Alangkah indahnya perjalanan hidup para ulama, para imam, yang telah Allâh سبحانه وتعالى hiasi hidup mereka dengan ilmu dan amal, mengabadikan keharuman namanya sehingga tak hilang dari hati orang-orang yang beriman.
Semoga kecintaan kaum Mukminin kepada mereka menjadi pertanda kecintaan Allâh terhadap insan-insan tersebut, berdasarkan sabda Nabi ﷺ :
إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيْلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ – قَالَ- فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِيْ فِيْ السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ. فَيُحِبُّوهُ. فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ -قَالَ- ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِيْ الأَرْضِ. -رواه مسلم
Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, maka malaikat Jibril dipanggil. Kemudian Allâh berfirman (kepadanya), “Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan maka cintailah dia”. Malaikat Jibril pun mencintainya. Lantas, malaikat Jibril berkata kepada penghuni langit, “Sesungguhnya Allâh mencintai si Fulan, maka cintailah dia”. Mereka pun mencintainya. Selanjutnya orang tersebut ditetapkan menjadi orang yang diterima (dicintai) oleh penduduk bumi. (HR.Muslim)1
Kaum muslimin juga memuji mereka karena ilmu dan amal shaleh yang telah mereka lakukan. Mudah-mudahan hal itu awal kabar baik bagi mereka, sebagaimana keterangan Nabi ﷺ ketika ditanya oleh salah seorang sahabat,
أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ ( تِلْكً عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ). رواه مسلم
Bagaimana menurutmu jika seseorang melakukan amal shalih (dengan ikhlas), kemudian dipuji oleh orang-orang? Beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira bagi seorang Mukmin yang disegerakan (oleh Allah di dunia ini)”2
Tokoh kita kali ini termasuk di antara imam panutan yang dicintai oleh umat Islam. Orang yang menelaah biografinya akan menyaksikan potret zuhud beliau terhadap harta dunia, dan kecintaannya terhadap akhirat, wira’i dan semangat dalam menuntut ilmu dan mengamalkannya, tegar dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Betapa banyak karya ilmiyah beliau yang bermanfaat bagi umat jazahullahu khaira ‘annaa wa’anilmuslimin. Inilah Imam Yahya bin Syaraf bin Murri al-Hizamy, yang lebih populer dengan sebutan Imam Nawawi t. 3
Rela dengan Kesederhanaan demi Ilmu
Di masa kecil, ia mempelajari al-Qur’ân di kampung halamannya, dan menghatamkannya ketika usia baligh. Setelah itu, ayahnya mengajaknya pergi ke Damaskus untuk menimba ilmu di sana. Selama dua tahun Imam Nawawi kecil menghabiskan waktu di sana. Kesungguhan dan ketekunannya dalam mempelajari ilmu syar’i sampai melupakannya untuk istirahat, bahkan sekedar merebahkan badan pun tidak. Soal makanan, beliau hanya mencukupkan diri dengan makanan sederhana yang telah disediakan oleh madrasah tempatnya menimba ilmu, sehingga lebih bisa menghemat waktu dan dapat menggunakannya untuk belajar, menghafal dan murâja’ah (mengulangi pelajarannya). Karena itulah, diceritakan oleh muridnya, Ibnu Aththâr t, beliau dapat menghafal kitab at-Tanbîh dalam waktu singkat.
Ibnu Atthâr رحمه الله menuturkan, “Syaikh (Imam Nawawi) bercerita kepadaku, “Sewaktu aku berumur sembilan belas tahun, ayahku mengajakku pergi ke Damaskus, untuk menimba ilmu di madrasah Rawahiyah. Aku berguru di sana selama dua tahun. Selama dua tahun itu, aku tidak pernahmeletakkan punggung (berbaring). Makanku selama di sana hanyalah makanan sederhana yang telah disediakan oleh madrasah. Dan aku telah menghafal kitab at-Tanbîh(fil Furű’ asy-Syâfi’iyyah asy-Syairazi) dalam waktu kurang lebih empat bulan setengah”.4
Lihatlah, bagaimana beliau kesederhanaan beliau di dunia ini saat mengawali mencari ilmu, mengutamakan ilmu daripada mencari kesenangan dunia yang semu. Rela tidak merasakan lezatnya berbaring demi mendapatkan kelezatan ilmu. Sungguh benar, apa yang dikatakan oleh salah seorang ulama, “Dalam kesederhanaan dan kesengsaraan aku mencari ilmu. Kemudian dengan ilmu, aku menjadi mulia dan dicari orang”.
Memanfaatkan Waktu untuk Mendapatkan Ilmu
Sering kita mendengar perkataan seorang alim yang berbunyi:
أُعْطِ الْعِلْمَ كُلُّكَ يُعْطِكَ نِصْفَهُ
Berikan seluruh jiwa ragamu untuk ilmu, niscaya ia (hanya) akan memberikan sebagiannya (saja)
Melihat perjalanan hidup para ulama dalam mencari ilmu, mereka telah menerjuninya secara total demi memperoleh ilmu, termasuk Imam Nawawi t. Beliau sangat memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu. Sekali lagi, murid beliau, Ibnu ‘Atthâr رحمه الله mengisahkan, “Syaikh (Imam Nawawi) pernah mengatakan kepada kami bahwasanya beliau tidak pernah menyia-nyiakan waktunya, baik siang maupun malam. Waktunya dihabiskan untuk ilmu, sampai pun saat berada di tengah perjalanannya, beliau memanfaatkan waktunya untuk membaca dan murâja’ah. Beliau dalam keadaan seperti ini selama enam tahun. Setelah itu, beliau sibuk menulis dan mengajar serta mendakwahi umat dan dan para pemimpin mereka.5
Semangat dalam Menghadiri Majelis Ilmu
Ibnu ‘Atthâr berkata,” Syaikh (Imam Nawawi) mengatakan, dulu (ketika menuntut ilmu), setiap harinya beliau menghadiri dua belas majelis ilmu. Dalam sehari, beliau mendalami al-Wasith (dua kali majlis), alMuhadzdzab, al-Jam’u bainash Shahihain, Shahîh Muslim, al-Luma’karya Ibnu Jinni, Ishlâhul Manthiq, Sharf,al-Luma’ karya Abi Ishaq, al-Muntakhab karya Fakhruddin, Asmâ’ Rijâl, Ushűluddîn, masing-masing satu majelis.6
Ibnu Katsir رحمه الله juga mengatakan, “Beliau setiap hari belajar kepada para syaikhnya (gurunya) dua belas pelajaran. (Setelah beliau menjadi alim), beliau menyibukkan diri dengan menulis, sehingga menghasilkan banyak karya ilmiyah. Di antara karya beliau tersebut ada yang telah beliau selesaikan dan ada pula yang belum terselesaikan. Di antara yang telah terselesaikan adalah kitab Syarh Shahîh Muslim, arRaudhah (Raudhatut Thâlibin), al-Minhâj, Riyâdhus Shâlihîn, al-Adzkâr, at-Tibyân, Tahîr Tanbîh wa Tashhîh, Tahdîbul Asmâ’ wal Lughât, Thabaqâtul Fuqahâ’ dan lain-lain.
Dan yang belum terselesaikan – andaikata beliau menyelesaikannya, maka tidak ada yang bisa menandingi kitab tersebut, yakni Syarh Muhadzdzab yang bernama al-Majmű’. Beliau baru menyelesaikan sampai bab riba saja. Susunannya bagus dan sangat bermanfaat serta kritis. Dalam kitab tersebut, beliau mengupas fiqih madzhab Syâfi’i dan yang lainnya, menerangkan hadits dengan baik, menjelaskan kalimat-kalimat asing dan perkara-perkara penting yang hanya dijumpai dalam kitab tersebut…”.7
Demikianlah sedikit potret dari sisi kehidupan Imam Nawawi t, seorang yang sangat perhatian dengan ilmu syar’i. Waktunya dihabiskan untuk mempelajari ilmu, ibadah, menulis dan berdakwah, sehingga tidak sempat menikah sampai ajal menjemput nyawa. Allâh سبحانه وتعالى memberkahi karyakarya beliau sehingga sampai sekarang pun menjadi bahasanbahasan dalam kajian-kajian. Sebut saja yang paling familiar di telinga masyarakat, kitab al-Arba’în, Riyâdhus Shâlihîn, al-Adzkâr. Semoga Allâh سبحانه وتعالى merahmati beliau dengan limpahan rahmat yang luas.
Pelajaran yang Bisa Dipetik
- Hendaknya kaum Muslimin lebih memperhatikan dan menelaah perjalanan hidup Nabi n, para Sahabat dan para ulama Islam. Bukan meniru siapapun orang asalkan memiliki popularitas, tanpa menengok pada akhlaknya yang bejat dan kepribadiannya yang buruk.
- Waktu adalah barang yang sangat berharga bagi kehidupan, maka janganlah disia-siakan.
- Pentingnya ilmu syar’i bagi kehidupan umat.
- Dengan iman dan ilmu syar’i, Allâh سبحانه وتعالى mengangkat harkat dan martabat seseorang di dunia dan di akhirat.
- Majelis ilmu syar’i hendaknya lebih diutamakan daripada majelis-majelis lainnya yang tidak bermanfaat.
- Menuntut ilmu syar’i, mengamalkan serta berdakwah adalah thariqatus Salaf(jalan Salafus shalih).
- Dekadensi moral suatu bangsa disebabkan oleh minimnya pengetahuan terhadap ilmu syar’i
Footnote:
1) Shahîh Muslim no.2637
2) Ibid no.2642
3) Al-A’lâm (8 /149)
4) Thabaqât Asy-Syâfi’iyyah karya Ibnu Qâdhi Syuhbah (2/153-154)
5) Thabaqât Asy-Syâfi’iyyah karya Ibnu Qâdhi Syuhbah (2/155)
6) Thabaqât Asy-Syâfi’iyyah karya Ibnu Qâdhi Syuhbah (2/154)
7) Al-Bidâyah wan Nihâyah (13/326)