Pengantar Redaksi:
((Rubrik Soal-Jawab edisi ini kami angkat dari sebagian soal-jawab kepada para masyayikh, murid-murid Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t pada daurah di Surabaya, tanggal Pertanyaan ini dijawab oleh Syeikh Salim bin I’ed Al-Hilali hafizhahullah, pemimpin redaksi majalah Al-Ashalah, Yordania. Silahkan menyimak.))
Pengantar Syeikh Salim bin I’ed Al-Hilali: “Metode soal-jawab adalah metode ilmiyah, metode yang diajarkan kepada kita oleh Rabb kita dan Rasulullah n .
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Surat An-Nahl:43 dan Al-Anbiya’: 7-red]
Allah menjelaskan bahwa obat kebodohan adalah bertanya. Oleh karenanya Nabi ﷺ bersabda:
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
Tidakkah mereka bertanya ketika mereka tidak tahu, sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya. [HR. Abu Dawud, dan lainnya-red]
Rasulullah ﷺ juga mempraktekkannya secara amalan, yaitu di saat Jibril alaihi sallam bertanya kepada beliau, dan beliaupun menjawabnya. Yaitu di dalam hadits yang panjang, Jibril bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan, Kiamat, dan tanda-tanda Kiamat.
Sepantasnya bagi penanya, yang pertama hendaklah membaguskan pertanyaannya. Karena bagusnya pertanyaan akan membantu jawaban. Bahkan bagusnya pertanyaan merupakan separuh ilmu, sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik.
Adapun bagi yang ditanya sepantasnya menjawab berdasarkan dalil. Jika dia tidak tahu, hendaklah mengatakan: “Saya tidak tahu”. Karena (ketika tentang kapan datangnya kiamat) Rasulullah n berkata kepada Jibril alaihi sallam :
مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ
“Yang ditanya tidak lebih mengerti daripada yang bertanya.” [HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya-RED]
Dan insya Allah para Masyayikh akan menjawab pertanyaan antum, satu demi satu, maka kami mohon Allah Ta’ala agar memberikan taufiq kepada mereka dan natum semua, terhadap apa yang Dia cintai dan ridhai.
PERTANYAAN:
Anda telah menyebutkan bahwa dakwah Salafiyah mendakwahkan Islam dengan keseluruhannya, mendakwahkan rukun Islam, jihad, dan politik.
Maka apakah kaedah untuk memasuki medan politik?
Dan apakah sifat-sifat yang harus dipenuhi da’i sehingga dapat memasuki medan politik? Berilah jawaban kepada kami, semoga Allah memberkahi anda semua
JAWABAN (Syeikh Salim bin I’ed Al-Hilali)
Aku katakan dengan memohon taufik kepada Allah, bahwa Islam adalah agama yang sempurna, Allah meridhainya untuk kita. Dia perintahkan kita untuk berpegang-teguh dengannya. Allah berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. 3:19)
Dia juga berfirman:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. 3:85)
Demikian juga Allah perintahkan kita untuk masuk Islam secara keseluruhan, firnmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam silm (Islam) keseluruhannya. (QS. 2:208)
Makna silm menurut Ibnu Abbas adalah Islam. Maka Allah memerintahkan kita untuk memegangi Islam semuanya atau kita semua hendaklah masuk ke dalam agama Allah. Kedua penafsiran terhadap ayat tersebut benar, dan tidak saling bertentangan. Sehingga semua kaum Muslimin wajib masuk ke dalam Islam semuanya. Politik adalah Islam, [Yakni perkara politik juga diatur oleh Islam-red] karena politik (siyasah) artinya adalah memelihara urusan umat dengan apa yang tidak menyelisishi kitab Allah dan Sunnah RasulNya ﷺ . Sehingga memelihara urusan umat itu membutuhkan manhaj, membutuhkan agama. Sedangkan manhaj dan agama yang khusus bagi manusia adalah Islam. Islam memiliki kitab-kitab khusus yang ditulis (para ulama) yang membahas politik. Seperti kitab Ahkam Sulthaniyah karya Al-Mawardi, Siyasah Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyah, Ahkam Sulthaniyah karya Al-Maushuli, Thuruqul Hukmiyyah karya Ibnul Qayyim dan lainnya yang menjelaskan hukum Islam yang mengatur umat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, dia diganti Nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, tetapi akan ada khalifah-khalifah..” [HR. Bukhari-Red]
Maka yang akan memimpin umat ini, setelah Rasulullah ﷺ adalah ulil amri. Ulil amri adalah penguasa dan ulama. Kalau begitu, maka yang pantas memasuki medan memelihara urusan umat (politik) adalah para ulama’ dan umara’. Umara’ (memasuki politik/memelihara urusan umat) dengan melaksanakan syari’at Allah. Adapun ulama bertugas mengarahkan umat dan umara’. Sehingga syarat bagi orang yang akan memasuki medan ini, hendaklah dia seorang yang ‘alim, yang banyak ilmu terhadap syari’at Allah. Karena memelihara urusan umat itu membutuhkan seluruh urusan agama.
Adapun politik dengan makna modern, maka ini tidak dibenarkan Islam, tidak dikanal oleh agama ini. Karena politik modern itu hanyalah kemampuan untuk berdebat, berdiskusi, berkelit, bersikap munafik, berubah-ubah/plin-plan, dan mengikuti setiap wadah yang politik diletakkan padanya. Maka politik dengan makna modern berlepas diri dari agama, agamapun berlepas diri darinya, karena tidak memelihara kemashlahatan umat, tidak membangkitkan agama di kalangan umat. Oleh karena itu kita harus membedakan antara siyasah syar’iyyah (poltik Islam) yang dikehendaki oleh Allah, yang Dia telah memilihkan agama in untuk umat ini, dengan poltik modern, yang berusaha dengan berbagai cara untuk mencapai puncak kekuasaan. Seorang politikus akan menempuh berbagai jalan dan cara untuk itu. Dia berubah-ubah/plin-plan bersama orang-orang yang berubah-ubah/plin-plan, dia ragu-ragu bersama orang-orang yang ragu-ragu, bersikap munafik bersama orang-orang munafik. Kita mohon perlindungan kepada Allah Rabbul ‘alamin. Maka orang yang menggeluti siyasah syar’iyyah adalah seorang ‘alim rabbani. Allah berfirman:
وَلَكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
Akan tetapi (Nabi Allah mengatakan): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. 3:79)
Seorang ‘alim rabbani adalah yang mengajarkan umat tentang ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar. Yakni dia mengetahui apa yang dibutuhkan oleh umat, kemudian dia memerintahkan untuk beribadah (kepada Allah) dengan ibadah yang dibutuhkan pada waktu itu, lalu meningkat sedikit demi sedikit, sampai kesempurnaan yang disiapkan dengan idzin Allah. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
[Majalah as-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M hlm 4-5]