Mengapa Mesti Tabayyun?

oleh -994 Dilihat
oleh

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang fâsiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian. (Qs. al-Hujurât/49:6).

MUQADDIMAH

Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan ‘aib serta ‘aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas, ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya.

Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah Ta’ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghîbah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam Al-Qur‘ân:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. (Qs. al-Hujurât/49:12).

Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ‘ dan al-barâ‘ (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Penyakit menggunjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur‘ân hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal Allah Ta‘ala berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ

Dan kami turunkan Al-Qur‘ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman. (Qs. al-Isrâ‘/17:82).

Allah Ta‘ala juga berfirman:

اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًاۙ

Sesungguhnya Al-Qur‘ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus. (Qs. al-Isrâ‘/17:9).

Terapi dari Al-Qur‘ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta’ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insya Allah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi. Wallâhul- Muwaffiq.

SABABUN- NUZUL

Al-Hâfizh Ibnu Katsîrt menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ‘i, ayah Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu‘minîn رضي الله عنها .

Imam Ahmad رحمه الله berkata: “kami diberitahu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata: kami diberitahu ‘Isâ ibnu Dînâr, beliau berkata: aku diberitahu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`iz”:

Al-Hâritst mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlullâh ﷺ . Beliau mengajakku ke dalam Islam, aku pun menyetujuinya. Aku katakan: ‘Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada waktu ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu’.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlullâh ﷺ , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu, al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâhb pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâhb. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh ﷺ ”.

 Sebenarnya Rasûlullâh ﷺ telah mengutus al-Walîd ibnu ‘Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlullâh ﷺ sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlullâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku,” maka marahlah Rasûlullâh ﷺ lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:

Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.

Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?”

Mereka menjawab: “Kepadamu”.

Dia bertanya: “Untuk apa?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh ﷺ pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.

Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan kebenaran; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.

Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh ﷺ bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”

Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ketidakdatangannya itu karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu,” maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât:

TAFSIR PER KALIMAT

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا

– (wahai orang- orang yang beriman).

Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat ini.

اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ

(jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).

An-Naba‘, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang fâsiq, ialah pelaku fusûq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusûq. Karena itu, fâsiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur‘ân:

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang munâfik itulah orang-orang yang fâsiq. (Qs. at-Taubah/9:67).

Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi ﷺ yang sering disebutkan dalam Al-Qur‘ân ialah kemunafikan i’tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir’aun dan para pengikutnya:

اِنَّهُمْ كَانُوْا قَوْمًا فٰسِقِيْنَ

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. (Qs. al-Qashash/28:32).

Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.

وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ

Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan. (Qs. al-Baqarah/2:282).

فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ

Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhaji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji. (Qs. al-Baqarah/2:197).

Dalam menafsirkan kata (fusûq) pada ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat.2 Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita.

Imam Al-Qurthubi3 berkata: “Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.4

Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.

فَتَبَيَّنُوْٓا

 (maka telitilah dulu).

Ada dua qirâ‘ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya “fatabayyanû”, sedangkan al-Kisâ‘i dan para qurrâ‘ Madinah membacanya “fatatsabbatû”.5 Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.6

Tentang kalimat ini, ath-Thabari رضي الله عنه memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”7 Syaikh al-Jazâ‘iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.8

اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ

 (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).

Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata “jahâlah” dimaknai kesalahan.

Imam Al-Qurthubi mengatakan, “bi jahâlah,” maksudnya ialah secara salah.9 Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta’ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam sûrat al-Fâtihah.

Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkanmemboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah umat.

فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

(kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).

Allah Ta’ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif. Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlullâh ﷺ pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه :

واتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.10

ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI

Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:

الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

 (yang menjadi patokan adalah keumuman lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya).11

Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar-belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap pemberlakuan ayat tersebut.

Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.

  1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun dari Rasûlullâh ﷺ . Jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.
  2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada mutlak, yaitu “fâsiq”, dan “naba`”.

Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah ahli hadits disebut “rijâl” atau “sanad”. Sedangkan “naba`” yang berarti masalah penting, dan dalam istilah ahlihadits disebut matan (substansi berita).

Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz (kyai, syaikh), maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila –ternyata- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai “fâsiq”?

Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi – hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?”

Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu ‘âdil (legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah “radhiyallâhu’anhum waradhû ‘anhu”. Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.

Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi ﷺ tetap menyuruh para sahabat agar melakukan tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada keumuman lafazh.

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.

  1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.
  2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.
  3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.
  4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampak pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.
  5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah عزوجل memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan nasihat ini. Wa âkhiru da’wânâ, ‘anil-hamdu lillâhi Rabbil ‘âlamîn.

Footnote:

1 Tafsîr al-Qur‘ânil- ‘Azhîm, Ibnu Katsîr, Maktabah ash-Shafâ, Kairo, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425/2004, (7/248).

2 Kitâbul-IImân, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, hlm 278. Kitab Tauhîd, Dr. Shâlih al-Fauzân, Jilid 3, hlm. 26.

3 Al-Imâm Abu ‘Abdillâh, Muhammad ibnu Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi.

4 Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân, Dârul-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, Libanon, 16/205.

5 Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân, 1/ 205. Jâmi’ul-Bayân fî Ta‘wîlil-Qur‘ân, 11/383.

6 Jâmi’ul-Bayân fî Ta‘wîlil-Qur‘ân, 11/383.

7 Ibid.

8 Aisarut-Tafâsîr, Maktabtul-Ulûm wal-Hikam, Madinah Nabawiyyah, Cetakan ke-6, Tahun 1423 H/ 2003 M, hlm. 1259.

9 Jâmi’ul-Bayân fî Ta‘wîlil-Qur‘ân, 11/ 383.

10 Shahîh al-Bukhâri, al-Mazhâlim (9, 3/99).

11 Al-Burhân fî ‘Ulûmil-Qur’ân, az-Zarkasyi, Maktabah Dârit-Turâts, Kairo, 1/32.\

Majalah As-Sunnah Edisi 02/Thn.XII 2008M/1429H

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!