Beberapa waktu lalu, marak pemberitaan di media massa tentang Jemaat Ahmadiyah. Berbagai polemik muncul. Banyak media memberitakan pembelaan terhadap Jemaat yang berpusat di London ini, meski ia lahir di India. Berbagai kalangan yang menisbatkan diri sebagai “cendekiawan” muslim, ikut menyuarakan argumen pembelaan. Jaringan Islam Liberal (JIL), yang dimotori Ulil Abshar Abdalla, bergandeng tangan dengan sejumlah aktifis HAM dan sejumlah tokoh gereja, bahkan bermaksud mengajukan gugatan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas fatwa MUI yang menyatakan Jemaat Ahmadiyah Qadiyan sesat dan agar segera dibekukan. Dan fatwa ini ternyata bukan yang pertama bergulir. Sebelumnya sudah ada fatwa dengan substansi yang sama.
Pembelaan yang muncul, semua mengatasnamakan HAM dan kebebasan beragama. Santernya sikap pro ini, sempat memojokkan MUI, yang –katanya- bukan sebagai otoritas yang berhak menghakimi kebenaran beragama. Sementara itu, nyaris tak satupun media massa yang melakukan balance dalam pemberitaan tersebut. Sungguh ironi.
Tulisan berikut, bukan bermaksud mengupas mengenai Jemaat Ahmadiyah yang tengah diperbincangkan tersebut. Banyak yang sudah membahas. Berikut kami sajikan sisi lain. Yaitu mengenal sosok pencetus Jemaat Ahmadiyah ini. Tidak lain, dia adalah Mirza Ghulam Ahmad. Siapakah dia sebenarnya? Apakah Anda mengenalnya?
Tulisan ini kami angkat dari Al Qadiayaniyah Dirasat Wa Tahlil, karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Idaratu Turjumani As Sunnah, Lahore, Pakistan, tanpa tahun. Meski hanya satu referensi yang kami jadikan pegangan, namun buku yang dikarang oleh Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir ini merupakan buku yang istimewa. Beliau, yang berkebangsaan Pakistan, sangat menguasai dan memahami permasalahan tentang Ahmadiyah sebagaimana tertulis dengan bahasa aslinya, yaitu bahasa Urdu. Rujukan beliau banyak bertumpu pada karya-karya asli Jemaat Ahmadiyah, baik yang dikarang Mirza Ghulam Ahmad atau para penerusnya.
KELUARGA GHULAM AHMAD
Dia menceritakan, namaku Ghulam Ahmad. Ayahku Atha Murtadha. Bangsaku Mongol. (Kitab Al Bariyyah, hlm. 134, karya Ghulam Ahmad). Namun dalam kesempatan lain, ia mengatakan, keluargaku dari Mongol… tapi berdasarkan firman Allah, tampaknya keluargaku berasal dari Persia, dan aku yakin ini. Sebab tidak ada seorang pun yang mengetahui seluk-beluk keluargaku seperti pemberitaan yang datang dari Allah Ta’ala (Hasyiah Al ‘Arbain, no. 2 hlm. 17, karyanya). Dia juga pernah berkata: “Aku membaca beberapa tulisan ayah dan kakek-kakekku, kalau mereka berasal dari suku Mongol, tetapi Allah mewahyukan kepadaku, bahwa keluargaku dari bangsa Persia”. (Dhamimah Haqiqati Al Wahyi, hlm. 77, karyanya). Yang mengherankan, ia juga pernah mengaku sebagai keturunan Fathimah binti Muhammad. (Tuhfah Kolart, hlm. 29).
Begitulah, banyak versi tentang asal-usul Mirza Ghulam Ahmad yang berasal dari pengakuannya sendiri. Maha Benar Allah dengan firmanNya, yang artinya : Kalau sekiranya Al Qur‘an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menjumpai pertentangan yang banyak di dalamnya.1
Setelah itu, ia menceritakan tentang ayahnya: “Ayahku mempunyai kedudukan di kantor pemerintahan. Dia termasuk orang yang dipercaya pemerintah Inggris. Dia pernah membantu pemerintah untuk memberontak penjajah Inggris dengan memberikan bantuan pasukan dan kuda. Namun sesudah itu, keluargaku mengalami krisis dan kemunduran, sehingga menjadi petani yang melarat”.2 (Tuhfah Qaishariyah, hlm. 16, karyanya).
Dari keluarga yang tidak jelas garis keturunan lagi melarat, Ghulam dilahirkan. Dia berkisah: “Aku dilahirkan pada tahun 1839 M atau tahun 1840 di akhir masa Sikh di Punjab”. (Kitab Al Bariyyah, hlm. 134, karyanya).
MASA KECIL MIRZA GHULAM AHMAD DAN PENDIDIKANNYA
Tatkala mencapai usia tamyiz, ia mulai belajar sharaf, nahwu dan beberapa kitab berbahasa Arab, bahasa Persia dan ilmu pengobatan.
Dia berkata,”Aku belajar Al Qur‘an dan kitabkitab berbahasa Persia dengan ustadz Fadhl Ilahi. Sedangkan sharaf dan nahwu serta ilmu pengobatanan, aku pelajari dari Ustadz Fadhl Ahmad”. Hanya saja, sesuai dengan keterangan Mahmud Ahmad, salah seorang anaknya, di koran Al Fadhl (5 Pebruari 1929), milik kelompok mereka, sebagian guru yang mengajar Ghulam Ahmad adalah pecandu opium dan ganja.
Selain itu, ia juga sempat mengeyam pembelajaran bahasa Inggris di sebuah madrasah khusus untuk pegawai pemerintah. Satu atau dua buku bahasa Inggris saja yang ia pelajari.
Pendidikan masa kecil yang dijalani Mirza Ghulam Ahmad dengan model ini (baca: yang sangat dangkal) menampakkan pengaruhnya dalam tulisan dan ucapan-ucapannya. Kesalahan-kesalahannya tidak hanya terjadi pada masalah-masalah yang pelik, tetapi juga terlihat pada perkara-perkara yang sederhana. Misalnya, ia pernah berkata: “Sesungguhnya saat Rasulullah dilahirkan, beberapa hari kemudian ayahnya meninggal”. (Baigham Shulh, hlm. 19, karyanya). Padahal ayah beliau meninggal dunia ketika beliau masih di dalam kandungan ibunya.
Contoh kekeliruan lainnya dalam kitabnya, Ainul Ma’rifah, hlm. 286, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan, bahwa Rasulullah mempunyai sebelas anak dan semuanya meninggal. Padahal yang benar berjumlah enam orang.
Pada waktu itu, keberanian merupakan ciri khas orang-orang yang mulia (bangsawan). Tetapi orang yang mengaku sebagai “Al Masih” ini tidak pernah masuk dalam peperangan, tidak belajar ilmu-ilmu keperwiraan, yang dahulu dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah kemuliaan dan sikap ksatria.
PENYAKIT-PENYAKIT YANG DIDERITANYA
Berbicara tentang penderitaan fisik (baca : penyakit) yang dialaminya sangat banyak. Tangan kanannya patah sehingga untuk mengangkat sebuah teko pun tidak mampu. (Sirah Al Mahdi, 1/198). Dia pernah menderita penyakit TBC dan diobati selama kurang lebih enam bulan (Hayatu Ahmad, 1/79). Dia juga pernah mengakui ditimpa dua penyakit. Di bagian atas tubuh, yaitu kepala yang sering pusing, dan di bagian bawah, yaitu kencing yang berlebihan. (Haqiqatul Wahyi, hlm. 206, karyanya). Pusing kepalanya ini sering mengganggunya. Kadang menyebabkannya terjatuh sehingga pingsan. Oleh karena itu, ia sering tidak berpuasa pada bulan Ramadhan yang ia jumpai. (Sirah Al Mahdi, 1/51, karya anaknya).
Dia juga mengalami gangguan syaraf, ingatan buruk tidak tergambarkan. Dua matanya sangat lemah. Anaknya menceritakan, bahwa Mirza Ghulam Ahmad pernah ingin berfoto bersama muridmuridnya. Pemotret memintanya untuk membuka matanya sedikit saja, agar gambar menjadi baik. Diapun berusaha dengan susah payah, tetapi gagal. (Sirah Al Mahdi, 2/77).
Sebagaimana pengakuannya sendiri di dalam harian Al Hakam, 31 Oktober 1901 M, otaknya juga mengalami kelemahan.
PERMULAAN KETENARAN DAN DAKWAHNYA
Permulaan ketenarannya dimulai dengan seolah-olah membela Islam. Setelah ia meninggalkan pekerjaan kantornya, ia mulai mempelajari buku-buku India Nashrani, sebab pertentangan dan perdebatan pemikiran begitu santer terjadi antara kaum Muslimin, para pemuka Nashara dan Hindu. Kebanyakan kaum Muslimin sangat menghormati orang-orang yang menjadi wakil Islam dalam perdebatan tersebut. Segala fasilitas duniawi pun diberikan kepadanya. Ghulam Ahmad berfikir, bahwa pekerjaan itu sangat sederhana dan mudah, mampu mendatangkan materi lebih banyak dari pendapatannya saat kerja di kantor.
Untuk mewujudkan gagasan yang terlintas dalam benaknya, maka pertama kali yang ia lakukan ialah menyebarkan sebuah pengumuman yang menentang agama Hindu. Berikutnya, ia menulis beberapa artikel di beberapa media massa untuk mematahkan agama Hindu dan Nashrani. Kaum Muslimin pun akhirnya memberikan perhatian kepadanya. Itu terjadi pada tahun 1877-1878 M.
Pada gilirannya, ia mengumumkan telah memulai proyek penulisan buku sebanyak lima puluh jilid, berisi bantahan terhadap lontaran-lontaran syubhat yang dilontarkan oleh kaum kuffar terhadap Islam. Oleh karena itu, ia mengharapkan kaum Muslimin mendukung proyek ini secara material. Sebagian besar kaum Muslimin pun tertipu dengan pernyataannya yang palsu, bahwa ia akan mencetak kitab yang berjumlah lima puluh jilid.
Sejak itu pula, ia menceritakan beberapa karomah (hal-hal luar biasa) dan kusyufat tipuan yang ia alami. Sehingga orang-orang awam menilainya sebagai wali Allah, tidak hanya sebagai orang yang berilmu saja. Orang-orang pun bersegera mengirimkan uang-uang mereka yang begitu besar kepadanya guna mencetak kitab yang dimaksud. (Majmuah I’lanat Ghulam Al Qadiyani, 1/25).
Volume pertama buku yang ia janjikan terbit pada tahun 1880 M, dengan judul Barahin Ahmadiyah. Buku ini sarat dengan propaganda dan penonjolan karakter penulisnya. Cerita tentang alam ghaib yang berhasil ia ketahui, juga berisi karomah dan kusyufatnya
Kitab-kitab volume berikutnya pun bermunculan. Namun, tatkala sampai kepada masyarakat, mereka keheranan, karena mendapati isi buku tersebut tidak seperti yang dikatakan penulis pertama kali, yaitu bantahan terhadap agama Hindu dan Nashrani, tetapi justru dipenuhi dengan cerita-cerita tentang karamah dan sanjungannya terhadap kolonialis Inggris.
Dari sini, masyarakat kemudian mengetahui, ternyata lelaki ini hanyalah seorang pendusta dan pencuri harta manusia. Buku yang telah diterbitkan hanya untuk mendapatkan popularitas dan memanfaatkan kaum Muslimin, menguras harta mereka, bukan untuk membela Islam. Apalagi setelah kaum Muslimin menemukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dalam buku yang ia terbitkan tersebut.
Banyak para ulama yang mendapat informasi, bahwa lelaki itu, sebenarnya tidak mempunyai keinginan, kecuali untuk membuat sebuah toko semata. Andai ada orang lain yang mampu membayarnya dengan jumlah yang lebih besar, maka ia akan mendukungnya, meskipun dengan melakukan pelanggaran terhadap Islam. Dan memang seperti itulah yang dikatakan oleh para ulama. Sebab, pada waktu itu, penjajah Inggris membutuhkan orang yang dapat memporak-porandakan kekuatan kaum Muslimin. Sehingga sang penjajah ini mencari orang dari kalangan kaum Muslimin untuk diperalat. Tatkala sudah mendapatkannya, kolonial ini akan memanfaatkan semaksimal mungkin. Demikian yang terjadi dengan Mirza Ghulam Ahmad. Oleh karena itu, ia penuhi kitab Volume ketiganya dengan pujian-pujian kepada kolonialis Inggris.
Perhatikan pengakuannya dalam Volume tersebut, tatkala ia menghadapi penentangan dari kaum Muslimin.
Dia menyatakan, ada sebagian orang dari kalangan kaum Muslimin yang menulis kepadaku, mengapa engkau memuji penjajah Inggris dalam volume ketiga? Mengapa engkau berterima kasih kepada pemerintah Inggris? Sebagian kaum Muslimin mencaci-maki dan mencelaku karena sanjungan ini. Hendaknya setiap orang mengetahui, bahwa aku tidak memuji pemerintah Inggris, kecuali berdasarkan ajaran Al Qur‘an dan Sunnah. (Barahin Ahmadiyah, Vol. 4).
Ringkasnya, penjajah telah memanfaatkannya dengan memberikan segala yang berharga untuknya karena pengkhianatannya kepada agama dan umat Islam. Persis seperti ayahnya yang dahulu juga berkhianat, tetapi kepada negeri India dan penduduknya.
Pada tahun 1885 M, ia memproklamirkan diri sebagai mujaddid dengan mendapat bantuan dan dukungan penuh dari penjajah. Enam tahun berikutnya, tahun 1891 M, ia mengklaim diri sebagai Imam Mahdi. Pada tahun itu juga, ia mengaku sebagai Al Masih. Dan klimaksnya pada tahun 1901 M, ia mendeklarasikan statusnya sebagai nabi yang mandiri, dan lebih mulia dari seluruh para nabi dan rasul.
Sebagian ulama dapat mendeteksi keinginannya sebelum ia mengaku sebagai nabi (palsu). Tetapi dengan segera ia mencoba menepisnya dengan berkata: “Aku juga beraqidah Ahlus Sunnah. Aku berkeyakinan Muhammad adalah penutup para nabi. Barangsiapa mengaku sebagai nabi, maka ia kafir, pendusta. Karena aku beriman bahwa risalah itu bermula dari Adam dan berakhir dengan kedatangan Rasulullah Muhammad”. (Pernyataan Ghulam pada 12 Oktober 1891 yang terdapat dalam kitab Tabligh Risalah, 2/2).
Kemudian dengan bisikan dari penjajah ia mengatakan untuk mengecoh: “Aku bukan nabi, tetapi Allah menjadikanku orang yang diajak bicara (kalim), untuk memperbarui agama Al Musthafa (Muhammad)”. (Mir-atu Kamalati Al Islam, hlm. 383).
Keterangan lain darinya: “Aku bukan nabi yang menyerupai Muhammad atau datang dengan ajaran yang baru. Justru yang ada dalam risalahku, aku adalah nabi yang mengikutinya (nabiyyun muttabi’)”. (Tatimmah Haqiqati Al Wahyi, hlm. 68, karyanya).
Dia juga mengatakan: “Demi Allah yang ruhku berada di genggamanNya, Dialah yang mengutusku dan menyebutku sebagai nabi…. Aku akan perlihatkan kebenaran pengakuanku dengan mukjizat-mikjizat yang jumlahnya tidak kurang dari tiga ratus ribu mukjizat”. (Tatimmah Haqiqati Al Wahyi, hlm. 68, karyanya).
Coba perhatikan pernyataan-pernyataanya. Dia betul-betul berusaha mengecoh kaum Muslimin. Padahal sebelumnya, ia menyatakan: “Siapa saja yang mengklaim diri sebagai nabi setelah Muhammad, berarti ia saudara Musailamah Al Kadzdzab, kafir lagi busuk”. (Anjam Atsim, hlm. 28 karyanya). Dia juga mengatakan: “Kami melaknat orang-orang yang mengaku sebagai nabi setelah Muhammad”. (Tabligh Risalah, 26/2).
Perlu juga disebutkan, kitab yang ia janjikan berjumlah lima puluh jilid, tidak ia selesaikan kecuali lima jilid saja. Sehingga ketika ditanya oleh para donatur, ia menjawab: “Tidak ada bedanya antara angka lima dan lima puluh, kecuali pada nolnya saja”. (Muqaddimah Barahin Ahmadiyah, 5/ 7 karyanya).
CACIAN-CACIAN MIRZA GHULAM AHMAD KEPADA PARA SETERUNYA
Dia pernah mengatakan, melalui “wahyu” yang konon diterimanya, bahwa salah seorang seteru akan mati pada waktu tertentu. Tetapi ternyata, seteru yang ia sebutkan tidak mati. Maka para ulama pun menyanggahnya dengan mengatakan: “Engkau katanya nabi, tidak berbicara kecuali dengan wahyu. Bagaimana mungkin janji Allah tidak tepat?”
Menanggapi bantahan dari para ulama ini, Mirza Ghulam Ahmad bukannya memberi jawaban dengan bukti dan dalil, tetapi justru melontarkan cacian : “Orang-orang yang menentangku, mereka lebih najis dari babi”. (Najam Atsim, hlm. 21 karyanya).
Cacian-cacian lain yang keluar dari Mirza Ghulam ini sudah sangat keterlaluan. Sebab orang-orang umum saja tidak akan sanggup mengatakannya. Sang anak, Mahmud Ahmad bin Ghulam pernah mendengar ada orang yang mencaci orang lain dengan sebutan “hai anak haram”, maka ia (Mahmud Ahmad) mengatakan: “Orang seperti ini, pada masa Umar dihukum pidana pukul karena melakukan qadzaf (tuduhan zina). Tetapi sekarang, dapat didengar seseorang mencela orang lain dengan celaan itu, namun mereka tidak bereaksi. Seolaholah celaan ini tidak ada artinya di mata mereka”. (Khutbah Al Jum’ah, Mahmud Ahmad bin Ghulam, koran Al Fadhl, 13 Februari 1922 M).
Tetapi ironisnya, ayahnya justru pernah mencela seorang ulama dengan ucapan “hai anak pelacur”. (Najim Atsim, hlm. 228, karyanya). Mengacu kepada pernyataan Mahmud Ahmad, bukankah berarti Mirza Ghulam ini pantas untuk dihukum pukul? Dan ucapan itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, tetapi sangat sering dilontarkan ayahnya “sang mujaddid akhlak”.
Contoh lainnya, di dalam khutbahnya, ia pernah menyampaikan : “Itu adalah kitab. Akan dilihat oleh setiap muslim dengan penuh kecintaan dan sayang, serta ia mendapatkan manfaat darinya. Dia akan menerima dan membenarkan dakwahku, kecuali keturunan-keturunan para pelacur yang telah Allah kunci hati mereka. Mereka tidak akan menerima”. (Mir-atu Kamalati Al Islam, hlm. 546, karyanya). Begitulah contoh akhlak Mirza Ghulam Ahmad. Semoga kita terlindung dari perbuatan tercela.
KOMENTAR MIRZA GHULAM AHMAD TERHADAP RASULULLAH MUHAMMAD
Banyak orang yang celaka muncul di muka bumi karena mencela para rasul, tetapi tidak banyak yang sekaliber Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya, dalam mencela para rasul, “mencuri” kenabian. Allah berfirman:
Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah … (QS Al An’am ayat 93).
Dia mengklaim sebagai nabi dan rasulNya, seperti yang dilakukan oleh Musailamah dan Al Aswad An ‘Ansi. Langkah berikutnya, ia mengaku sebagai orang yang paling utama dari seluruh nabi dan rasul. Sebagaimana ia menyatakan diri telah dianugerahi segala yang telah diberikan kepada seluruh para nabi.3 Dalam pernyataan yang lain, ia mengatakan, sesungguhnya Nabi (Muhammad) mempunyai tiga ribu mukjizat saja. “Sedangkan aku memiliki mukjizat lebih dari satu juta jenis,” kata Ghulam Ahmad.4
Di lain tempat, katanya, Islam muncul bagaikan perjalanan hilal (bulan, dari kecil), dan kemudian ditakdirkan mencapai kesempurnaannya di abad ini menjadi badr (bulan purnama), dengan dalil (menurutnya) … (Khutbah Al Hamiyah, hlm. 184, karya Ghulam). Sebuah tafsiran yang kental nuansa tahrifnya (penyelewengan), layaknya perlakuan kaum Yahudi terhadap Taurat. Sebuah makna yang tidak dikehendaki Allah, tidak pernah disinggung Nabi صلى الله عليه والسلام ataupun terbetik di benak salah seorang sahabat, para imam dan ulama tafsir. Demikian salah satu trik untuk merendahkan kedudukan Nabi Muhammad صلى الله عليه والسلام .
Salah seorang juru dakwah mereka, juga tidak ketinggalan ikut membeo merendahkan martabat Nabi صلى الله عليه والسلام dengan mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad pernah sekali datang kepada kami. Pada waktu itu, beliau lebih agung dari bi’tsah yang pertama. Siapa saja yang ingin melihat Muhammad dengan potretnya yang sempurna, hendaknya ia memandang Ghulam Ahmad di Qadian (Koran milik Qadiyaniah, Badr, 25 Oktober 1902 M).
KRITIK SANG NABI PALSU TERHADAP BEBERAPA NABI
Mirza Ghulam Ahmad pernah berkomentar tentang Nabi Isa: “Sesungguhnya Isa tidak mampu mengatakan dirinya sebagai orang shalih. Sebab orang-orang mengetahui kalau dia suka minum minuman keras dan perilakunya tidak baik”. (Hasyiyah Sitt Bahin, hlm. 172, karyanya).
Komentar miring lainnya, menurutnya, Isa cenderung menyukai para pelacur. Karena nenek-neneknya adalah termasuk pelacur. (Dhamimah Anjam Atsim , Hasyiyah, hlm. 7, karyanya).
Anehnya, meski perkataan yang keluar dari mulutnya sangat kotor, tetapi ternyata Mirza Ghulam Ahmad “bersadda” dalam hadits palsunya: “Sesungguhnya celaan, makian, bukan perangai orangorang yang shiddiq. Dan orang yang beriman, bukanlah orang yang suka melaknat”. (Izalatul Auham, hlm. 66).
CACIAN MIRZA GHULAM AHMAD KEPADA PARA SAHABAT
Para sahabat pun tidak lepas dari cercaan yang dilancarkan Ghulam Ahmad. Termasuk penghulu para remaja di surga kelak, yaitu Hasan, Hushain, juga Abu Bakar dan Umar.
Mirza Ghulam Ahmad ini mengatakan: “Orang-orang mengatakan aku lebih utama dari Hasan dan Hushain. Maka aku jawab,’Itu benar. Aku lebih utama dari mereka berdua. Dan Allah akan menunjukkan keutamaan ini’.” (I’jaz Ahmadi, hlm. 58, karya Ghulam Ahmad).
Salah seorang anaknya dengan congkak berkata: “Dimana kedudukan Abu Bakar dan Umar (tidak ada apa-apanya) bila dibandingkan dengan kedudukan Ghulam Ahmad? Mereka berdua saja tidak pantas untuk membawa sandalnya”. (Kitab Al Mahdi, Pasal 304, hlm. 57, karya Muhammad Husain Al Qadiyani).
Tentang Abu Hurairah, Ghulam mengatakan: “Abu Hurairah orang yang dungu. Dia tidak memiliki pemahaman yang lurus”. (I’jaz Ahmadi, hlm. 140).
Perhatikan! Padahal ia sendirilah orang yang dungu, lagi bodoh. Lihat pengakuannya : “Sesungguhnya ingatanku sangat buruk. Aku lupa orang-orang yang sering menemuiku (Maktubat Ahmadiyah, hlm 21).
KEMATIAN MIRZA GHULAM AHMAD
Menyaksikan sepak terjangnya yang kian menjadi, maka para ulama saat itu berusaha menasihati Mirza Ghulam Ahmad, agar ia bertaubat dan berhenti menyebarkan dakwahnya yang sesat. Nasihat para ulama ternyata tidak membuahkan hasil. Dia tetap bersikukuh tak mempedulikan. Akhirnya, para ulama sepakat mengeluarkan fatwa tentang kekufurannya. Di antara para ulama yang sangat kuat menentang dakwah Mirza Ghulam Ahmad, adalah Syaikh Tsanaullah.
Mirza Ghulam Ahmad sangat terusik dengan usaha para ulama yang mengingatkannya. Akhirnya dia mengirimkan surat kepada Syaikh Tsanaullah. Dia meminta agar suratnya ini dimuat dan disebarkan di majalah milik Syaikh Tsanaullah.
Di antara isi suratnya tersebut, Mirza Ghulam Ahmad tidak menerima gelar pendusta, dajjal yang diarahkan kepadanya dari para ulama masa itu. Mirza Ghulam Ahmad menganggap dirinya, tetap sebagai seorang nabi, dan ia menyatakan bahwa para ulama itulah yang pendusta dan penghambat dakwahnya.
Sang Nabi Palsu ini menutup suratnya dengan doa sebagai berikut :
Wahai Allah Ta’alaYang Maha Mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan dalam hati. Jika aku seorang pendusta, pelaku perusakan dalam pandanganMu, suka membuat kedustaan atas namaMu pada waktu siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Ustadz Tsanaullah masih hidup, dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan sebab kematianku.
Wahai Allah! Dan jika saya benar, sedangkan Tsanaullah berada di atas kebathilan, pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti tha’un, kolera atau penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin.
Begitulah bunyi doa Mirza Ghulam Ahmad. Sebuah doa mubahalah. Dan benarlah, doa yang ia tulis dalam suratnya tersebut dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Yakni, setelah 13 bulan lebih sepuluh hari sejak do’anya itu, yaitu pada tanggal 26 bulan Mei 1908 M, Mirza Ghulam Ahmad ini dibinasakan oleh Allah Ta’aladengan penyakit kolera, yang dia harapkan menimpa Syaikh Tsanaullah. Di akhir hayatnya, saat meregang nyawa, dia sempat mengatakan kepada mertuanya: “Aku terkena penyakit kolera”. Dan setelah itu, omongannya tidak jelas lagi sampai akhirnya meninggal. Sementara itu, Syaikh Tsanaullah masih hidup sekitar empat puluh tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad.
Meski kematian telah menjemput Mirza Ghulam Ahmad, tetapi bukan berarti ajarannya juga ikut mati? Ternyata kian tersebar di tengah masyarakat. Karenanya, sebagai seorang muslim, hendaklah lebih berhati-hati, agar tidak terjerat dengan berbagai ajaran sesat.
Ya, Allah. Perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai sebuah kebenaran, dan berilah kami kekuatan untuk melakukannya. Ya, Allah. Perlihatkan kepada kami kebatilan sebagai sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
Footnote:
1) QS An Nisa : 82.
2) Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, penulis kitab Al Qadiayaniyah, Dirasat Wa Tahlil mengatakan, hal itu kemungkinan lantaran pengkhianatannya kepada penduduk pribumi dan kerjasamanya dengan kekuatan kolonialis yang aniaya lagi kafir. (hal. 103)
3) Durr Tsamin, hlm. 287-288, karya Mirza Ghulam Ahmad.
4) Tadzkirah Asy Syahadatain, hlm. 72, karya Mirza Ghulam Ahmad.
Sumber : Al Qadiayaniyah Dirasat Wa Tahlil, karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Idaratu Turjumani As Sunnah, Lahore, Pakistan, tanpa tahun.
Majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426 H/2005 M