TUTUPI KEBURUKAN MASA LALU !

oleh -2286 Dilihat
oleh
ketawan lu
Soal: 

Redaksi YKh.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ketika baru beberapa hari menikah, kami mengalami konflik. Masalahnya, karena istri saya sebelum menikah tidak berterus terang menjelaskan masa lalunya.

Pada awal bertemu, saya langsung mengutarakan niat baik padanya, hingga akhirnya dia langsung menerima saya. Alhamdulillah, kami tidak pacaran, karena memang dari dulu saya selalu menjaga tidak dekat-dekat dengan wanita. Kami menikah pada bulan September 2004.

Setelah beberapa hari, istri saya bercerita tentang masa lalunya, karena istri saya ternyata telah berpacaran beberapa kali dan saya juga diperlihatkan foto masa lalunya tersebut, sehingga membuat saya merasa sakit hati.

Sungguh saya sangat terpukul. Sampai suatu hari, antara sadar atau tidak, bercampur emosi, saya keceplosan minta pisah saja. Saya tidak bilang cerai, karena kata cerai tidak bisa untuk main-main (bercanda). Istripun setuju. Namun, setelah berjalan beberapa lama, saya bisa menerima keadaan istri saya, hingga sampai saat ini istri saya sudah mengandung.

Yang ingin saya tanyakan, apakah ikatan pernikahan saya ini masih sah? Apakah saya harus melakukan nikah ulang? Mohon penjelasan persoalan saya ini. Jazakumullahu khairal jaza`.

Swt, Tangerang, Banten

JAWAB :

Sesungguhnya sepasang suami istri tidak perlu menjelaskan masa lalu mereka berdua, apalagi yang berupa kemaksiatan, hal ini dilarang oleh agama. Nabi ﷺ bersabda:

Seluruh umatku mu’afa (dimaafkan dosanya), kecuali orang yang melakukan dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk melakukan dengan terangterangan yaitu, seseorang melakukan sesuatu perbuatan (kemaksiatan, Red.) pada waktu malam, lalu dia masuk pada waktu pagi, kemudian mengatakan: “Hai, Fulan! Kemarin malam aku telah melakukan demikian dan demikian”. Dia telah melewati malamnya dengan ditutupi (kemaksiatannya) oleh Rabb-nya (Penguasanya, Allah), dan dia masuk pada waktu pagi menyingkapkan tirai Allah darinya. (HR Bukhari dan Muslim)

Ada dua pendapat ulama berkaitan dengan maksud kata mu’afa di dalam hadits ini.

Pertama, dima’afkan dosanya oleh Allah.  Yaitu, setiap orang dari umat ini dimaafkan dosanya dan tidak akan disiksa, kecuali orang fasik yang secara terang-terangan melakukan kemaksiatan.

Kedua, setiap umat Islam tidak boleh dighibah, kecuali orang yang secara terang-terangan melakukan kemaksiatan. (Diringkas dari Fathul Bari, Syarh Shahih Bukhari, hadits no. 6069).

Hadits ini secara jelas melarang menceritakan keburukan atau kemaksiatan pada masa lalu, karena hal itu termasuk melakukan kemaksiatan secara terangterangan. Dan sudah pasti, jika suatu larangan agama dilanggar, akan mengakibatkan hal-hal yang tidak baik. Apa yang menimpa Anda dapat menjadi pelajaran.

Di dalam sebuah hadits yang lain, Rasulullah ﷺ memberitakan:

Sesungguhnya Allah akan mendekatkan seorang mukmin, lalu Dia akan meletakkan tiraiNya padanya dan menutupinya. Kemudian Allah mengatakan: “Apakah engkau mengetahui dosa(mu) ini, apakah engkau mengetahui dosa(mu) ini?” Orang mukmin itu mengatakan: “Ya, wahai Rabb-ku”. Sehingga, jika Allah telah menjadikan orang mukmin itu mengakui dosadosanya, dan dia melihat dirinya pasti akan celaka, Allah berfirman: “Aku telah menutupinya padamu di dunia, dan sekarang Aku akan menghapusnya untukmu pada hari ini (Kiamat)”. Kemudian buku kebaikannya-kebaikannya diberikan kepadanya. Adapun orang kafir dan orang-orang munafik, maka para saksi mengatakan: “Mereka ini orang-orang yang mendustakan Rabb mereka. Ketahuilah, laknat Allah menimpa orang-orang yang zhalim”. (HR Bukhari, no. 7514; Muslim, no. 2768).

Sungguh, ditutupinya kesalahan seseorang, tidak tersebarnya hal tersebut di dunia dan di akhirat, merupakan kenikmatan dari Allah k yang sangat besar. Sebaliknya, tersebarnya dan diumumkannya kemaksiatan seseorang merupakan kehinanaan baginya. Karena, siapakah di antara kita yang bebas dari kesalahan dan dosa-dosa?

Setiap manusia banyak berbuat salah (dosa). Dan sebaik-baik dari orangorang banyak berbuat salah (dosa) adalah orang-orang yang banyak bertaubat. (HR Tirmidzi, no. 2499; Ibnu Majah, Ahmad, Darimi; dari sahabat Anas bin Malik).

Dengan penjelasan ini, maka masalah Anda ini tidaklah disebabkan oleh istri Anda yang tidak berterusterang menjelaskan masa lalunya sebelum pernikahan. Karena seharusnya kita menutupi kesalahan masa lalu, karena memang Allah telah menutupi kesalahan-kesalahan itu. Cukuplah orang yang telah terlanjur berbuat dosa dan kesalahan itu bertaubat dengan sungguhsungguh kepada Allah k .

Memang benar kata “cerai” tidak boleh untuk main-main. Di dalam sebuah hadits disebutlkan :

Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tiga (perkara), serius pada tiga (perkara itu) berarti sungguh-sungguh, dan main-main pada tiga (perkara itu) berarti sungguh-sungguh, yaitu : nikah, thalaq, dan ruju’.1)

(HR Abu Dawud, no. 2194; Tirmidzi, no. 1184; Ibnu Majah, no. 2039; dihasankan oleh Syaikh al Albani).

Adapun perkataan Anda yang minta pisah dengan tanpa maksud thalaq (cerai), maka hal itu tidak menjadikan perceraian dan lepasnya ikatan pernikahan, karena lafazh talaq itu ada dua.

Pertama. Lafazh sharih (nyata, tegas).

Yaitu lafazh yang ketika diucapkan difahami sebagai thalaq, dan tidak ada makna lain. Contoh: “engkau saya thalaq”, “engkau dithalaq (dicerai)”, dan semacamnya yang menggunakan kata “thalaq”. Sehingga seorang suami yang mengucapkan lafazh sharih thalaq ini, maka thalaqpun terjadi, baik dia melakukan secara bersendau-gurau, atau main-main, atau tidak berniat.

Kedua. Lafazh kinayah (sindiran, tidak tegas).

Yaitu lafazh yang bermakna thalaq dan bermakna bukan thalaq. Contoh: “pulanglah ke rumah orang-tuamu”, “engkau bebas”, “engkau kulepaskan”, dan lainnya. Lafazh kinayah (sindiran) thalaq ini, jika diucapkan seorang suami kepada istrinya, thalaq tidak terjadi kecuali dengan niat thalaq. (Diambil dari kitab al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, hlm. 322, karya Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi).

Adapun mengenai apa yang telah Anda katakan tersebut termasuk kata kinayah (sindiran), sedangkan Anda tidak berniat menthalaq istri, maka thalaq tidak jatuh, pernikahan Anda tetap sah, tidak perlu nikah ulang.

Demikian jawaban kami, dan hendaklah Anda bersegera mengurusi istri dan mempergaulinya dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan bimbinganNya, sehingga kita semua dapat mengayuh biduk rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Wallahu a’lam. (Red)


Footnote:

1) Serius atau tidak, sama saja yaitu sama-sama jadi

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!