Disusun oleh : Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Sesungguhnya nikmat Allâh سبحانه وتعالى kepada manusia sangat banyak. Di antara nikmat besar yang Allâh anugerahkan kepada umat manusia adalah diutusnya Nabi Muhammad ﷺ kepada seluruh manusia. Allâh سبحانه وتعالىtelah mengutus Beliau ﷺ untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Beliau ﷺ telah melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya, menasehati ummat, menunaikan amanah, dan menyampaikan risalah. Sehingga tidaklah Beliau ﷺ diwafatkan, kecuali agama Islam telah sempurna, nyata, dan terang-benderang. Tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa.
Kemudian risalah Islam ini diteruskan oleh generasi-generasi terbaik umat ini. Mereka menerima, mengamalkan, dan menyampaikan yang dibawa oleh Rasûlullâh ﷺ yang berupa al-Qur’an dan as Sunnah. Al-Qur’an, kitab suci yang tidak didatangi kebatilan semenjak diturunkan, karena memang dijaga oleh Allâh al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa) al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui). Dan as-Sunnah, yang merupakan penjelasan al-Qur’an.
Oleh karena itu sepantasnya kita mensyukuri nikmat Allâh tersebut dengan cara mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ dan sunnah para sahabatnya yang mulia.
Di dalam tulisan ini, kami akan sampaikan tema “Mengenal Sunnah Nabi”, dengan harapan bisa mendorong kita untuk lebih bersemangat dalam meniti jalan yang mulia ini. Semoga Allâh سبحانه وتعالى menganugerahkan kepada kita, keikhlasan di dalam niat dan kebenaran di dalam amal, serta kesabaran di dalamnya.
MAKNA SUNNAH SECARA LUGHAWI DAN ISTILAH
As-Sunnah secara lughawi (bahasa) artinya jalan atau ajaran, meliputi jalan yang baik atau yang buruk.
Sedangkan di dalam istilah Ulama, sunnah memiliki beberapa makna sebagai berikut:
- Sunnah di dalam istilah ulama ahli hadits, adalah semua yang disandarkan kepada Nabi ﷺ , baik berupa qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrîr (penetapan, pengakuan) atau sifat. Istilah Sunnah ini semakna dengan Hadits. (Lihat, al-Fushûl fi Mush-thalah Hadîts ar-Rasûl, hlm. 3, karya Syaikh Tsanaullah az-Zahidi)
- Sunnah dalam istilah ulama ushul fiqih, adalah: Dalil-dalil agama yang datang dari Nabi ﷺ yang bukan berupa al-Qur’an, meliputi qaul (perkataan) , fi’il (perbuatan), dan taqrîr (penetapan, pengakuan). (Lihat kitab-kitabUshul Fiqih dalam bab: As-Sunnah)
- Sunnah di dalam istilah ulama ahli fiqih, adalah: Sesuatu yang diperintahkan oleh Syari’at dengan perintah yang tidak wajib, sehingga pelakunya mendapatkan pahalanya sedangkan orang yang meninggalkannya tidak disiksa.
Sunnah dalam istilah ahli fiqih semakna dengan mustahab, mandûb, tathawwu’, atau nâfi lah. Kebalikannya adalah wajib atau fardhu. (Lihat Mudzakkirah Ushûlil Fiqih, hlm. 4, syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi)
- Sunnah di dalam istilah ulama Salaf atau ulama aqîdah, yaitu: petunjuk atau ajaran Nabi ﷺ dan para Sahabatnya yang berupa ilmu, keyakinan, perkataan, dan amal perbuatan. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali رحمه الله berkata, “Sunnah adalah jalan yang dilewati, dan itu mencakup berpegang teguh dengan petunjuk Nabi ﷺ dan para Khulafaur Rosyidin, yang berupa keyakinan, amal perbuatan, dan perkataan. Inilah Sunnah yang sempurna”. (Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, hlm. 263; penerbit: Darul Ma’rifah Beirut; cet: 1; th. 1408 H)
Sunnah di dalam pembahasan kita ini adalah makna yang dimaksud oleh ulama ushul fiqih. Karena kita akan membicarakan Sunnah yang menjadi hujjah di dalam agama Islam.
SUNNAH ADALAH HUJJAH
Sunnah, sebagaimana dijelaskan oleh ulama ushul fiqih, yaitu dalil-dalil agama yang datang dari Nabi ﷺ yang bukan berupa al-Qur’an, meliputi qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), dan taqrîr (penetapan, pengakuan) Nabi ﷺ .
Dan Sunnah merupakan hujjah dan salah satu sumber agama yang wajib diikuti. Di antara dalil dalilnya adalah:
- Perintah mentaati Allâh dan Rasul.
Allâh سبحانه وتعالىberfirman, yang artinya, “Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman”. (QS. Al-Anfâl/8:1)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di tberkata dalam tafsir ayat ini, “Sesungguhnya keimanan itu mengajak orangnya untuk mentaati Allâh dan Rasul-Nya.” (Tafsir Taisîr Karîmir Rahman, Surat al-Anfal: 1)
Dan jalan mentaati Rasûlullâh ﷺ adalah dengan lewat Sunnah.
- Berpaling dari mentaati Allâh dan Rasul adalah sifat orang-orang kafir. Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿ قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ ٣٢ ﴾
Katakanlah, “Taatilah Allâh dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran/3:32)
Imam Ibnu Katsir رحمه الله mengatakan, “Ini menunjukkan bahwa menyelisihi thariqah (jalan; ajaran) Nabi Muhammad ﷺ merupakan kekafiran, dan Allâh D tidak menyukai orang orang yang memiliki sifat ini, walaupun dia mengaku dan menyangka bahwa dia mencintai Allâh D dan mendekatkan diri kepada-Nya, sampai dia mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, penutup seluruh rasul, dan utusan Allâh kepada jin dan manusia”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali ‘Imran, ayat ke-32)
- Perintah mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan kepada Allâh dan Rasul-Nya.
Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ ٥٩ ﴾
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri (Ulama dam umara’) di antara kamu. Kemudian jikakamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’/4:59)
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata, “Allâh سبحانه وتعالى memerintahkan untuk mentaati Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allâh mengulangi kata kerja (yakni: ta’atilah!) untuk pemberitahuan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara otonomi, dengan tanpa meninjau (menimbang-red) apa yang Beliau perintahkan dengan al Qur’an. Jika Beliau memerintahkan, wajib ditaati secara mutlak, sama saja, apakah yang Beliau perintahkan itu ada dalam al Qur’an atau tidak ada di dalamnya. Karena sesungguhnya Beliau ﷺ diberi al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya. ” (I’lâmul Muwaqqi’in 2/46), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H)
- Hidayah itu hanya dengan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad ﷺ .
﴿ قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَّا حُمِّلْتُمْۗ وَاِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوْاۗ وَمَا عَلَى الرَّسُوْلِ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ ٥٤ ﴾
Katakanlah, “Taatlah kepada Allâh dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allâh) dengan terang”. (QS. An-Nûr/24:54) Tidak ada jalan bagi kamu menuju petunjuk kecuali dengan mentaatinya. Tanpa itu, tidak mungkin, bahkan mustahil. (Lihat Taisîr Karîmir Rahman, Surat an-Nûr, ayat ke-54)
- Ancaman keras terhadap orang yang menyelisihi perintah Rasûlullâh ﷺ .
Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿ فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ٦٣ ﴾
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nûr/24:63)
Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasul ﷺ . Yang sesuai dengan itu, diterima; Dan apa yang menyelisihinya dikembalikan kepada orang yang mengatakannya atau orang yang melakukannya, siapa pun itu”. (Tafsir Ibnu Katsir, Surat An-Nûr, ayat ke-63)
- Perintah mengikuti wahyu yang Allâh turunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ , dan wahyu itu mencakup al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿ اِتَّبِعُوْا مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَ ٣ ﴾
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). (QS. Al-An’am/7:3)
Dan yang diturunkan oleh Allâh kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿ وَاَنْزَلَ اللّٰهُ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ ﴾
Dan Allâh telah menurunkan Al-Kitab dan Al Hikmah kepadamu. (QS. An-Nisa’/4:113)
Imam Asy-Syafi’i رحمه الله berkata, “Allâh menyebutkan al-Kitab, yaitu al-Qur’an, dan menyebutkan al-Hikmah, aku telah mendengar orang yang aku ridhoi, yaitu orang yang ahli ilmu al-Qur’an mengatakan, “Al-Hikmah adalah Sunnah Rasûlullâh ﷺ ”. (Ar-Risâlah, hlm. 32-33)
- Wajib pasrah terhadap hukum Nabi Muhammad ﷺ .
Allâh سبحانه وتعالىberfirman:
﴿ فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا ٦٥ ﴾
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’/4:65)
Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Allâh D bersumpah dengan diri-Nya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sampai menjadikan Rasûlullâh ﷺ sebagai hakim dalam segala perkara. Apa yang Beliau putuskan adalah haq, wajib diterima secara lahir dan batin”. (Tafsir Ibnu Katsir, Surat an-Nisa’: 65)
- Wajib tunduk terhadap keputusan Allâh سبحانه وتعالىdan Rasul-Nya.
Allâh سبحانه وتعالى berfirman:
﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ ٣٦ ﴾
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmindan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, jika Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dari urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab/33:36)
Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “Ayat ini umum dalam segala perkara, yaitu jika Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menyelisihinya, dan di sini tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Ahzâb: 36)
- As-Sunnah adalah penjelas al-Qur’an, maka keduanya tidak bisa dipisahkan.
Allâh سبحانه وتعالى berfirman, yang artinya, “Dan Kami turunkan Adz-Dzikr (Peringatan; Al-Qur’an) kepadamu, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl/16:44)
Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, “((Firman Allâh, “Dan Kami turunkan adz-Dzikr (Peringatan) kepadamu)), yakni al-Qur’an, ((agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka)) dari Rabb mereka, karena pengetahuanmu terhadap makna apa yang telah Allâh turunkan, dan karena keinginanmu terhadapnya dan engkau mengikutinya, dan karena Kami tahu bahwa kamu adalah sebaik-baik makhluk dan penghulu anak Adam, sehingga kamu memerinci apa yang (al-Qur’an) sebutkan secara global, dan kamu menjelaskan kepada mereka apa yang susah dipahami ((supaya mereka memikirkan)), yaitu memperhatikan diri mereka, kemudian mendapatkan petunjuk, lalumeraih keberuntungan dengan keselamatan di dua negeri (dunia dan akhirat).” (Tafsir Ibnu Katsir, Surat an-Nahl: 44)
- Larangan mendahului Allâh سبحانه وتعالى dan Rasul Nya.
Allâh سبحانه وتعالى berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allâh dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujurat/49:1)
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata, “Yaitu: janganlah kamu berkata sebelum Nabi ﷺ berkata! Janganlah kamu memerintah sebelum Nabi ﷺ memerintah! Janganlah kamu berfatwa sebelum Nabi ﷺ berfatwa! Janganlah kamu memutuskan perkara sebelum Nabi ﷺ yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya.” (I’lâmul Muwaqqi’in, 2/49, penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H)
TIGA MACAM SUNNAH
Sebagaimana dijelaskan oleh Ulama Ushûl Fiqih, yaitu: Dalil-dalil agama yang datang dari Nabi ﷺ yang bukan al-Qur’an, meliputi qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), dan taqrîr (penetapan, pengakuan) Nabi ﷺ . Dengan demikian Sunnah Nabi itu ada 3 macam: Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqririyyah. (Lihat: Ma’âlim fi i Ushûl Fiqih, karya DR. Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jizaniy; Taisîr Ushûl Fiqih lil Mubtadi’in, karya Syaikh Muhammad Hasan Abdul Ghaffar; Al-Wajîz fi i Ushûl Fiqih, karya DR. Muhammad Mushthata Az-Zuhailiy; dll)
-
Sunnah Qauliyyah
Sunnah Qauliyyah adalah Sunnah Nabi yang berupa perkataan Beliau ﷺ .
Di antara contoh-contohnya adalah hadits:
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الباهِلِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ ﷺ ، يَقُوْلُ: اقْرَءُوْا القُرآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصْحَابِهِ
Dari Abu Umamah al-Bahiliy, dia berkata; Aku mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda “Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai pemohon syafa’at bagi ash-hâbul Qur’an (orang yang mengamalkannya)”. (HR. Muslim, no. 804)
Juga hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ -رَضِيَ الله عنهُمَا – قَالَ قَال رَسُوْلُ اللَّهِ ص بُنِيَ الإِسلامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَاإِلَهَ إِلَّا اللَّه وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَالحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari Ibnu Umar رضي الله , dia berkata: Rasûlullâh ﷺ bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allâh dan (syahadat) Muhammad Rasûlullâh; menegakkan shalat; membayar zakat; hajji; dan puasa Romadhon”. (HR. Bukhari, no. 8)
Sunnah qauliyyah merupakan hujjah yang lebih kuat daripada sunnah fi’liyyah. Artinya, jika ada pertentangan antara sunnah qauliyyah dengan sunnah fi’liyyah, kemudian tidak bisa dijama’ (digabungkan), maka sunnah qauliyyah lebih didahulukan daripada sunnah fi’liyyah.
-
Sunnah Fi’liyyah
Sunnah fi’liyyah adalah sunnah Nabi yang berupa perbuatan Beliau ﷺ .
Di antara contohnya adalah hadits:
أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ إِذَا سَكَتَ المُؤَذِّنُ بِالأُولَى مِنْ صَلَاةِ الفَجْرِ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الفَجْرِ بَعْدَ أَنْ يَسْتَبِيْنَ الفَجْرُ، ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ المُؤَذِّنُ لللإِقَامَةِ
Bahwa ‘Aisyah berkata: Kebiasaan Nabi ﷺ jika muadzin telah selesai dari adzan subuh beliau berdiri melakukan shalat dua roka’at yang ringan sebelum shalat fajar (subuh) setelah fajar (warna merah/putih dari arah timur sebelum terbit matahari) terang/jelas. Kemudian beliau berbaring pada lambung kanan beliau sampai muadzin mendatangi beliau untuk (mengumandangkan) iqamat”. (HR. Bukhari, no. 626)
Perkataan ‘Aisyah رضي الله عنها , “Kemudian Beliau ﷺ berbaring pada lambung kanan beliau sampai muadzin mendatangi Beliau untuk (mengumandangkan) iqamat”, merupakan sunnah fi’liyyah, yaitu berita mengenai perbuatan Nabi ﷺ .
Ada beberapa perkara berkaitan dengan sunnah fi ’liyyah yang disebutkan oleh ulama. Yaitu tentang Sunnah Nabi yang berupa perbuatan Beliau ﷺ :
- Hukum sunnah fi’liyyah pada asalnya adalah mustahab (disukai; dianjurkan), bukan wajib.
Yaitu tidak boleh mewajibkan manusia untuk melakukan perbuatan Nabi ﷺ . Dalilnya adalah hadits berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ أُمُّ المُؤْمِنِيْنَ -رضي الله عنها- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص ذَاتَ لَيْلَةٍ فِيْ المَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ القَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اِجْتَمَعُوْا مِنْ اللّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ “قَدْ رَأَيْتُ الّذِيْ صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِيْ مِنْ الخُرُوْج إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ” وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Dari ‘Aisyah, Ummul Mukminin رضي الله عنها, bahwa Rasûlullâh ﷺ pada suatu malam melakukan shalat (qiyam Ramadhan) di dalam masjid. Kemudian orang-orang mengikuti shalat beliau. Kemudian pada malam berikutnya beliau melakukan shalat, orang-orang bertambah banyak. Kemudian orang-orang berkumpul pada malam ketiga atau keempat, tetapi Rasûlullâh ﷺ tidak keluar kepada mereka. Ketika telah pagi beliau berkata: “Aku telah melihat apa yang kamu lakukan, dan tidak ada yang menghalangiku keluar kepada kamu kecuali aku khawatir shalat itu diwajibkan atas kamu. Dan hal itu terjadi pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhâri, no. 1129; Muslim, no.761; dll)
Sabda Nabi ﷺ “tidak ada yang menghalangiku keluar kepada kamu kecuali aku khawatir shalat (qiyam Romadhon) itu diwajibkan atas kamu”, jelas menunjukkan bahwa perbuatan Nabi ﷺ semata tidak menunjukkan kewajiban.
- Hukum sunnah fi’liyyah pada asalnya berlaku bagi seluruh umat Islam, kecuali ada qarînah (tanda; indikasi) yang menunjukkan bahwa itu khusus hanya bagi Nabi ﷺ .
Diantara contoh fi’il (perbuatan) Nabi ﷺ , yang ada qarînah (tanda; indikasi) yang menunjukkan bahwa itu khusus bagi Nabi ﷺ seperti:
- Menikahi wanita lebih dari empat istridalam satu waktu,
- Kebolehan wanita menghibahkan dirinya kepada Nabi ﷺ sehingga Beliau bisa menikahinya tanpa mahar,
- Puasa wishal, yaitu berpuasa dua atau tiga hari berturut-turut dengan tanpa berbuka;
- Dan lain-lain.
- Sunnah fi’liyyah untuk menjelaskan sesuatu. Jika seperti itu, maka hukumnya sama dengan sesuatu yang dijelaskan itu.
Contohnya: tata cara ruku’ dan sujud Nabi ﷺ dalam shalat. Sunnah fi’liyah disini untuk menjelaskan kewajiban melaksanakan shalat seperti Nabi. Maka tata cara ruku’ dan sujud tersebut hukumnya wajib, sebab menjelaskan perintah Nabi ﷺ :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah seperti kamu melihat aku shalat!”. (HR. Al-Bukhari, no. 631 dari Sahabat Malik bin al-Huwairits)
- Bahwa hukum sunnah fi’liyyah jibiliyah, yaitu perbuatan yang berkaitan dengan insting atau fithrah, atau naluriyah, atau kebiasaan, bukan merupakan sunnah yang harus diikuti.
Contohnya:
Makan dengan tangan. Ini adalah naluriyah dan kebiasaan bangsa Arab. Sehingga ketika ada orang makan dengan sendok, tidak dikatakan “Kamu menyelisihi Sunnah!”. Adapun makan dengan tangan kanan adalah wajib, sebab ini diperintahkan oleh Nabi ﷺ , dan termasuk sunnah qauliyyah. Kebiasaan Nabi ﷺ ketika tidur mendengkur. Ini adalah sifat naluriyah Beliau ﷺ , dan bukan sunnah yang harus diikuti. Gaya berjalan Nabi ﷺ . Ini adalah sifat naluriyah Beliau ﷺ , dan bukan sunnah yang harus diikuti. Tetapi ketika seseorang makan dengan tangan, tersenyum, tidur, dengan niat meneladani Nabi ﷺ disebabkannya kecintaannya kepada Nabi ﷺ , maka itu menjadi ibadah yang berpahala.
-
Sunnah Taqrîriyyah
Sunnah taqriiriyyah adalah Sunnah Nabi yang berupa pembenaran Beliau ﷺ terhadap perbuatan Sahabat. Yaitu Nabi ﷺ melihat perbuatan Sahabat yang berkaitan dengan syari’at, lalu Beliau membiarkannya.
Sunnah taqriiriyyah juga merupakan hujjah, namun lebih lemah dari sunnah fi’liyyah. Seandainya ada pertentangan antara sunnah taqrîriyyah dengan sunnah fi’liyyah, dan keduanya tidak bisa dipadukan, maka sunnah f i ’liyyah lebih didahulukan.
Di antara contohnya adalah hadits:
عَنْ عَمْرو بن العَاصِ قَالَ: اِحْتَلَمْتُ فِيْ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فِيْ غَزْوَةِ ذَاتِ السُّلاَسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ، ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِيْ الصُّبْحَ فَذَكَرُوْا ذَلِكَ لِلَّنَبِي ﷺ فَقَالَ: “يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟ “فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِيْ مَنَعَنِيْ مِنَ الاغْتِسَالِ وَقُلْتُ إِنِّيْ سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُوْلُ: ( وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا) النساء – فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا
Dari Amru bin Al-‘Ash, dia berkata; Saya pernah bermimpi basah pada suatu malam yang sangat dingin sekali ketika perang Dzatus Salasil, sehingga saya takut akan binasa jika saya mandi. Lalu saya pun bertayammum kemudian Shalat Shubuh dengan para sahabatku. Lalu hal itu mereka laporkan kepada Nabi ﷺ , maka Beliau bersabda, “Wahai Amru, engkau shalat bersama para sahabatmu dalam keadaan junub?” Maka saya katakan kepada Beliau tentang apa yang menghalangiku untuk mandi dan saya katakan, “Sesungguhnya saya pernah mendengar Allâh berfirman: ‘Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allâh Maha Penyayang kepada kalian.’ (QS. An-Nisa’/4: 29)”. Maka Rasûlullâh ﷺ tertawa dan tidak mengatakan apa-apa. (HR. Abu Dawud, no. 334. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Hadits ini merupakan sunnah taqrîriyah terhadap perbuatan Sahabat ‘Amru bin al ’Ash رضي الله عنه yang melakukan tayammum karena khawatir binasa, di waktu yang sangat dingin, sebagai ganti kewajiban mandi janabat. Nabi tidak menyalahkan perbuatan Sahabat ‘Amru bin al-’Ash tersebut, sehingga itu merupakan kebenaran.
Contoh lainnya adalah hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الفَجْرِ : (( يَا بِلَالُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِيْ الإِسْلَامِ، فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِيْ الجَنَّةِ. (( قال: مَاعملتُ عَملاً أَرْجَى عِنْدِيْ : أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا، فِيْ سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَاكُتِبَ لِيْ أَنْ أُصَلِّيَ)).
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه , bahwa Rasûlullâh ﷺ berkata kepada Bilal di waktu shalat subuh, “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang satu amalan yang engkau lakukan di dalam Islam yang paling engkau harapkan pahalanya, karena aku mendengar suara kedua sandalmu di surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amal yang aku lakukan yang paling aku harapkan pahalanya daripada aku bersuci pada waktu malam atau siang, kecuali aku melakukan shalat dengan wudhu tersebut sebagaimana yang telah ditaqdirkan untukku.” (HR. Bukhari, no. 1149; Muslim, no. 2458)
Hadits ini merupakan sunnah taqririyah terhadap perbuatan sahabat Bilal bin Rabah رضي الله عنه , yang melakukan shalat sunnah setiap habis berwudhu’, baik di siang hari atau malam hari. Nabi ﷺ tidak menyalahkan Bilal, berarti perbuatan Bilal tersebut masuk ke dalam sunnah taqrîriyah.
Dan termasuk kesalahan sebagian orang, yang beranggapan bahwa perbuatan Bilal tersebut adalah bid’ah hasanah, hanya karena Nabi ﷺ tidak mengerjakannya. Ini adalah kesalahan yang nyata, sebab perbuatan Bilal tersebut adalah sunnah taqririyah, bukan bid’ah. Wallâhul Musta’an. Dari sini kita juga mengetahui, bahwa amalan yang tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasûlullâh ﷺ tidak mesti bid’ah. Sebab ada juga amalan yang masuk ke dalam sunnah qauliyyah, atau sunnah taqrîriyah.
Inilah sedikit pembahasan tentang mengenal Sunnah Nabi ﷺ , yang merupakan hujjah di dalam agama, sehingga kita bisa memahaminya dengan baik, dan mengikuti Sunnah dengan sebaik-baiknya. Sebab Sunnah Nabi ibarat kapal Nabi Nuh عليه السلام , barangsiapa menaikinya, maka dia akan selamat, namun barangsiapa ketinggalan, maka dia akan binasa.
Al-hamdilillahi rabbil ‘alamin.[ ]
EDISI 07 / TAHUN XXIV / 1442 H / 2020 M