Sifat Husain رضي الله عنه
Secara fisik, Husain رضي الله عنه lebih mirip dengan Rasulullah ﷺ pada bagian dada sampai kaki, sementara Hasan رضي الله عنه lebih mirip dengan Rasulullah ﷺ pada wajahnya.8 Ketika kepala Husain didatangkan di hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyâd, maka sambil memegang sebilah pedang, ia mengkorek-korek hidung (sebagian riwayat: gigi seri) Husain, ia berkata: “Aku belum pernah melihat orang setampan ini”.
Anas bin Malik رضي الله عنه yang ketika itu ada di hadapannya, mengatakan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd: “Husain رضي الله عنه merupakan orang yang termasuk paling mirip dengan Rasulullah ﷺ “.9
‘Ubaidullah bin Ziyâd adalah Amir (gubernur) Bashrah pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiah dan yang kemudian oleh Yazid diangkat pula sebagai Amir Kufah menggantikan Nu’man bin Basyir رضي الله عنه .10 ‘Ubaidullah bin Ziyâd inilah yang memobilisasi perang melawan Husain رضي الله عنه , dan bahkan menekan dengan ancaman kepada ‘Umar bin Sa’d bin Abi Waqqâsh رحمه الله untuk memeranginya.11
Tentang sifat Husain lainnya, antara lain sebagaimana yang dibawakan oleh adz-Dzahabi رحمه الله dari riwayat Sa’id bin ‘Amr, ia berkata: “Sesungguhnya Hasan رضي الله عنه pernah berkata kepada Husain رضي الله عنه : “Betapa ingin aku memiliki sebagian keteguhan hatimu”. Lalu Husain رضي الله عنه menjawab: “Dan betapa ingin aku memiliki sebagian kelembutan lidahmu”.12
Wafatnya
Para ulama berselisih pendapat tentang kapan Husain رضي الله عنه wafat. Tetapi, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani lebih menguatkan bahwa wafatnya pada hari ‘Asyura bulan Muharam tahun 61 H13. Sedang umurnya juga diperselisihkan, ada yang mengatakan 58 tahun, 55 tahun dan 60 tahun. Tetapi Ibnu Hajar رحمه الله menguatkan bahwa umur beliau 56 tahun.14
Jauh hari sebelum Husain terbunuh, Rasulullah ﷺ pernah menceritakan bahwa Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh. Adz-Dzahabi رحمه الله membawakan beberapa riwayat tentang itu, di antaranya dari ‘Aliz, ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah ﷺ ketika kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: “Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa Husainz kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: “Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya?”. Aku menjawab: “Ya. Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku”.15
Intinya banyak riwayat yan menceritakan tentang itu.
Pada hari-hari menjelang wafatnya, saat hendak berangkat dari Mekah menuju Irak, di negeri tempat beliau terbunuh, Husain رضي الله عنه meminta nasehat kepada Ibnu Abbas رضي الله عنهما .
Maka, Ibnu ‘Abbâs رضي الله عنهما berkata: “Kalaulah tidak dipandang tidak pantas, tentu aku kalungkan tanganku pada kepalamu (maksudnya hendak mencegah kepergiannya)”.
Maka Husain رضي الله عنه menjawab: “Sungguh jika aku terbunuh di tempat demikian dan demikian, tentu lebih aku sukai daripada aku mengorbankan kemuliaan negeri Mekah ini”16
Husain رضي الله عنه akhirnya tetap berangkat menuju Irak setelah sebelumnya mengutus Muslim bin ‘Aqil bin Abi Thalib ke Irak untuk mengadakan penyelidikan, dan akhirnya mendapat berita bahwa beliau harus segera ke Irak.17
Namun, ketika Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما tiba di Madinah, beliau mendengar berita bahwa Husain sedang menuju ke Irak. Mengingat betapa bahayanya Irak bagi Husain رضي الله عنهما , maka Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما pun menyusulnya untuk menyarankan agar Husain mengurungkan niatnya. Tetapi, karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang-orang Irak, maka Husain tetap pada pendiriannya untuk berangkat ke Irak. Maka Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما pun dengan berat hati melepaskannya setelah sebelumnya memeluk Husain رضي الله عنه dan mengucapkan kata perpisahan. Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما berkata:
“Aku titipkan engkau kepada Allahk dari kejahatan seorang pembunuh”.18
Demikianlah, akhirnya Husain bin ‘Ali رضي الله عنهما tetap berangkat ke Irak dan kemudian terbunuh secara zhalim, di tangan kaum orang-orang aniaya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله memberikan komentar tentang terbunuhnya Husain رضي الله عنه sebagai berikut:
“Ketika Husain bin ‘Ali رضي الله عنهما terbunuh pada hari ‘Asyura, yang dilakukan oleh sekelompok orang zhalim yang melampaui batas, dan dengan demikian berarti Allah سبحانه وتعالى telah memuliakan Husain رضي الله عنه untuk memperoleh kematian sebagai syahid, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى juga telah memuliakan Ahlu Baitnya yang lain dengan mati syahid, seperti halnya Allah سبحانه وتعالى telah memuliakan Hamzah, Ja’far, ayahnya yaitu ‘Ali dan lain-lain dengan mati syahid. Dan mati syahid inilah salah satu cara Allah سبحانه وتعالى untuk meninggikan kedudukan serta derajat Husain رضي الله عنه . Maka, ketika itulah sesungguhnya Husain رضي الله عنه dan saudaranya, yaitu Hasan رضي الله عنه menjadi pemuka para pemuda Ahli sorga.”19
Pada sisi lain Syaikhul Islam juga mengatakan:
“Husain رضي الله عنه telah dimuliakan Allah سبحانه وتعالى dengan mati syahid pada hari (‘Asyura) ini. Dengan peristiwa ini, Allah سبحانه وتعالى juga berarti telah menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membantu pembunuhan terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. Husain رضي الله عنه memiliki contoh yang baik dari para syuhada yang mendahuluinya. Sesungguhnya Husain رضي الله عنه dan saudaranya (yaitu Hasan رضي الله عنه ) merupakan dua orang pemuka dari para pemuda Ahli sorga. Keduanya merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para Ahli Baitnya yang lain. Karena itu, Allah سبحانه وتعالى memuliakan keduanya dengan mati syahid sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap Husain رضي الله عنه ini merupakan musibah besar. Dan Allah سبحانه وتعالى mensyari’atkan agar hamba-Nya ber-istirja’ istirja’ (mengucapkan innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya:
وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
Dan berikanlah berita gembira kepada orang[1]orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn “. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs al-Baqarah/2:155-157).20
Demikianlah biografi Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنهما secara ringkas. Adapun tempat yang selama ini dianggap sebagai kuburan Husain atau kuburan kepala Husain di Syam, di Asqalan, di Mesir atau di tempat lain, maka itu adalah dusta, tidak ada bukti sama sekali. Karena semua ulama dan sejarawan yang dapat dipercaya tidak pernah memberikan kesaksian tentang hal itu. Bahkan mereka menyebutkan bahwa kepala Husain dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sebelah kuburan Hasan. 21 Radhiyallahu ‘Anhuma wa ‘An Jami’ish Shahâbah ajma’in. Wallahu al-Musta’aan.
Footnote:
1 Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/149)
2 Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/282-283)
3 Dikatakan oleh pentahqiq Siyar A’lâm Nubalâ bahwa para perawinya adalah para perawi yang dipakai dalam kitab Shahih, kecuali ar-Rabî’ bin Sa’d, tetapi ia tsiqah (terpercaya)
4 Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/283)
5 Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi, karya Syaikh al-Albâni رحمه الله – juz III/539 no. 3775 – Maktabah al-Ma’ârif – Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru, th. 1420 H/2000 M. Dan Shahih Sunan Ibnu Majah karya Syaikh al-Albâni رحمه الله – juz I/64-65 no. 118 – 143 – Maktabah al-Ma’ârif – Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru, th. 1417 H/1997 M
6 Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/150)
7 Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/287)
8 Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/150)
9 Ibid. Lihat pula Shahih Sunan at-Tirmidzi (III/540 no. 3778).
10 Ibid
11 Lihat misalnya, Siyar A’lâm Nubalâ (III/300 dll). Meskipun sesungguhnya ‘Umar bin Sa’d sangat tidak menyukai tugas ini. Bahkan akhirnya beliau menyesal dan mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang pulang kepada keluarganya dengan membawa suatu keburukan sebagaimana yang aku bawa. Aku telah menaati ‘Ubaidullah bin Ziyâd, tetapi aku telah durhaka kepada Allah سبحانه وتعالى dan telah memutuskan tali silaturrahim.”Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/303)
12 Lihat Siyar A’lâm Nubalâ, III/287
13 Lihat Siyar A’lâm Nubalâ ( III/318), al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/172), Tahdzîb at-Tahdzîb (II/356)
14 Tahdzîb at-Tahdzîb (II/356)
15 Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/288-289). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasus dan Ma’mûn Shagharji) mengatakan, hadits itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah.
16 Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/292). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharji) mengatakan, riwayat ini diriwayatkan oleh ath-Thabrâni, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang dipakai dalam kitab Shahîh.
17 Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/153 dst)
18 Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/292)
19 Lihat Majmû’ Fatâwa (XXV/302)
20 Lihat Majmû’ Fatâwa (IV/511)
21 Lihat Majmû’ Fatâwa (XXVII/465)
Majalah As-Sunnah Edisi 10/ tahun XXI/ 1430H / 2009M