- Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut.
- Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Qs al Insan/76:1-2).
Ketahuilah, sesungguhnya surat al Insan ini memiliki kandungan yang sangat menakjubkan meski ringkas. Allah سبحانه وتعالى memulainya dengan penyebutan penciptaan manusia dari nuthfah (hasil pembuahan antara sel telur lelaki dan wanita) yang bercampur. Dengan kekuasaan, kelembutan dan hikmah-Nya, Allah menciptakannnya melalui beberapa fase; mengalihkannya dari keadaan satu ke keadaan berikutnya, sampai akhirnya proses penciptaan tersebut tuntas, bentuk dan rupanya sempurna. Selanjutnya, Allah mengeluarkannya sebagai manusia yang sempurna, bisa mendengar lagi melihat.
Begitu daya tangkap dan penalarannya beranjak sempurna, Allah menunjukinya kepada dua jalan. Yaitu jalan kebaikan dan kejelekan. Allah سبحانه وتعالى berfirman :
اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا ٣
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Qs al Insan/76:3).
Berikutnya, Allah سبحانه وتعالى mengemukakan tempat kesudahan orang-orang yang bersyukur dan orang-orang yang kufur, serta apa-apa yang disediakan bagi masing-masing golongan itu.
Allah memulai dengan memaparkan kesudahan orang-orang kafir (secara global) dan diiringi dengan penjelasan kesudahan orang-orang yang bersyukur. Dan di penghujung surat ini, Allah menyebutkan orang-orang yang meraih rahmat terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan keterangan orang-orang yang ditimpa siksa.
Allah سبحانه وتعالى berfirman :
يُّدْخِلُ مَنْ يَّشَاۤءُ فِيْ رَحْمَتِهٖۗ وَالظّٰلِمِيْنَ اَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا ࣖ ٣١
Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (surga). Dan bagi orang-orang zhalim disediakan-Nya adzab yang pedih. (Qs al Insan/76:31).
Jadi, Dia memulai surat ini dengan fase pertama manusia, yaitu nuthfah, dan mengakhiri surat al Insan dengan menyebutkan keadaan fase penghujungkehidupanrnya. Yaitu, menjadi yang meraih rahmat atau tertimpa siksa.
Di tengah-tengah ayat, Allah menyebutkan amal perbuatan dua golongan tersebut. Mengenai orang-orang yang ditimpa siksaan, Allah menyebutkan secara global dalam firman-Nya:
اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ سَلٰسِلَا۟ وَاَغْلٰلًا وَّسَعِيْرًا ٤
Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. (Qs al Insan/76:4).
Ayat di atas diiringi dengan menceritakan amal perbuatan orang-orang yang mendapat rahmat-Nya dan balasan kepada mereka secara detail.
Jadi, dalam surat ini, mengandung dua klasifikasi anak Adam. Mereka itu, menjadi golongan kiri -yaitu kaum kuffar- dan golongan kanan yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu golongan abrar (orang-orang yang berbuat kebajikan) dan muqarrabun (orang-orang yang didekatkan kepada Allah).
Allah سبحانه وتعالى menyebutkan, minuman kaum al abrar dicampur dengan minuman para hamba Allah dari kalangan muqarrabin. Karena mereka juga mencampur amalan-amalan mereka. Sedangkan kalangan muqarrabun, minuman mereka adalah minuman yang murni, sebagaimana mereka telah memurnikan amalan-amalan mereka. Allah سبحانه وتعالى menjadikan minuman orang-orang muqarrabin dari bahan kafur, yang mengandung unsur kesejukan dan kekuatan, sesuai dengan kesejukan keyakinan dan kekuatan yang mengendap di dalam hati mereka dan menembusnya saat berada di dunia, disamping usaha mereka untuk menjauhkan diri dari Neraka Sa’ir.
Allah سبحانه وتعالى memberitahukan (juga), bahwa bagi mereka minuman lain yang bercampur dengan zanjabil (jahe), karena aromanya yang sedap dan kelezatan cita-rasanya, serta kehangatan yang akan merubah dinginnya kafur dan melarutkan kotoran-kotoran dan membersihkan rongga-rongga (tubuh).
وَيُسْقَوْنَ فِيْهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجَبِيْلًاۚ ١٧
Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Qs al Insan/76:17).
Karena itu, Allah سبحانه وتعالى menyebutnya sebagai ma‘an thahura. Artinya minuman yang membersihkan lambung-lambung mereka. Allah سبحانه وتعالى memberikan sebutan kepada mereka dengan keelokan fisik dan batin. Allah berfirman:
وَلَقّٰىهُمْ نَضْرَةً وَّسُرُوْرًاۚ ١١
[dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. -Qs al Insan/76 ayat 11].
(An-nadhrah, kejernihan) merupakan sifat keelokan pada wajah mereka. Sedangkan surur (keceriaan hati), adalah keindahan hati-hati mereka. Seperti firman Allah سبحانه وتعالى :
تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيْمِۚ ٢٤
Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. (Qs al Muthaffifin/83:24).
Kemudian, Allah سبحانه وتعالى menyampaikan sebagian amal perbuatan kalangan al abrar yang mengisyaratkan kepada yang mendengarnya, bahwa mereka telah mengumpulkan seluruh amal-amal baik. Allah menyebut sifat mereka yang memenuhi nadzar.
يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهٗ مُسْتَطِيْرًا ٧
Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana. (Qs al Insan/76:7).
Allah سبحانه وتعالى menyebutkan sifat menepati nadzar yang merupakan kewajiban tingkat terendah. Lantaran manusialah yang mewajibkannya atas dirinya sendiri (bukan Allah). Tingkatannya di bawah kewajiban yang Allah gariskan kepadanya. Bila manusia telah memenuhi kewajiban yang paling lunak di antara dua kewajiban yang ia pegangi itu, sudah tentu dan pasti ia akan lebih memperhatikan untuk menjalankan kewajiban yang lebih agung yang telah Allah wajibkan atas dirinya.
Dari sini, sejumlah ahli tafsir menyatakan, kalangan muqarrabun telah menepati ketaatan kepada Allah dan menjalankan hak-Nya yang menjadi kewajiban mereka. Demikian ini, karena jika seorang hamba telah mengikrarkan sebuah nadzar bagi Allah sebagai amalan ketaatan, lantas memenuhinya, berarti ia menjalankannya semata[1]mata hanya lantaran telah menjadi hak milik Allah yang wajib ia tunaikan. Hak ini berada dalam lingkup hak-hak Allah, sama dengan yang lain.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى memberitahukan diantara sifat mereka yang lain yaitu takut kepada hari yang penuh kesulitan, yakni hari Kiamat. Ketakutan mereka kepada hari Kiamat nampak dari keimanan mereka kepada hari Akhir, pengekangan diri dariberbuat maksiat yang akan mendatangkan malapetaka, pelaksanaan amal-amal ketaatan yang bermanfaat bagi mereka dan sebaliknya, mereka pun meninggalkan perbuatan yang akan berbuah mudharat bagi mereka.
وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا ٨
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (Qs al Insan/76:8).
Berikutnya (pendapat di atas), Allah سبحانه وتعالى memberitahukan karakter mereka yang suka memberi makanan kepada orang lain, meskipun mereka begitu menyukainya. Sesuatu yang sedemikian penting dan besar nilainya, dapat menyebabkan jiwa manusia menjadi pelit, hati merasa sangat membutuhkannya, tangan ingin mendekapnya seerat mungkin. Ini menjadi pertanda, betapa besar dan berharganya kebutuhan mereka terhadap makanan itu. Sehingga, jika mereka telah mengorbankannya dalam kondisi seperti itu, berarti ini menunjukkan mereka lebih mudah dalam memenuhi hak sesama.
Jadi, Allah سبحانه وتعالى menyebutkan sebagian hak-hak sesama yang dipenuhi (oleh mereka), secara konkret dalam bentuk memberi bahan makanan pokok, kendatipun sangat bernilai dan sangat dibutuhkan (oleh diri mereka sendiri), guna mengingatkan pemenuhan yang mereka jalankan kepada perkara-perkara lain yang tingkatannya lebih rendah. Sebagaimana Allah سبحانه وتعالى mengemukakan sebagian pelaksanaan hak-hak-Nya oleh mereka melalui pemenuhan nadzar, guna mengarahkan perhatian kepada pemenuhan kewajiban yang lebih tinggi dan lebih wajib.
Allah سبحانه وتعالى mengisyaratkan dengan firman Allah عَلى حُبِّهِ (yang disukainya) sebuah realita. Yakni, seandainya Allah سبحانه وتعالى bukan dzat yang lebih mereka cintai dari makanan pokok itu, sudah tentu mereka tidak akan mengutamakan Allah سبحانه وتعالى dibandingkan apa yang mereka sukai. Ternyata mereka lebih mendahulukan kecintaan terhadap yang lebih tinggi ketimbang kecintaan kepada obyek yang lebih rendah (makanan).
Pos distribusi makanan mereka adalah orang[1]orang miskin, anak yatim, tawanan yang tidak ada kekuatan bagi mereka untuk menolong orang-orang tersebut, tiada kekayaan untuk menopang hiduporang-orang itu, tidak ada keluarga, kerabat yang mereka tunggu-tunggu dari orang-orang itu untuk memberi balasan sebagaimana dituju oleh para pemuja dunia yang mencari timbal-balik melalui infak dan pemberian makanan.
اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا ٩
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Qs al Insan/76:9).
Allah سبحانه وتعالى memberitahukan bahwa mereka berbuat itu semua karena wajah Allah, tidak menginginkan balasan dari orang-orang yang menerima makanan dari mereka, baik berupa materi dunia maupun sanjungan manusia; tidak seperti tujuan orang-orang yang tidak memiliki keikhlasan, yaitu dengan menyebarluaskan kebaikan-kebaikan kepada manusia untuk mencari pamrih, atau ungkapan terima kasih dari manusia. Jadi, sifat ikhlas kepada Allah tanpa mencari pamrih dari manusia ini mencerminkan sifat mahabbah (cinta), ikhlas dan ihsan kaum Abrar.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى mengabarkan tentang kejujuran mereka yang sudah dibuktikan Allah sebelum mereka berkata:
اِنَّا نَخَافُ مِنْ رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا ١٠
[Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. –Qs al Insan/76 ayat 10].
Allah سبحانه وتعالى telah mempercayainya sebelum mereka menyampaikan pengakuan. Karena Allah سبحانه وتعالى berfirman:
يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهٗ مُسْتَطِيْرًا ٧
Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. (Qs/76:7).
Allah سبحانه وتعالى mengemukakan, sesungguhnya mereka telah dipelihara oleh Allah dari keburukan yang mereka takutkan. Allah menjaga mereka dengan perlindungan yang melebihi dari apa yang mereka angankan.
فَوَقٰىهُمُ اللّٰهُ شَرَّ ذٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقّٰىهُمْ نَضْرَةً وَّسُرُوْرًاۚ ١١
Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. (Qs al Insan/76:11).
Ayat-ayat selanjutnya, yaitu surat al Insan/76 ayat 12–20 menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang sudah Allah سبحانه وتعالى berikan kepada mereka berupa tempat tinggal, pakaian, tempat-tempat duduk, buah-buahan, para pelayan, kenikmatan hidup dan kerajaan (kekuasaan) yang besar.
Lantaran titik fokus kesabaran adalah pengekangan jiwa dan penggencetannya dengan perkara keras yang akan dirasakan oleh fisik dan batin berupa kelelahan, keletihan dan kepanasan. Maka, balasannya adalah surga dengan berbagai kenikmatannya, sutra yang penuh kelembutan lagi halus dan cara duduk bersandar yang menunjukkan kenyamanannya, serta naungan yang melindunginya dari panas.
Allah سبحانه وتعالى berfirman, yang artinya: Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera, di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang bersangatan. Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak, dan piala-piala yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukir mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan Salsabil. Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan. Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. (Qs al Insan/76:12-20).
Warna pakaian yang dipakai oleh kalangan al abrar adalah kain sutra halus yang berwarna hijau dan kain sutra yang tebal. Perhiasan yang mereka kenakan ialah gelang-gelang dari perak. Ini semua merupakan atribut keindahan secara zhahir. Sedangkan keindahan batin mereka berupa syarab thahur, yaitu bermakna minuman yang mensucikan.
عٰلِيَهُمْ ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْرٌ وَّاِسْتَبْرَقٌۖ وَّحُلُّوْٓا اَسَاوِرَ مِنْ فِضَّةٍۚ وَسَقٰىهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُوْرًا ٢١
Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal, dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Rabb memberikan kepada mereka minuman yang bersih. (Qs al Insan/ 76:21).
اِنَّ هٰذَا كَانَ لَكُمْ جَزَاۤءً وَّكَانَ سَعْيُكُمْ مَّشْكُوْرًا ࣖ ٢٢
Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan). (Qs al Insan/76:22).
Demikianlah, Allah mengabarkan, bahwa itu semua merupakan balasan terhadap usaha-usaha mereka, yaitu golongan al abrar dan muqarrabin yang harus disyukuri. Jadi, Allah menyebutkan usaha yang dihargai dan perbuatan yang dimurkai.
- ) Diadaptasi oleh Ustadz Ashim bin Musthofa, dari Risalah fil Ma’anil Mustambathah min Suratil Insan, yang dibukukan dalam kitab Jami’ur Rasail, karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Tahqiq: Dr. Muhammad Rasyad Salim, Darul Mughni I, Tahun 1422 H – 2001M, halaman 67-77.
Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M