Secara individual, tidak ada seorangpun dari Sahabat رضي الله عنهم Nabi ﷺ yang ma’shûm (tersucikan) dari kesalahan. Yang ma’shûm itu hanya Nabi Allâh ﷺ . Tetapi apakah kesalahan salah seorang dari para Sahabat رضي الله عنهم menjadi celah bagi seseorang untuk bebas membicarakan kesalahan itu ? Meskipun atas nama ‘sikap kritis’ termasuk terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyân رضي الله عنه ?!
Seorang Muslim yang baik dan tahu diri, tentu akan membersihkan hatinya dari rasa tidak suka kepada para Sahabat رضي الله عنهم Nabi ﷺ . Dia akan menahan lidah dan penanya dari perkataan serta tulisan yang mengandung cercaan kepada mereka. Ia mengerti bahwa kebaikan yang dimilikinya hanya secuil saja dibandingkan dengan tumpukan kebaikan yang menggunung yang dimiliki Sahabat Nabi ﷺ , sekalipun Sahabat رضي الله عنهم yang paling rendah derajat keutamaannya di antara Sahabat lainnya. Dia ingat sabda Nabi ﷺ :
ٍ لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ (وفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمِ) : فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ) أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ
Janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Sesungguhnya jika seseorang di antara kalian (dalam salah satu riwayat Muslim: Demi Allâh yang jiwaku ada ditangan-Nya, sesungguhnya jika seseorang di antara kalian) berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan bisa menandingi satu mud (seperempat sha’/takaran) kebaikan satu orang di antara Sahabatku, bahkan separoh mudpun tidak. (HR. Bukhâri dan Muslim.)1
Imam Nawawi رحمه الله dalam Syarahnya terhadaphadits ini menjelaskan bahwa mencerca Sahabat رضي الله عنهم termasuk perkara haram yang keji, baik Sahabat رضي الله عنهم yang terlilit fitnah peperangan maupun yang tidak. Mereka semua berijtihad dalam kaitannya dengan peristiwa peperangan itu.2
Maka jika seseorang tanpa rasa malu mengkritisi Sahabat رضي الله عنهم Nabi ﷺ dengan bahasa nyinyir, tak ubahnya ia laksana katak yang berusaha menyamai seekor sapi. Ia akan meletus dan binasa.
Bahkan seorang Muslim sejati, selalu memaafkan Sahabat رضي الله عنهم ketika menghadapi riwayat-riwayat yang menceritakan kejelekan mereka.3 Sikapnya tetap membela nama baik seluruh Sahabat رضي الله عنهم , menyebarluaskan kebaikan-kebaikan mereka dan diam terhadap kejelekan mereka.4
RIWAYAT-RIWAYAT YANG MENCERITAKAN KEBURUKAN SAHABAT
Tentang riwayat yang menceritakan kesalahan serta keburukan Sahabat itu sendiri, terdiri dari tiga jenis riwayat, sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله . 5
- Pertama, riwayat-riwayat dusta dan palsu yang dibuat oleh musuh untuk merusak nama baik Sahabat رضي الله عنهم , sebagaimana dilakukan oleh orang-orang râfidhah dan sejenisnya –qabbahahumullâh-. Maka riwayat-riwayat ini tidak perlu diperhatikan dan harus ditolak.
- Kedua, riwayat-riwayat yang mungkin memiliki asal-usul yang sah, tetapi terdapatpenambahan atau pengurangan, sehingga merusak riwayat aslinya. Maka yang ini tidak boleh dij adikan sandaran. Orang harus kembali kepada riwayat-riwayat yang muhkam (pasti) tentang Sahabat رضي الله عنهم. Yaitu bahwa mereka semua adalah generasi yang utama, shaleh dan adil. Jika terdapat riwayatriwayat yang membingungkan dan menceritakan kejelekan atau kesalahan Sahabat رضي الله عنهم , maka hal itu tidak merusak keutamaannya. Terutama karena riwayat-riwayat itu telah bercampur dengan kebatilan.
- Ketiga, riwayat-riwayat shahih. Maka dalam hal ini kemungkinan kesalahan Sahabat رضي الله عنهم terbagi menjadi dua jenis kesalahan. Kesalahan yang berbentuk ijtihadi. Dan kesalahan yang benar-benar merupakan kesalahan nyata yang bukan ijtihadi.
MENYIKAPI DUA JENIS KEMUNGKINAN KESALAHAN SAHABAT:
Pertama, Kesalahan Ijtihadi: Para Sahabat رضي الله عنهم adalah para Ulama, bahkan tokoh Ulama. Merekalah orang-orang yang paling pertama memiliki kapasitas untuk berijtihad dalam istinbâth hukum syar’i. Ijtihad Ulama tidak lepas dari kemungkinan salah atau benar. Sehingga apabila para Sahabat رضي الله عنهم berijtihad, kemungkinannya adalah benar atau salah. Apabila benar ijtihadnya, maka mereka mendapat dua pahala, yaitu pahala ijtihad dan pahala kebenaran dalam ijtihad. Sementara apabila salah ijtihadnya, maka mereka mendapatkan satu pahala dari ijtihadnya, sedangkan kesalahannya dimaafkan. Jadi mereka tidak berdosa karena kesalahan ijtihadnya, bahkan mendapat pahala meskipun salah.
Nabi ﷺ bersabda tentang ijtihad:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. متفق عليه
Apabila seorang Hakim ingin menetapkan hukum, maka ia berij tihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia ingin menetapkan hukum, maka ia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala.6
Jadi, kesalahan Sahabat رضي الله عنهم sangat dimungkinkan terjadi karena ijtihad. Dengan demikian, mereka tidak berdosa dan tidak tercela atas kesalahannya, bahkan mereka mendapat pahala.
Ijtihad ialah pengerahan segenap kemampuan untuk memahami hukum syar’i.7 Pengerahan kemampuan seperti ini tentu berkait dengan penguasaan nash, hubungan antara satu nash dengan nash lain, pendapat-pendapat Ulama tentang nash, kaidah-kaidah hukum, kaidah-kaidah bahasa, tafsir dan sebagainya. Para Sahabat رضي الله عنهم memiliki kapasitas untuk itu.
Kedua, Kesalahan Diluar Ijtihad: Dalam hal ini, baik yang berupa dosa besar maupun dosa kecil. Para Sahabat رضي الله عنهم adalah manusia biasa yang tidak lepas dari kemungkinan terjerumus dalam perbuatan dosa, karena secara individu, mereka tidak ma’shûm. Tetapi mereka memiliki bermacam-macam penghapus dosa yang jumlahnya banyak. Di antaranya :
- Memiliki banyak sekali keutamaan dan amal shaleh sejak sebelum melakukan kesalahan hingga seterusnya. Hal ini pasti menyebabkan ampunan bagi mereka jika melakukan kesalahan. Allâh عزوجل berfirman :
اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ
Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. (QS. Hûd/11:114)
Apabila ayat ini berlaku untuk seluruh kaum Mukminin, bahwa perbuatan yang baik akan menghapus dosa dari perbuatan yang buruk, maka lebih layak lagi ayat ini berlaku untuk para Sahabat رضي الله عنهم .
- Kebaikan-kebaikan yang dimiliki para Sahabat رضي الله عنهم lebih layak untuk dilipatgandakan nilainya dibandingkan dengan orang lain.
Sebab Rasûlullâh ﷺ bersabda :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.
Sebaik-baik manusia adalah (kaum Muslimin) pada generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya, kemudian orang-orang yang sesudahnya lagi. (HR. Bukhari dan Muslim)8
Apabila pahala dari perbuatan baik seorang Muslim biasa bisa berlipat sepuluh kali kebaikan, tentu pahala dari perbuatan baik para Sahabat رضي الله عنهم yang merupakan generasi terbaik umat Islam, akan lebih layak lagi untuk dilipat gandakan, bahkan hingga menjadi 700 kali lipat.
- Bentuk-bentuk penghapus dosa mereka sangat beragam dan sangat banyak. Bahkan mungkin mereka memiliki semua itu. Misalnya, taubat, jihad, hijrah, infak, shadaqah, musibahmusibah yang menimpa, syafaat Nabi ﷺ , pembelaan kepada agama, penaklukan negeri-negeri kafir, pemberantasan syirik, bid’ah serta khurafat, peperangan melawan orang-orang murtad, dan lain-lain. Hal-hal yang bila itu terjadi pada orang lain, maka tidak akan sehebat yang terjadi pada para Sahabat. Apabila orang yang bertauhid selain mereka bisa mendapat syafa’at dari Nabi ﷺ , maka para Sahabat رضي الله عنهم tentu lebih layak mendapatkannya.
Apabila demikian kenyataannya, bahwa dosa mereka yang benar-benar nyata, terampunkan karena mereka memiliki begitu banyak penghapus dosa, maka apalagi jika kesalahan yang mereka lakukan hanyalah kesalahan ijtihad.
Kesimpulannya, kesalahan yang dilakukan Sahabat, di samping karena kesalahan itu sedikit, juga kesalahan itu tidak keluar dari dua kemungkinan:
Pertama, kesalahan karena ijtihad. Mereka tidak berdosa karenanya. Sebab kesalahan itu diampuni oleh Allâh k , dan bahkan mendapat pahala karena ijtihadnya.
Kedua, kesalahan yang bukan karena ijtihad. Untuk kesalahan ini mereka memiliki banyak dan beragam penghapus dosa. Sementara kesalahan itu jumlahnya sedikit, tenggelam dalam kabaikan-kebaikan serta keutamaan-keutamaan yang sangat banyak.9
BAGAIMANA DENGAN MU’AWIYAH رضي الله عنه ?
Beliau adalah seorang Sahabat Nabi ﷺ seperti Sahabat رضي الله عنهم lainnya. Tidak boleh seorangpun membiarkan hatinya memendam rasa tidak suka kepada beliau رضي الله عنه . Tidak boleh seorangpun membiarkan lidahnya mengobral celaan kepada beliau رضي الله عنه , meskipun dibungkus dengan katakata yang terkesan manis, misalnya bahwa itu bukan celaan, tetapi demi keadilan, kritis, dan lain sebagainya’. Itulah kebiasaan orang munafik, membungkus tendensi duniawi dengan kata-kata mempesona. Allâh k berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖ ۙ وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Dan di antara manusia ada yang perkataannya tentang kehidupan dunia mempesona hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allâh (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berusaha di muka bumi untuk membuat kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman serta binatang ternak. Dan Allâh tidak menyukai kerusakan. (QS. Al-Baqarah/2:204-205)
Hadits yang dikemukakan pada permulaan tulisan ini tentang larangan Nabi ﷺ untuk mencela para Sahabat رضي الله عنهم , meskipun wurudnya (yang melatarbelakanginya) berkaitan dengan Khâlid bin Walîd dan Abdur Rahmân bin Aufc, tetapihadits itu berlaku umum, mencakup larangan untuk mencela Mu’awiyah bin Abi Sufyan c . Keterangan Imam Nawawi رحمه الله di atas berkenaan dengan makna hadits tersebut cukup jelas, yaitu bahwa mencela para Sahabat رضي الله عنهم termasuk perkara haram yang keji, baik Sahabat رضي الله عنهم yang terlilit fi tnah peperangan maupun yang bukan. Sebab mereka semua terlibat dalam fitnah itu karena ij tihad.
Sementara al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalani رحمه الله menjelaskan bahwa larangan bagi sebagian orang yang sempat berjumpa dengan Nabi ﷺ (yaitu sebagian Sahabat) untuk mencerca Sahabat رضي الله عنهم pendahulunya, memberikan pengertian bahwa larangan itu lebih layak lagi berlaku bagi orang yang tidak pernah berjumpa dengan Nabi ﷺ . 10
Andaikata tidak satupun nash yang secara khusus memberikan pujian kepada Sahabat Nabi ﷺ tertentu, maka kedudukannya sebagai Sahabat رضي الله عنهم sudah cukup merupakan pujian, dan orang yang bukan Sahabat رضي الله عنهم tidak berhak untuk mencelanya, berdasarkan hadits di atas dan nash-nash lainnya.
Sementara terdapat sejumlah nash yang berisi pujian kepada Mu’âwiyah رضي الله عنه , di samping nashnash umum. Beliau رضي الله عنه juga dikenal memiliki banyak keutamaan, di samping sebagai penulis Wahyu, juga sebagai penakluk dan sebagai mujahid. Jasanya sangat banyak bagi Islam dan kaum Muslimin.
PENEGASAN IMAM ABU ZUR’AH AR-RAZI رحمه الله
Beliau رحمه الله menegaskan, “Apabila engkau melihat seseorang mencela seorang Sahabat Nabi ﷺ , maka ketahuilah bahwa dia adalah zindiq. Sebab, bagi kami, Rasûlullâh ﷺ adalah benar, al-Qur’ân adalah benar. Sedangkan yang menyampaikan al-Qur’ân dan Sunnah Nabi ﷺ kepada kita adalah para Sahabat رضي الله عنهم . Sementara yang mereka inginkan dengan mencela Sahabat رضي الله عنهم tidak lain hanyalah untuk mencela para saksi kita, sehingga mereka dapat menyatakan bathilnya al-Qur’ân dan Sunnah. Padahal celaan lebih pantas ditujukan kepada para pencela Sahabat itu, sebabmereka adalah orang-orang zindiq. 11
Imam Abu Zur’ah adalah salah seorang Imam besar yang masyhur di kalangan Ulama, seorang tokoh yang banyak disebut-sebut, dan seorang hafi zh hadits-hadits Nabi ﷺ yang mutqin (mantap).12 Beliau رحمه الله bernama Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid bin Farrukh al-Qurasyi al-Makhzumi, Abu Zur’ah ar-Razi. Dilahirkan pada tahun 200 H dan wafat tahun 264 H. Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqat menyatakan: Beliau merupakan salah seorang Imam Dunia dalam bidang hadits, di samping agama, sikap wara’ dan disiplinnya menjaga, menghafal serta mengulang-ulang pelajaran ilmu. Dan juga meninggalkan kehidupan duniawi serta apa yang biasa dikejar manusia.13
Pengertian Zindiq:
Zindiq artinya memendam kekafi ran dalam hati, tetapi menampakkan Islam secara lahir. Seorang zindiq bisa merupakan seorang râfi dhi atau kaki tangan râfidhah, bisa pula golongan Khawarij , bisa pula golongan-golongan lain yang memusuhi Islam. Sebenarnya ada beberapa pengertian yang dij elaskan oleh para Ulama tentang zindiq. Tetapi inilah pengertian yang masyhur di kalangan Fuqaha’ (para Ahli Fiqih).
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalani رحمه الله menyimpulkan, zindiq adalah setiap orang yang menyembunyikan kekafi ran dan menampakkan keislaman. Beliau menukil perkataan Imam Mâlik رحمه الله dan juga menyebutkan bahwa demikianlah pengertian yang dikemukakan oleh sejumlah Fuqaha’ dari kalangan madzhab Syafi ’iyah.14 Ibnu Qudamah juga mengatakan demikian.15
Dengan demikian, jika ada yang lancang mulut dan berani mencela Mu’âwiyah رضي الله عنه , maka seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Zur’ah ar-Râzi رحمه الله , ia adalah zindiq. Celaan serta cacian lebih layak ditujukan kepada orang ini karena ia adalah zindiq. Ia layak diwaspadai ketika menyerukan ukhuwah Islamiyah, karena seruannya adalah dusta. Ia sudah sejak dini meruntuhkan prinsip ukhuwah Islamiyah dengan celaannya kepada Sahabat Nabi ﷺ . Bagi kaum Muslimin, para Sahabat رضي الله عنهم merupakan sanad pertama bagi kebenaran Islam. Maka jika seseorang dengan mudahnya mencerca Sahabat, ia akan lebih mudah lagi mencerca dan mengkhianati orang yang bukan Sahabat. Oleh karena itu, kaum Muslimin tidak sudi bersaudara dengan pencerca individu-individu generasi terbaik umat ini.
PENUTUP
Siapa yang menyatakan bahwa sabda Nabi ﷺ untuk Mu’âwiyah رضي الله عنه (artinya): Semoga Allâh tidak mengenyangkan Mu’âwiyah, adalah doa jelek, berarti orang itu sedang mencari celah untuk melancarkan fi tnah dan syubhat. Para Ulama justeru menganggap bahwa hadits itu merupakan pujian bagi Mu’âwiyah رضي الله عنه . Dan itu bukan distorsi penafsiran. Imam Nawawi رحمه الله dalam Syarah Muslim menegaskan, Imam Muslim telah mendudukkan hadits tersebut sebagai salah satu bentuk pujian kepada Mu’awiyah. Karena Imam Muslim menderetkan hadits tersebut dengan hadits-hadits lain yang menjelaskan, bila Nabi ﷺ mendoakan jelek terhadap seseorang, sedangkan orang tersebut tidak layak didoakan jelek, maka itu berarti kebaikan baginya, termasuk terhadap Mu’awiyah. Dan ini adalah tafsir para Ulama semenjak dahulu.16 Syaikh al-Albani رحمه الله telah menukil lengkap pernyataan Imam Nawawi tersebut dalam Silsilah Shahihah. 17
Begitu juga riwayat yang mengisahkan bahwa pada masa akhir kehidupannya, Mu’awiyahmengalami berbagai penyakit berat. Itu sama sekali bukan merupakan cela bagi Mu’âwiyah رضي الله عنه . Bukan pula merupakan akibat jelek dari do’a Rasûlullâh ﷺ . Bukankah wajar manusia mendapatkan banyak penyakit diusia senjanya ? Dengan penyakit semacam itu, beliau رضي الله عنه lebih berhak, dibandingkan yang bukan Sahabat, untuk mendapat penghapusan dosa dari kesalahan yang mungkin Beliau lakukan sebagai manusia biasa yang tidak ma’shûm, sebagaimana dij elaskan oleh Rasûlullâh ﷺ .
Tetapi kebiasaan pengikut hawa nafsu, memang senang mendramatisir perkara yang wajar menjadi seakan-akan aneh. Itulah syubhat yang dilancarkan untuk menebar fi tnah dan kerusakan. Sebagai mana yang disebutkan oleh Allâh dalam firman-Nya :
فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat mutasyabihat untuk maksud mencari fitnah dan mencari ta’wilnya. (QS. Ali Imrân/3 :7)
Di samping itu, mereka senang sekali memotong-motong perkataan orang, bahkan kalau perlu hadits Nabi ﷺ, supaya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Nas’alullâha as-Salâmah.﴾﴿
MARAJI’
- Fathul Bâri, al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni
- Shahîh Muslim Bi Syarh al-Imâm an-Nawawi, tahqiq: Khalail Ma’mun Syiha XVI/308-309, no. 6434, 6435.
- Majmû’ Fatâwâ, Jam’u wa Tartib: Ibnu Qasim.
- Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, cet. VI, th. 1413 H/1993 M.
- Al-Qaulus Sadîd, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di.
- Tahdzîb al-Kamal Fi Asmâ’ir Rij âl, Imam al-Mizzi, tahqiq: Dr. Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, Mu’assasah ar-Risalah, cet. I, 1422 H/2002 M.
- Tahdzîbut Tahdzîb, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. I pada Percetakan Majlis Da’irati al-Ma’arif an-Nizhamiyah, Haidar Abad, India, th. 1326 H.
- Al-Mughni wasy Syarhil Kabîr, Dar al-Fikr, 1412 H/1992 M.
- Silsilah Ahâdîts Shahîhah, Syaikh al-Albâni.
Footnote:
1 Shahîhul Bukhâri no, 3673 dalam Fathul Bâri VII/21, dan Muslim dalam Shahîh Muslim Bi Syarh al-Imam an-Nawawi, tahqiq: Khalail Ma’mun Syiha XVI/308-309, no. 6434, 6435
2 Shahîh Muslim Syarh al-Imam an-Nawawi, op.cit. XVI/309, dengan bahasa bebas
3 Lihat keterangan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan; Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, cet. VI, th. 1413 H/1993 M, hlm. 203
4 Muqaddimah al-Qaul as-Sadid, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di رحمه الله , bagian akhir.
5 Majmû’ Fatâwâ, Jam’u wa Tartib: Ibnu Qasim, III/155, dan juga keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan, dalam Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah, op.cit. hlm. 201-205
6 Shahihul Bukhâri no, 7352 dalam Fathul Bâri XIII/318. ShahîhMuslim Bi Syarh al-Imam an-Nawawi, op. cit. XII/239-240, no. 4462
7 Syaikh Shalih al-Fauzan, dalam Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah, op.cit. hlm. 205
8 Shahîhul Bukhâri no, 3651 dalam Fathul Bâri VII/3, dan Shahîh Muslim Bi Syarh al-Imam an-Nawawi, op.cit. XVI/302-303, no. 6419.
9 Lihat sekali lagi keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan syarahnya oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, dalam Syarhul Aqîdah al-Wasithiyah, op.cit. hlm. 201-205
10 Fathul Bâri VII/34 dengan bahasa bebas.
11 Tahdzîbul Kamal Fi Asmâ›ir Rij âl, karya Imam al-Mizzi (654 H-742 H), tahqiq: Dr. Basysyar ‘Awwad Ma’ruf, Mu’assasah arRisalah, cet. I, 1422 H/2002 M, juz IX/96, tentang Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid bin Farrukh al-Qurasyi alMakhzumi.
12 Ibid. IX/89
13 Ibid IX/89 dst. Lihat pula Tahdzîbut Tahdzîb, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. I pada Percetakan Majlis Da’irati al-Ma’arif an-Nizhamiyah, Haidar Abad, India, th. 1326 H, VII/30-33, Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid.
14 Fathul Bâri XII/271 pada syarah hadits no. 6922 tentang kisah Ali membakar orang-orang zindiq, Bab Hukmu al-Murtad wa al-Murtaddah wa istitaabatuhum.
15 Lihat al-Mughni wa asy-Syarhi al-Kabîr, Dar al-Fikr, 1412H/1992 M, VII/172 dan 168
16 Lihat Shahîh Muslim Bi Syarh al-Imam an-Nawawi, op.cit. XVI/371
17 Lihat secara lengkap dan jangan dipotong Silsilah Ahâdîts Shahîhah I/164-167, pembahasan hadits no. 82, 83 dan 84
MAJALAH AS-SUNNAH EDISI 09/THN XVI/SHAFAR 1434H/JANUARI 2013M