Al Mufawwidhah adalah orang-orang yang menyerahkan makna sifat-sifat Allah kepada Allah. Yaitu mengatakan, bahwa makna nash-nash sifat tersebut hanya Allah saja yang mengetahui maknanya, dan menggolongkan ayat-ayat sifat sebagai ayat-ayat mutasyabihat yang hanya Allah saja yang mengetahui maknanya. Mereka mengklaim, demikian ini madzhab Salaf dalam tauhid asma‘ was sifat. Mereka ini, oleh Ibnu Taimiyah disebut juga sebagai ahli tajhil. Karena konsekwensi ucapan mereka adalah Allah dan RasulNya berbicara kepada manusia dengan kata-kata yang sebagian besar darinya tidak diketahui maknanya. Kata-kata tanpa makna, yang hanya diimani lafadznya saja, tanpa mengimani kandungan maknanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membeberkan perkataan-perkataan ahli tafwidh dan beliau Rahimahullah telah membantahnya. Berikut ini kami akan menukil sejumlah perkataan beliau Rahimahullah yang menunjukkan kebatilan pendapat ahli tafwidh, dan menunjukkan bahwa pendapat mereka merupakan pendapat yang paling buruk.
Adapun keyakinan tafwidh (menyerahkan makna ayat sifat kepada Allah), sudah dimaklumi bahwa Allah telah memerintahkan kita untuk mentadabburi al Qur‘an, menganjurkan kita untukmengetahui dan memahaminya. Lalu bagaimana mungkin Allah menghendaki kita untuk berpaling dari memahami, mengetahui dan mentadabburinya? Mana mungkin nash-nash yang tujuannya menjadi hidayah dan penjelasan bagi kita serta mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya, ternyata dhahir makna yang terkandung di dalamnya adalah kebatilan dan kekufuran? Dan mana mungkin Allah tidak menghendaki kita untuk mengetahui maknanya yang dhahir maupun batin? Atau menghendaki kita untuk mengetahui makna batinnya tanpa ada penjelasan?
Yang jelas menurut pendapat ini, nash-nash tersebut ditujukan kepada kita tanpa menjelaskan kebenaran di dalamnya. Dan kita juga tidak tahu bahwa kandungan nash tersebut adalah kebatilan dan kekufuran!
Hakikat perkataan mereka tentang al mukhaathib (Allah dan RasulNya), bahwa al mukhaathib tidak menjelaskan kebenaran dan tidak menerangkannya, namun demikian memerintahkan kita untuk meyakininya. Dan bahwasanya perkataan yang ditujukan kepada kita, diperintahkan untuk diikuti dan diserahkan kepada maksudnya kepadaNya, namun Dia tidak menjelaskan dan mengungkap kebenaran yang terdapat di dalamnya. Bahkan makna dhahirnya mengandung kekufuran dan kebatilan. Semuaitu secara tegas dapat dipastikan, bahwa Allah dan RasulNya maha suci darinya. Dan bahwasanya hal itu sejenis dengan perkataan ahli tahrif dan kaum mulhid.
Kaum Jahmiyah, Mu’tazilah dan semisalnya mengatakan, sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى menghendaki manusia untuk meyakini kebenaran menurut hakikat sebenarnya. Sementara menurut mereka, Allah belum menjelaskannya dalam al Qur‘an maupun as Sunnah. Bahkan nashnash al Qur‘an dan as Sunnah, dhahirnya justru bertolak belakang dengannya. Mereka mengatakan, Allah menghendaki manusia untuk meyakini kebatilan dan memerintahkannya. Mereka juga mengatakan, Allah menghendaki sebuah keyakinan yang belum jelas bagi manusia, kecuali keyakinan yang bertolak belakang dengannya.
Setiap mukmin pasti mengetahui, kedua perkataan di atas adalah batil. Para penolak sifat dan ahli takwil pasti terjatuh kepada salah satu dari keduanya. Jika terbukti keduanya batil, maka takwil para penolak sifat itu adalah batil. Dan berarti, lawannya benar. Yaitu menetapkan dalil-dalil syar’i berdasarkan kandungan maknanya. Barangsiapa keluar dari hal tersebut, ia pasti jatuh dalam kerusakan yang belum pernah seorangpun mengucapkannya, kecuali ahli ilhad.
Konsekwensi-konsekwensi perkataan ahli tafwidh yang kami sebutkan di atas merupakan konsekwensi yang nyata dan sudah dimaklumi di kalangan mereka. Sebab mereka mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ mengetahui makna nash-nash musykil mutasyaabih tersebut. Akan tetapi, beliau ﷺ belum menjelaskan maksudnya kepada manusia, dan tidak menyebutkan keterangan yang dapat memutus kontroversi ini”.
Adapun menurut pendapat tokoh-tokoh senior mereka: “Makna nash-nash musykilah mutasyaabih tersebut hanya diketahui oleh Allah semata. Makna yang diinginkan oleh Allah adalah makna yang mengharuskan kita memalingkan nash-nash itu dari makna dhahirnya. Jadi menurut pendapat mereka, para nabi dan rasul tidak mengetahui makna nash-nash yang diturunkan Allah kepada mereka. Demikian pula para malaikat dan generasi pertama umat ini. Jadi, sifat yang Allah sebutkan bagi diriNya dalam al Qur`an atau sebagian besar dari sifat-sifat yang Allah sebutkan bagi diriNya, semuanya tidak diketahui oleh para nabi. Bahkan mereka telah mengucapkan perkataan yang tidak dapat dipahami maknanya. Demikian pula nash-nash yang menetapkan masalah takdir menurut sebagian kelompok dari mereka. Juga nash-nash yang menetapkan perintah dan larangan, janji dan ancaman menurut sebagian kelompok lain. Serta nash-nash yang menetapkan hari berbangkit, menurut sebagian kelompok lainnya.
Sebagaimana dimaklumi, ini merupakan pelecehan terhadap al Qur‘an dan para nabi. Allah telah menurunkan al Qur‘an, dan telah mengabarkan bahwa al Qur‘an merupakan hidayah dan petunjuk bagi umat manusia, serta memerintahkan para nabi agar menyampaikannya dengan jelas dan terang, menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Serta memerintahkan agar mentadabburi dan memahaminya. Namun, walau begitu inti sari dari semua itu – yakni berita tentang sifat-sifatNya, atau tentang eksistensiNya sebagai pencipta segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, atau tentang perintah dan laranganNya, tentang janji dan ancamanNya, atau berita tentang hari Akhirat- tidak ada seorangpun yang mengetahui maknanya, tidak dapat dipahami dan ditadabburi. Dan para rasul tidak menjelaskan kepada manusia, apa yang diturunkan kepada mereka; dan tidak menyampaikannya dengan terang dan jelas.
Berdasarkan itu semua, setiap mulhid dan mubtadi’ akan mengatakan, kebenaran, pada hakikatnya adalah apa yang dipahami oleh pendapat akalku. Tidak ada nash-nash yang bertentangan dengan akal pikiranku, karena nash-nash tersebut musykil (tidak bisa dipahami) dan mutasyaabih (masih belum jelas maknanya), tidak ada seorangpun yang mengetahui maknanya. Dan apa-apa yang tidak bisa dipahami maknanya, tidak boleh diangkat sebagai dalil.
Perkataan ahli tafwidh tersebut akan menghalangi dan merintangi jalan petunjuk ataupun hidayah yang disampaikan oleh para nabi. Akan membuka pintu bagi siapasaja yang ingin membantahnya. Siapa saja akan mengatakan, sesungguhnya hidayah dan petunjuk ada pada jalan kami, bukan jalan para nabi. Karena kami tahu apa yang kami katakana, dan kami dapat menjelaskannya dengan dalil-dalil logika. Sedangkan para nabi tidak mengetahui apa yang mereka katakana, dan tidak bisa menjelaskan maksud perkataan mereka.
Jadi jelaslah, perkataan ahli tafwidh yang mengklaim bahwa mereka mengikuti Sunnah dan Salaf merupakan perkataan ahli bid’ah dan mulhid yang paling buruk.1
Syaikhul Islam juga menegaskan: “Tafwidh merupakan madzhab (jalan) para nufaat (penolak sifat).”2
Barangsiapa yang hanya mengimani lafadz saja tanpa mengimani makna yang terkandung di dalamnya, atau meyakini bahwa nash tersebut hanya sekedar lafadz tanpa dapat diketahui maknanya, kewajiban kita hanyalah membacanya saja, seperti kita membaca: Alif Laam Miim dan Haamiim, lalu menisbatkan pendapat ini kepada kaum Salaf, maka sesungguhnya ia telah keliru. Karena Ahlu Sunnah menetapkan makna asma‘ Allah dan sifatNya.
Perkara yang tidak mereka singgung adalah kaifiyatnya. Mereka tidak membahas kaifiyat sifat-sifatNya. Karena hal itu termasuk perkara ghaib yang tidak Allah sebutkan. Maka cukuplah bagi kita berhenti pada batas ilmu yang kita ketahui.
Berdasarkan hal tersebut jelaslah, kita harus mengimani lafadz berikut makna-makna yang hak, yang terkandung di dalamnya yang layak bagi Allah سبحانه وتعالى . Semua itu tanpatakwil dan tanpa ta’thil, tanpa takyiif (menanyakan kaifiyatnya) dan tanpa tahrif (menyelewengkan maknanya), tanpa tamtsil (menyamakannya dengan sifat makhluk) dan tanpa tafwidh.
Dalilnya adalah perkataan Imam Malik dan Syaikh beliau, Rabi’ah ar Ra‘yi: “Istiwaa’ (bersemayam) bukanlah tidak diketahui maknanya, adapun kaifiyatnya tidaklah diketahui, mengimaninya adalah wajib, serta menanyakan tentangnya termasuk bid’ah”.
Maksudnya, makna istiwaa’ sudah dimaklumi, bukan maksudnya pencantuman lafadz istiwaa’ sudah dimaklumi. Sementara kaifiyatnya tidak diketahui. Oleh karena itu, mengimani makna istiwaa’ adalah wajib, dan bertanya tentang kaifiyatnya adalah bid’ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Perkataan Malik di atas merupakan jawaban yang paling tepat dan jitu dalam masalah ini, serta paling lengkap. Karena di dalamnya terdapat penolakan terhadap takyiif (mempertanyakan kaifiyat) dan penetapan bagi sifat istiwaa’ (bersemayam) yang dipahami maknanya. Para ahli ilmu mengikuti perkataan beliau ini, menganggapnya baik dan memujinya”. 3
Beliau juga mengatakan: “Kaum Muslimin telah menerima dengan baik ucapan beliau ini, dan tidak ada seorangpun dari Ahlu Sunnah yang mengingkarinya”.4
HASAN AL BANNA DAN TAFWIDH
Menggolongkan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah sebagai nash mutasyaabihatmerupakan dasar bagi keyakinan tafwidh yang dianut oleh Hasan al Banna. Dia berkata: “Kami yakin pendapat Salaf yang menahan diri, dan menyerahkan ilmu tentang makna-makna ayat sifat kepada Allah سبحانه وتعالى lebih selamat dan lebih patut diikuti untuk mencegah takwil dan ta’thil. Aku termasuk orang yang diberi kebahagiaan oleh Allah dengan keimanan yang mantap, dan termasuk orang yang disejukkan hatinya dengan sejuknya keyakinan, dan aku tidak ingin mencari jalan yang lain. Disamping itu, kami juga berkeyakinan, takwil kaum khalaf tidaklah membuat mereka jatuh ke dalam kekufuran atau kefasikan”. Firman Allah:
﴿اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى ٥ ﴾
(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS Thaahaa : 5).
﴿ يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ ۚ ﴾
…… Tangan Allah di atas tangan mereka,…… (QS al Fath : 10).
﴿وَّجَاۤءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّاۚ ﴾
dan datanglah Rabbmu; sedang Malaikat berbaris-baris. (QS al Fajr : 22).
Sabda Nabi ﷺ :
قَلْبُ المُؤْمِنِ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحمَن يُقَلِّبُهُ كَيْفَ يَشَاءُ
Hati seorang mukmin di antara dua jari dari jari-jemari Allah, Dia membolak-balikkannya menurut kehendakNya.
Dan sabda Nabi ﷺ :
يَنْزِلُ رَبُّنَا إلَىَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا
Allah turun ke langit dunia.
Kita tidak mengetahui makna yang dimaksud dari ayat dan hadits di atas. Kita hanya menyerahkan perkaranya kepada Allah سبحانه وتعالى .Tafwidh (penyerahan makna kepada Allah) dalam kondisi seperti ini lebih selamat, lebih bijaksana dan lebih ilmiah. Janganlah kita saling mengkafirkan satu sama lain, dan jangan saling cela. Hendaklah kalimat kaum Muslimin bisa bersatu.
Demikian penegasan yang sangat jelas, bahwa Hasan al Banna meyakini pendapat Salaf, yaitu menahan diri dan menyerahkan ilmu tentang makna ayat-ayat sifat kepada Allah. Berarti maksudnya, mereka hanya mengimani lafadz ayat-ayat sifat dan hadits-haditsnya, tanpa memahami maknanya. Ini jelas mengada-ada atas nama mereka tanpa ilmu dan argumentasi yang jelas. Lalu ia mengklaim, cara seperti ini lebih selamat, lebih bijaksana dan lebih ilmiah.
Jelas, pemahaman seperti ini sebuah kekeliruan yang sangat fatal, menisbatkan madzhab ahli tafwidh dan tajhil kepada salaf. Pemahaman seperti ini telah terbantah oleh Ibnu Taimiyah Rahimahullah seperti yang telah kami nukil di atas.
Ini mengindikasikan, bahwa aqidah Ikhwanul Muslimin dalam bab tauhid Asma‘a’ dan Shifat Allah masih mengambang dan tidak jelas. Belum ada satu ketetapan dari mereka dalam masalah ini.
Hasan al Banna memandang ayat-ayat serta hadits-hadits asma“ dan shifat termasuk nash mutasyaabihat. Aqidah tafwidh ini dianut pula oleh para penerusnya, seperti Yusuf al Qaradhawi yang mengategorikan perkataan kaum mufawwidhah sebagai aqidah kaum Salaf.5
Hasan al Banna berkata:
“Ma’rifatullah, tauhid serta pemahasucianNya merupakan aqidah Islamiyah yang paling mulia. Ayat-ayat dan hadits-hadits shahih serta seluruh perkara yang berkaitan dengan asma“ dan sifat termasuk nash-nash mutasyabihat. Kita mengimaninya sebagaimana yang tertera, tanpa takwil dan tanpa ta’thil (mengingkarinya). Kita tidak perlu menyinggung permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama dalam bab ini. Cukuplah bagi kita apa yang cukup untuk Rasulullah ﷺ dan para sahabat, yaitu firman Allah:
﴿ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ﴾
……Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”…… (QS Ali Imran : 7).6
Mereka juga mengatakan: “Demikian pula bersemayamnya Allah di atas Arsy termasuk ayat mutasyaabihat. Kita cukup mengimaninya dan tidak perlu menyinggungnya, serta tidak melampaui batas pengetahuankita seperti yang telah aku jelaskan”.7
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, adapun menggolongkan asma‘ Allah dan sifatNya, atau sebagiannya ke dalam ayat-ayat mutasyabihat yang hanya diketahui takwilnya oleh Allah, atau yang meyakini bahwa semuanya termasuk nash mutasyaabihat yang Allah rahasiakan takwilnya -seperti yang diyakini oleh beberapa golongan- kalaupun mereka benar dalam sebagian besar perkataan mereka dan terhindar dari bi’dah, yang mana golongan lain terjerumus ke dalamnya, maka pembicaraan dalam masalah ini terfokus pada dua hal.
Pertama. Bagi yang berpendapat asma‘ dan sifat tersebut tergolong ayat-ayat mutasyaabihat yang tidak dipahami maknanya, maka kami katakan kepada mereka: “Dalil yang menunjukkan kebatilan ucapan mereka ini, belum pernah kita dapati seorangpun dari kalangan Salaf dan para imam, baik Ahmad bin Hambal maupun yang lainnya, yang menggolongkan asma‘ dan sifat Allah ke dalam ayat mutasyabihat dan menafikan adanya orang yang memahami maknanya. Atau menggolongkan asma‘ dan sifat Allah sebagai perkataan asing yang tidak dapat dipahami. Dan merekapun tidak pernah mengatakan bahwa Allah telah menurunkan firman-firmanNya yang tidak dapat dipahami maknanya. Bahkan mereka mengatakan, nash-nash tersebut adalah kumpulan kalimat yang memiliki makna yang benar”.
Kedua. Berkenaan dengan hadits-hadits tentang sifat Allah, mereka mengatakan: “Pahamilah sebagaimana yang tertera”. Merekapun melarang takwil-takwil ala Jahmiyah.
Mereka menolak dan mengingkarinya, karena konsekwensinya adalah penafian nash-nash, serta apa yang terkandung di dalamnya. Nash-nash perkataan Imam Ahmad dan ulama lain sebelum beliau menegaskan, bahwasanya mereka menolak takwil-takwil model Jahmiyah ini. Mereka menetapkan nash-nash asma‘ dan sifat berdasarkan makna yang terkandung di dalamnya. Mereka memahami sebagian dari yang terkandung dalam nash-nash tersebut, sebagaimana halnya mereka memahami nash-nash tentang janji, ancaman, fadhaail dan lain sebagainya.
Imam Ahmad juga memahami selain hadits-hadits tentang sifat Allah sebagaimana yang tertera, seperti yang beliau lakukan dalam memahami hadits-hadits tentang fadhaail. Maksudnya, hadits-hadits tersebut tidak boleh dipalingkan dari makna yang sebenarnya.8 Wallahu a’lam.
ditulis oleh : Ust Abu Ihsan al Atsari
Footnote:
1) Lihat Dar’u Ta’aradhil ‘Aql wan Naql, I/201-205.
2) Lihat ar Risalah at Tadmuriyah, hlm. 30.
3) Syarah Hadits an Nuzuul, hlm. 145.
4) Al Ikliil fi Mutasyaabih at Takwiil, hlm. 50
5) Lihat buku al Qaradhaawi fil Mizan, Sulaiman bin Shalih al Khurasyi.
6) Syarah Ushul al ‘Isyriin, hlm. 39.
7) Al Ikhwan al Muslimun, tafsir surat as-Sajdah, hlm. 4.
8) Al Iklil fi Mutasyaabihu wat Takwil, hlm. 32-50
Maraji‘ :
– Al Qawaaidul Mutsla, Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin.
– Taqrib Tadmuriyah, Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin.
– Fatawa al Hamawiyah al Kubra, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
– Dar’u Ta’aarudhil Aqli wan Naqli, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
– Jama’aatul Islamiyah fi Dhauil Kitab was Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali.
– Al Qaradhaawi fil Mizan, Sulaiman bin Shalih al Khurasyi.
– At Tuhfatul Mahdiyah, Syaikh Falih bin Mahdi Ali Mahdi.
Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun IX/1427H/2006M