KEUTAMAAN ORANG YANG TIDAK DILALAIKAN

oleh -1911 Dilihat
oleh

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. [An-Nûr/24:37]

Ayat yang agung ini menegaskan betapa besar keutamaan dan kemuliaan seorang hamba yang tidak dilalaikan dengan kesibukan duniawi dan mencari keuntungan materi dari mengingat Allâh Azza wa Jalla dan beribadah kepada-Nya, karena puncak dari cita-cita dan harapan tertinggi mereka adalah meraih keridhaanNya dengan mengutamakan ketaatan kepada-Nya[1].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Di dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa cita-cita yang tinggi dan tekad yang kuat (untuk selalu mengutamakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla), sehingga dengan itu mereka selalu memakmurkan masjid-masjid yang merupakan rumah-rumah Allâh Azza wa Jalla di muka bumi sekaligus tempat beribadah, bersyukur, mentauhidkan dan mensucikan-Nya”[2]

Beberapa Mutiara Faidah Yang Dapat Kita Petik Dari Ayat Ini :

  1. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan ‘berdzikir kepada Allâh’ (dalam ayat ini) ada tiga pendapat :

  • Shalat (lima waktu) yang wajib. Ini pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu dan ‘Atha’ Radhiyallahu anhu

  • Menunaikan hak-hak Allâh Azza wa Jalla. Ini pendapat Qatâdah rahimahullah.

  • Menyebut nama Allâh Azza wa Jalla dengan lisan. Ini pendapat Abu Sulaiman ad-Dimasyq.[3]

  1. Sebagian Ulama ahli tafsir menyebutkan bahwa usaha mencari keuntungan materi dengan berdagang dan berjual-beli merupakan urusan dunia yang paling besar pengaruh buruknya dalam menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat Allâh Azza wa Jalla.[4]

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “(Dalam ayat ini) Allâh Azza wa Jalla menyebutkan perdagangan secara khusus karena inilah (aktivitas) yang paling besar (potensinya) dalam melalaikan manusia dari mengingat Allâh Azza wa Jalla.[5]

  1. Pasar dan tempat berjual-beli yang merupakan tempat manusia disibukkan dengan mengurus harta perniagaan dan menghitung keuntungan materi, di situlah tempat berkumpulnya syaitan dan bala tentaranya, yang selalu berusaha untuk membuat manusia lalai dan lupa mengingat Allâh Azza wa Jalla.[6]

Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهَا، وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهَا

Tempat yang paling dicintai Allâh Azza wa Jalla adalah masjid dan yang paling dibenci-Nya adalah pasar.[7]

  1. Semua aktivitas yang berhubungan dengan harta benda dan keuntungan duniawi merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah tersebut.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.

Artinya, menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allâh-lah pahala yang besar [At-Taghâbun/64:15][8].

Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XXI/1438H/2017M.
_______
Footnote
[1] Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 569)
[2] Kitab Tafsîr Ibni katsîr (3/390).
[3] Kitab Zâdul Masîr (6/48)
[4] Lihat kitab tafsir Fathul Qadîr (4/52).
[5] Kitab tafsir Fathul Qadîr (4/52).
[6] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi (9/272) dan Faidhul Qadîr (1/170).
[7] HR. Muslim (no. 671)
[8] Lihat kitab Faidhul Qadîr (2/507).