Ustadz Abu Minhal, Lc
Seorang Muslim yang baik akan suka untuk berderma dan berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan dan yang tengah terjerat kesulitan. Tangannya terbentang membawa derma dan bantuan, meskipun tidak diminta. Ia terdorong untuk menolong sesama dengan harta yang dimiliki oleh anjuran-anjuran agama yang menyemangati umat Islam untuk memperhatikan kebutuhan orang lain. Selain itu, keyakinannya bahwa sifat al-karam (dermawan) merupakan salah satu akhlak Islam dan salah satu sifat sosial seorang Muslim yang taat.
Dalam sejarah Islam, sifat al-karam (dermawan) sangat melekat pada golongan Anshar dan menjadi simbol mereka. Bahkan mereka melakukan jenis al-karam yang terbaik, yaitu al-îtsâr yang menjadi salah satu faktor Allâh Azza wa Jalla Rabbul ‘Alamin memuji mereka dalam al-Qur`ân.[1]
Mengenal Asal-Usul Kaum Anshâr
Kata الأنصار (al-Anshar) adalah bentuk jamak dari kata ناصر (nâshir) yang bermakna penolong. Mereka itu adalah penduduk Madinah yang telah beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi orang-orang yang menolong Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua suku besar kota Madinah, Aus dan Khazraj. Sebelumnya, mereka dikenal dengan Bani Qailah. Qailah adalah ibu yang menyatukan mereka.
Predikat al-Anshâr yang mulia ini hanya melekat pada diri mereka saja, karena mereka telah menyediakan tempat tinggal bagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang datang berhijrah dari Makkah ke Madinah yang kemudian dikenal dengan kaum Muhâjirîn. Tidak itu saja, mereka juga memperhatikan keperluan-keperluan dan kebutuhan-kebutuhan hidup kaum Muhajirin dan dengan jiwa dan harta-benda mereka, serta lebih mengutamakan kepentingan kaum Muhajirin dalam banyak hal daripada kepentingan diri dan kebutuhan mereka sendiri, walaupun mereka dalam kesulitan hidup dan membutuhkan. Demikian uraian al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah.[2]
Allâh Azza wa Jalla pun menyebut mereka dengan penamaan ini. Hal ini berdasarkan satu atsar dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang pernah ditanya oleh seseorang bernama Ghailan bin Jarîr, “Tentang (nama) Anshâr, apakah kalian menamakan diri kalian dengannya atau Allâhlah yang menamakan kalian dengannya?”. Anas Radhiyallahu anhu menjawab, “Bahkan Allâhlah yang menamakan kami dengan sebutan Anshar”[3]
Perkenalan mereka dengan Islam dimulai dengan kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanfaatkan musim haji untuk mendakwahi kabilah-kabilah yang datang ke Makkah setelah datangnya perintah untuk berdakwah secara terang-terangan. Pada tahun ke-11 kenabian, enam orang dari Madinah menerima Islam. Seruan dakwah yang disampaikan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka pada suatu malam tidak menemui hambatan. Sebagian mereka berkata kepada yang lain, “Kalian tahu tidak, demi Allâh, ia adalah benar-benar nabi (akhir zaman) yang sudah disebut-sebut oleh kaum Yahudi untuk memerangi kalian dengannya. Janganlah kalian sampai didahului orang-orang Yahudi untuk mengimaninya”.
Pada musim haji tahun ke-12 dan 13 kenabian, terjadilah baiat (perjanjian setia) antara rombongan dari mereka dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mina yang kemudian dikenal dengan Baiat ‘Aqabah Pertama dan Baiat ‘Aqabah Kedua. Dan pada Baiat Aqabah II, mereka menerima poin-poin baiat, di antaranya untuk bertauhid kepada Allâh, taat dalam keadaan senang dan malas, serta berjanji membela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]
Karakter Anshar, Dermawan Dan Lebih Mengutamakan Kebutuhan Orang Lain
Allâh Azza wa Jalla telah memberitahukan tentang keutamaan kaum Anshar dalam al-Qur`ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” [ Al-Hasyr/59:9]
Allâh Azza wa Jalla memuji kaum Anshâr karena lebih mengutamakan orang-orang yang lebih membutuhkan daripada diri mereka sendiri. Mereka mulai dengan orang-orang lain terlebih dahulu sebelum diri mereka, saat mereka sendiri butuh terhadap hal tersebut. Kedudukan ini lebih tinggi daripada kedudukan orang-orang yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dengan firman-Nya yang artinya: (Dan mereka memberikan makanan yang disukainya)[5] dan firman-Nya: (dan memberikan harta yang dicintai)[6]
Sebab, orang-orang itu, yang disebutkan dalam dua ayat di atas, mereka bersedekah dalam keadaan menyukai apa yang mereka sedekahkan. Dan mungkin saja mereka tidak membutuhkannya atau tidak ada kepentingan mendesak terhadapnya. Sementara kaum Anshar mengesampingkan diri mereka, meskipun ada kebutuhan dan keperluan mereka terhadap apa yang mereka sedekahkan.[7]
Ini adalah salah satu karakter golongan Anshar yang dengan itu mereka mengalahkan orang lain dan menjadi ciri khas mereka yang membedakan mereka dari orang lain, yaitu al-îtsâr yang merupakan bentuk kedermawanan yang sempurna, dalam bentuk mengutamakan orang lain dengan sesuatu yang disukai oleh jiwa seperti harta dan lain sebagainya dan memberikannya kepada orang lain, meskipun membutuhkan hal tersebut, bahkan dalam keadaan kritis dan kesusahan.
Demikian ini tidak terjadi kecuali dari seseorang yang berakhlak bersih dan cintanya karena Allâh Azza wa Jalla lebih diutamakan daripada cintanya kepada syahwat dan kelezatannya. Di antaranya kisah nyata seorang Anshâr yang menjadi sebab turunnya ayat ini, ketika lebih mengutamakan tamu dengan makanan yang dimiliki untuk dirinya dan keluarga serta anak-anak, sehingga mereka bermalam dalam keadaan lapar.[8]
Seorang Muslim ketika menyaksikan orang lain pantas diutamakan daripada dirinya, ia akan melakukannya. Ia kenyangkan orang lain, meski harus menahan lapar, menyegarkan tenggorokan orang lain, walau harus merasa kehausan. Hal ini bukanlah pemandangan asing dan aneh pada seorang Muslim yang taat kepada ajaran agamanya.[9]
Keluarga Dermawan Yang Menjadi Sebab Turunnya Ayat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ada seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu mengatakan, “Sesungguhnya aku dalam kesulitan”. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ke sebagian istri Beliau, lalu istri Beliau itu mengatakan,”Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, kami tidak memiliki selain air saja”. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang ke istri yang lain, dan mengatakan jawaban yang serupa, hingga semua istri-istri Beliau mengatakan demikian. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang mau menjamu orang ini malam ini?”.Maka, seorang lelaki Anshâr berkata, “Saya, wahai Rasûlullâh”. Maka orang Anshar tersebut bertolak bersamanya menuju tempat tinggalnya. Ia berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasûlullâh!”.
Dalam riwayat lain, lelaki dari Anshar ini berkata kepada istrinya, “Apakah engkau punya sesuatu?”. Istrinya menjawab, “Tidak, selain makanan untuk anak-anak”. Lelaki Anshâr ini mengarahkan, “Coba lalaikan anak-anak (dari makanan itu) dengan sesuatu. Dan jika mereka menginginkan makan malam, maka tidurkanlah mereka!. Dan bila tamu kita telah masuk, maka padamkanlah penerangan, dan tampakkanlah kepada dia, seolah-olah kita sedang makan (bersamanya)”. Sang tamu makan (jamuan), sementara mereka melewati malam dengan mengikat perut mereka. Di pagi hari, lelaki (Anshâr) ini menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Beliau memuji mereka (dengan berkata): “Sungguh, Allâh takjub dengan perbuatan kalian terhadap tamu kalian semalam”. Kemudian Allâh menurunkan firman-Nya:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”. [Muttafaqun alaih][10]
Hadits ini menunjukkan orang-orang Anshâr suka mengutamakan orang lain meski dalam keadaan membutuhkan. [11]
Penutup
Semoga beberapa kisah keluarga dermawan dari golongan Anshâr ini bermanfaat bagi kita dan menggerakkan hati kita untuk berbuat lebih dalam berinfaq dengan apa yang kita miliki, apalagi di bulan Ramadhan yang akan tiba. Karena seorang Muslim berjalan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang telah Allâh Azza wa Jalla ridhai dan puji. Amin.
Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XXI/1438H/2017M.
_______
Footnote
[1] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 789
[2] Fathul Bâri 1/122
[3] HR. Al-Bukhari no.3776
[4] Raudhatul Anwâr fî Sîratil An-Nabiyyil Mukhtâr hlm.129-135.
[5] QS. Al-Insan/76 :8 6
[6] QS. Al-Baqarah/2:177
[7] Lihat Tafsir al-Qur`anil ‘Azhim 8/71.
[8] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 789
[9] Hâkadzâ ‘Allamanan Nabiyyu hlm. 178
[10] HR. Al-Bukhâri no.3798 dan Muslim no.2054
[11] Bahjatun Nâzhirîn 1/618.