Setiap orang harus berhati-hati guna menjaga kerhomatan dan agamanya. Dialah pihak yang harus bertanggung-jawab atas segala tindakan yang ia perbuat.
Menghindari maksiat dan pelanggaran syariat jelas menjadi perhatian besar dari seorang Mukmin, karena jelas merusak citra dirinya di mata masyarakat dan menjauhkannya dari Allâh سبحانه وتعالى .
Akan tetapi, tidak itu saja yang harus dijauhi, ada hal-hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian untuk dihindari, meskipun asal hukumnya tidak haram (boleh), namun bisa mengundang kesalahpahaman dan akhirnya muncul prasangka-prasangka tidak baik pada diri orang yang menyaksikan perbuatan kita. Tujuannya, untuk menjaga keutuhan harga diri, jauh dari tuduhan-tuduhan miring yang mungkin terbersit pada benak orang yang menyaksikan kita berbuat hal tersebut. Akibatnya, orang –mungkin saja- akan menuduh kita bukan-bukan, kebencian akan muncul dari hati mereka dan akhirnya mereka akan menjauh dari kita.
Hal ini berdasarkan riwayat Imam al-Bukhari رحمه الله dan Imam Muslim رحمه الله , dari Shafiyah رضي الله عنها , istri Nabi ﷺ , berkata, “Waktu itu) Rasûlullâh sedang i’tikaf. Pada malam hari, aku mendatangi beliau. Aku berbicara dengan beliau (beberapa saat), lantas aku berdiri untuk kembali (ke rumah). Beliau berdiriuntuk mengantarku. (Ketika sampai pintu masjid, dekat rumah Ummi Salamah), ada dua orang Anshar lewat. Begitu melihat Nabi ﷺ , mereka mempercepat langkah. Maka Nabi ﷺ (memanggil dengan) berkata,
عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيِّ،
“Ke sini (kalian). Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyay (istriku sendiri)”.
Kemudian beliau ﷺ bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ وَإِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يَقْذِفَ فِيْ قُلُوْبِكُمَا شَيْئًا
Sungguh setan mengalir pada diri manusia seperti aliran darah. Dan aku khwatir ia (setan) melontarkan sesuatu (keburukan) pada hati kalian. (HR. al-Bukhari no. 2035, 3281 dan lain-lain, dan Muslim no. 2175)1
Menjadi kebiasaan Nabi ﷺ , beri’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Suatu malam, istrinya, Shafiyah رضي الله عنها mendatangi beliau untuk sekedar berbicara ringan. Ketika hendak pulang, Rasûlullâh ﷺ beranjak berdiri untuk menemani menuju rumahnya. Sesampainya di pintu masjid, ada dua orang Anshar lewat di depan mereka, dan segera mempercepat langkah. Melihat itu, Rasûlullâh ﷺ mengkhawatirkan bisikan setan menggoda mereka dengan melontarkan tipu-dayanya kepada mereka berdua lantaran menyaksikan ada seorang wanita bersama Rasûlullâh ﷺ .
Rasûlullâh ﷺ memanggil mereka dan menjelaskan fakta sebenarnya kepada mereka mengantisipasi terbukanya pintu setan pada hati mereka yang dapat berakibat munculnya prasangka buruk mereka kepada Nabi ﷺ . Bila betul-betul terjadi, mereka dapat binasa karena sudah bersuuzhan kepada insan kepercayaan Allâh سبحانه وتعالى . Imam Syafi’i رحمه الله berkata, “Beliau mengatakan demikian kepada mereka berdua karena mengkhawatirkan kekufuran pada mereka, jika benar–benar punya prasangka buruk kepada Nabi ﷺ . Maka beliau bersegera memberitahukan kepada mereka (fakta sebenarnya) sebelum setan melontarkan bisikannya pada jiwa mereka sehingga bisa membuat mereka binasa”. (Fathul Bâri 5/489)
Berduaan (berkhalwat) dengan wanita yang bukan mahram tidak boleh dalam syariat. Di sini, untuk menepis syak-prasangka yang macam-macam, Rasûlullâh ﷺ menjelaskan fakta sebenarnya bahwa wanita yang berdua dengan beliau adalah istrinya sendiri, Shafiyyah رضي الله عنها . Dan berduaan dengan istri dalam kegelapan tidak ada larangan. Namun tetap dirasa perlu untuk mengingatkan dua Sahabat itu untuk menutup pintu setan serapat-rapatnya, walaupun beliau tidak menuduh mereka dan mereka pun tidak sedang bersuudzan kepada Rasûlullâh ﷺ .
Di sini, seorang Muslim berkewajiban menghindarkan dirinya menjadi bahan celaan orang lain, juga memelihara dirinya dari bisikan-bisikan buruk yang muncul pada orang lain tentang dirinya. Ini penting, sebab ia tidak hanya hidup sendiri, akan tetapi ia sebagai makhluk madani (sosial) mesti akan berinteraksi dengan masyarakatnya.
Imam Nawawi رحمه الله mengatakan, “Jika seseorang berbuat sesuatu yang (sebenarnya) bukan (perbuatan) salah, hukumnya boleh (menurut syariat), akan tetapi secara zhahir merupakan perbuatan haram, makruhatau merusak kehormatan dan lainnya, hendaknya orang ini memberitahukan apa yang sebenarnya ia lakukan kepada teman-teman dan orang-orang yang menyaksikan dirinya berbuat itu, agar mendapatkan manfaat dari pemberitahuan tersebut, dan jangan sampai mereka (orang-orang) berdosa gara-gara persangkaan buruk mereka terhadap dirinya…” (Al–Majmû’ Syarhul Muhadzdzab 1/55).
Imam Ibnu Jamâ’ah رحمه الله juga mengatakan, “Demikian juga, seseorang harus menghindari tempat-tempat yang mengundang tuduhan meskipun jauh, jangan sampai melakukan hal-hal yang mengurangi kehormatannya, atau diingkari secara zhahir meskipun hukumnya boleh secara batin. Sebab itu akan menempatkan dirinya pada posisi tertuduh dan dicela, pada gilirannya orang–orang pun akan berprasangka buruk kepadanya, dan menganggap dirinya telah berbuat dosa. Bila terjadi demikian karena kebutuhan dan alasan lainnya, ia (harus) memberitahu orang yang melihatnya berbuat itu tentang hukumnya, alasannya, dan tujuannya. Supaya, yang melihat tidak terjerumus dalam dosa, dijauhi orang dan (bila seorang Ulama) ilmunya tidak dimanfaatkan (masyarakat)…” (Tadzkiratus Sâmi wal Mutakallim hlm. 19-20)
Al-Hâfizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata, “Dalam hadits ini (terdapat pelajaran) keharusan menjaga diri dari perbuatan yang bisa mendatangkan suuzhan (dari orang lain), kewajiban membentengi diri dari makar setan, (dan) pentingnya menyampaikan alasan”. (Fathul Bâri 5/489)
Imam Ibnu Daqîq al-‘Id رحمه الله juga berpesan, “Ini lebih ditekankan pada para Ulama dan orang–orang yang menjadi panutan. Mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang mengundang suuzhan (orang lain) kepada dirinya, kendatipun ia punya alasan”. (Fathul Bâri 5/489)
Sebagai pengamalan hadits di atas, seorang Muslim sebelum bertindak harus berhati-hati terlebih dahulu, apalagi bila dirinya termasuk Ulama atau panutan masyarakat. Bila sekiranya melakukan sesuatu yang berpotensi menimbulkan prasangka buruk dari orang yang menyaksikannya, maka menjadi keharusan dirinya untuk menyampaikan fakta sebenarnya -walaupun ia punya alasan untuk itu dan tahu hukumnya tidak haram- sehingga segala prasangka buruk lenyap dari siapa saja yang melihatnya berbuat demikian. Wallâhu a’lam. ? (Abu Minhal)
Footnote:
1 Imam Nawawi رحمه الله memberi judul hadits ini dengan bab penjelasan bahwa ditekankan bagi orang yang terlihat berduaan dengan wanita, padahal wanita itu istrinya atau mahramnya, hendaknya ia berkata (menjelaskan) ,”Ini adalah Si A (istri atau mahramku)” untuk menepis prasangka buruk padanya (Ikmâlu Mu’lim 7/63)
Sumber: Majalah As-Sunnah (Baituna) edisi 08 Thn. XV Muharram 1433 – Desember 2011