Setiap insan tentu mendambakan kehidupan yang bahagia, damai dan jauh dari berbagai kesusahan. Untuk tujuan ini, orang rela mengorbankan harta, waktu dan tenaga yang mereka miliki demi meraih apa yang mereka ungkapkan sebagai ‘kebahagiaan dan ketenangan hidup yang sejati’.
Ironisnya, dalam upaya mencari kebahagiaan dan ketenangan hidup ini, di antara mereka ada yang menempuh jalan yang keliru dan justru menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesengsaraan dan malapetaka, dengan mengikuti godaan dan tipu daya setan yang selalu menghiasi keburukan amal perbuatan manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allâh menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. [Fâthir/35:8].
Allah Azza wa Jalla Yang Maha Menciptakan, Menguasai dan Mengatur alam semesta beserta semua makhluk di dalamnya, Dialah yang memiliki dan menguasai segala bentuk kebaikan dan kebahagiaan yang dibutuhkan oleh semua manusia, dan semua itu akan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, “Ya Allâh Yang maha memiliki semua kerajaan (kekuasaan di alam semesta), Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[Ali ‘Imrân/3:26].
Dan orang-orang yang dikehendaki dan dipilih-Nya untuk meraih kebahagiaan hidup adalah orang-orang beriman yang selalu berpegang teguh dengan petunjuk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Maka jika datang kepadamu (wahai manusia) petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan sengsara (dalam hidupnya) [Thâhâ/20:123].
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik/bahagia (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97].
Ketenangan Hidup Diraih Dengan Materi Duniawi ?
Kebanyakan manusia menilai dengan kebodohannya bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup diraih dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan menggapai kedudukan duniawi setinggi-tingginya, sebagai akibat dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan sifat materialistis dalam diri mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai. [ar-Rûm/30:7].
Artinya, mereka hanya memahami dan mengutamakan perhiasan duniawi yang tampak di mata mereka, sementara mereka melalaikan balasan kebaikan yang kekal abadi di akhirat[1].
Oleh karena itu, mereka berusaha sekuat tenaga dan berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan duniawi, tanpa mengenal lelah dan waktu. Sifat tamak ini, paling tidak akan menyeret mereka kepada dua kerusakan dan keburukan besar:
- Cinta kepada dunia/harta yang berlebihan
- Ambisi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa peduli halal atau haram.
Dua kerusakan besar ini sudah cukup menjadi awal malapetaka besar bagi seorang hamba dan pada gilirannya akan membawa bencana-bencana besar lainnya, jika hamba dia tidak menyadari bahaya ini dan bertobat kepada Allâh Azza wa Jalla .
Renungkanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
وَاللَّهِ لاَ الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
Demi Allâh, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia (harta) itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka[2].
Arti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “…sehingga (akibatnya) dunia (harta) itu membinasakan kalian”: dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan, disebabkan persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya serta kesibukan dalam mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Allâh Azza wa Jalla dan balasan di akhirat[3].
Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ
Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.
Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allâh-lah pahala yang besar. [at-Taghâbun/64:15][4].
Dalam dua hadits ini terdapat nasehat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-pintu harta, hendaknya dia mewaspadai bahaya dan fitnah harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu berambisi dalam mengejarnya[5].
Maka mungkinkah seseorang akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya kalau sifat yang merupakan sumber kebinasaan dan bencana ini selalu ada pada dirinya?. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa malapetaka dan bencana yang menimpa orang yang memiliki sifat ini akan terus bertambah besar seiring dengan semakin rakusnya dia mengejar harta benda duniawi dan banyaknya dia mengkonsumsi harta yang haram. Hal ini dikarenakan secara tabiat nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas dan cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[6], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allâh Azza wa Jalla.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas, maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga”.[7]
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut dan tanpa memperdulikan cara-cara yang halal atau haram. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia, sebelum siksaan yang lebih besar di akhirat nanti.
Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada berakhir [8].
Dalam hal ini, seorang Ulama Salaf berkata: “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan), maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan”[9].
Dampak Buruk dan Bencana dari Harta yang Haram Dalam Kehidupan Manusia
Sebagaimana yang kami paparkan di atas bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup sejati hanya Allâh Azza wa Jalla akan anugerahkan kepada orang-orang yang berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam hal ini, menjauhi harta haram dan segala sesuatu yang didapatkan dengan cara yang tidak dibenarkan dalam Islam
Allâh Azza wa Jalla enggan untuk memberikan kebahagiaan dan ketenangan hidup bagi orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya, di dunia dan akhirat, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ ﴿١٢٤﴾ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ﴿١٢٥﴾ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan/petunjuk-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (sengsara) (di dunia), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allâh berfirman: “Demikianlah, dulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan. [Thâhâ/20:124-126]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Artinya, barangsiapa yang menyelisihi perintah-Ku dan ketentuan syariat yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku n , (dengan) berpaling darinya, melupakannya dan mengambil selain petunjuknya, maka baginya penghidupan yang sempit/sengsara, yaitu di dunia, sehingga dia tidak akan merasakan ketenangan (hidup) dan tidak ada kelapangan dalam hatinya. Bahkan hatinya sempit dan sesak karena penyimpangannya, meskipun (terlihat) secara lahir (hidupnya) senang, berpakaian, makan dan bertempat tinggal sesukanya, akan tetapi hatinya selalu diliputi kegundahan, keguncangan dan keraguan, karena jauhnya dirinya dari kebenaran dan petunjuk-Nya”[10].
Maka orang yang menimbun harta yang haram tidak mungkin merasakan kebahagiaan dan ketenangan sejati dalam hidupnya, berapapun banyaknya harta dan kemewahan duniawi yang dimilikinya, bahkan ini justru akan membawa penderitaan yang berkepanjangan dalam hidupnya.
Oleh karena itu, secara khusus, beberapa ulama ahli tafsir menafsirkan ‘penghidupan yang sempit/sengsara’ dalam ayat ini dengan kasbul harâm (penghasilan/harta yang haram)[11], yang menandakan bahwa harta haram merupakan salah satu faktor utama yang menjadikan manusia selalu ditimpa bencana dan kesulitan dalam hidupnya.
Imam Ibnul Jauzi t menukil ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs c , bahwa beliau berkata: “Penghidupan yang sempit (artinya) disempitkan baginya pintu-pintu kebaikan (penghasilan yang halal), sehingga dia tidak mendapatkan petunjuk kepada kebaikan dan dia mempunyai penghasilan yang haram sebagai usahanya”.
Semakna dengan itu, Imam adh-Dhahhâk dan ‘Ikrimah berkata, “Penghidupan yang sempit ini yaitu al-kasbul khabîts (usaha/penghasilan yang buruk/haram) [12].
Berikut ini, beberapa keburukan dan kerusakan akibat harta yang didapatkan dengan cara haram, sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil dari al-Qur`ân dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
1. Mengkonsumsi harta yang haram adalah perbuatan maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengikuti langkah-langkah setan/Iblis.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ﴿١٦٨﴾ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, serta mengatakan tentang Allâh apa yang tidak kamu ketahui. (QS al-Baqarah/2: 168-169).
Mengikuti langkah-langkah syaithan adalah dengan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya, termasuk dalam hal ini memakan harta yang haram[13].
2. Ancaman adzab Neraka bagi orang yang mengkonsumsi harta haram.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram (dan) neraka lebih layak baginya” [14].
3. Mengkonsumsi harta haram adalah termasuk sebab utama tidak dikabulkannya doa dan ini adalah sebesar-besar bencana bagi hamba.
Rasûlullâh Sllallahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda menceritakan tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, tubuhnya dipenuhi debu, ketika itu lelaki tersebut berdoa dengan mengangkat kedua tangannya ke langit dan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla : Wahai Rabb, Wahai Rabb…, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(Sedangkan) laki-laki tersebut mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal, pakainnya pun tidak halal dan selalu diberi (makanan) yang tidak halal, maka bagaimana mungkin permohonannya akan dikabulkan (oleh Allâh)? [15].
Dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang tersebut sebenarnya telah menghimpun banyak faktor yang seharusnya memudahkan terkabulnya permohonan dan doanya, akan tetapi karena perbutan maksiat yang dilakukannya, yaitu mengkonsumsi harta yang haram, sehingga dikabulkannya doa tersebut terhalangi[16].
Inilah makna firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan jika hamba-hamba-Ku, maka (jawablah) bahwa sesungguhnya Aku Maha Dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam petunjuk [al-Baqarah/2: 186].
Salah seorang ulama terdahulu, Yahya bin Mu’adz ar-Râzi[17], mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau:
لاَ تَسْتَبْطِئَنَّ اْلإِجابَةَ إذا دَعَوْتَ، وَقَدْ سَدَدْتَ طُرُقَها باِلذُّنُوْبِ
Janganlah sekali-kali kamu merasa (permohonanmu) terlalu lama tidak dikabulkan ketika kamu berdoa (kepada Allâh ), karena sungguh kamu (sendiri) yang telah menutup pintu-pintu pengabulan (doamu) dengan dosa-dosamu[18].
Musibah apa yang lebih besar bagi hamba jika doanya tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla ? Bukankah setiap saat dia punya kebutuhan dalam urusan dunia maupun agama? Lalu siapakah yang dapat memenuhi kebutuhan dan memudahkan urusannya selain Allâh Azza wa Jalla ? Siapakah yang dapat mengabulkan permohonannya jika Allâh Azza wa Jalla berpaling dari-Nya?
Maha benar Allâh Azza wa Jalla yang berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Hai manusia, kamulah yang butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allâh Azza wa Jalla Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji. [Fâthir/35: 15].
Bahkan karena doa merupakan inti dari ibadah shalat, maka dikhawatirkan shalat seorang yang mengkonsumsi harta yang haram tidak diterima oleh Allâh Azza wa Jalla . Ibnu ‘Abbâs c berkata: “Allâh Azza wa Jalla tidak menerima shalat seorang yang di dalam perutnya ada (makanan) yang haram, sampai dia bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari perbuatan tersebut”[19].
4. Tidak diterimanya harta yang haram meskipun diinfakkan/dibelanjakan dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Allâh Maha Baik dan Dia tidak menerima kecuali yang baik (halal)”[20].
Imam Sufyân ats-Tsauri t berkata, “Barangsiapa yang menginfakkan (harta) yang haram dalam ketaatan (kepada Allâh Azza wa Jalla ), maka dia seperti orang yang membersihkan (mencuci) pakaian dengan air kencing, padahal pakaian tidak dapat dibersihkan kecuali dengan air (yang bersih dan suci), (sebagaimana) dosa tidak dihapuskan kecuali dengan (harta) yang halal”[21].
5. Mengkonsumsi harta yang haram merupakan sebab terhalangnya seseorang dari melakukan amal shaleh, sebagaimana mengkonsumsi harta yang halal merupakan sebab yang memotivasi manusia untuk beramal shaleh.
Allâh Azza wa Jalla mengisyaratkan eratnya keterkaitan antara mengkonsumsi makanan yang halal dengan semangat beramal shaleh, dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Wahai rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al-Mukminûn/23:51].
Ayat ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal merupakan sebab yang mendorong manusia untuk beramal shaleh dan sebab diterimanya amal shaleh tersebut[22].
6. Mengkonsumsi harta yang haram termasuk sifat mayoritas orang-orang dimurkai oleh Allâh Azza wa Jalla (orang-orang Yahudi).
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. [al-Mâidah/5:62].
Maka melakukan perbuatan ini berarti meniru dan menyerupai sifat mereka, padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka” [23].
7. Tersebarnya harta yang haram merupakan sebab turunnya bencana dan azab dari Allâh Azza wa Jalla kepada manusia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Apabila perbuatan zina dan riba telah tampak (tersebar) di suatu desa, maka sungguh mereka telah mengundang azab (dari) Allâh untuk menimpa mereka” [24].
Inilah makna firman Allâh Azza wa Jalla :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[25] manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)..[ar-Rûm/30:41]
Demikian juga firman-Nya :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). [asy-Syûrâ/42:30].
Oleh karena keburukan dan kerusakan ini, Imam adz-Dzahabi rahimahullah memasukkan perbuatan mengkonsumsi harta yang haram dengan cara apapun termasuk dosa-dosa yang sangat besar dalam kitab al-Kabâir (hlm. 118).
Harta Halal Sebab Kecukupan, Kelapangan Hati dan Ketenangan Hidup
Dalam doa masyhur yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu :
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Ya Allâh, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezki-Mu yang halal (dan jauhkanlah aku) dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karuniamu (sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu [26].
Hadits yang agung ini memuat petunjuk bahwa rezeki yang halal adalah sebab kecukupan dan limpahan karunia dari Allâh Azza wa Jalla kepada manusia, dan jika Allâh Azza wa Jalla telah mencukupi seorang hamba dengan karunia-Nya maka siapakah yang dapat mencelakakan dan menghinakan hamba tersebut? Allâh Azza wa Jalla berfirman.
اَلَيْسَ اللّٰهُ بِكَافٍ عَبْدَهٗۗ
Bukankan Allâh maha mencukupi hamba-Nya (dalam semua keperluannya)? [az-Zumar/39:36].
Dengan demikian, kecukupan, kelapangan hati dan ketenangan hidup manusia hanya dapat diraih dengan mengikuti petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan mengikuti ketentuan syariat-Nya, termasuk dalam hal ini mencukupkan diri dengan harta yang halal dan menjauhi yang haram.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97].
Para Ulama Salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan hidup” atau “rezeki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya[27].
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla menjanjikan kemudahan dan terbukanya pintu rezeki bagi orang yang selalu berpegang teguh dengan syariat-Nya, tidak terkecuali dalam hal mencari penghasilan yang baik dan halal.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. [ath-Thalâq/65:2-3].
Dalam ayat berikutnya, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya. [ath-Thalâq/65:4].
Artinya, Allâh Azza wa Jalla akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta mengadakan jalan keluar dan solusi yang segera baginya (untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[28].
Sifat Qanâ’ah (Selalu Merasa Cukup) Adalah Kekayaan yang Paling Berharga.
Sifat rakus dan ambisi besar untuk mengejar perhiasan dunia menyeret seorang manusia untuk tidak pernah merasa puas sehingga dia selalu merasa hidup dalam kekurangan dan ketidakbahagiaan, bagaimanapun berlimpahnya harta yang dimilikinya, dan cukuplah ini sebagai bencana besar yang selalu menyertai hidupnya.
Renungkanlah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut: Dari Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Kami mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allâh tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya, maka Allâh akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”[29].
Oleh karena itu, yang menentukan kebahagiaan hidup dan ketenangan hati seorang hamba, dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla adalah sifat qanâ’ah (merasa cukup dan puas dengan rezeki halal yang Allâh Azza wa Jalla berikan) yang akan melahirkan sikap ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[30].
Sifat qanâ’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang terhadap segala ketentuan dan takdir Allâh Azza wa Jalla .
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ. رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Akan merasakan manisnya (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya serta (Nabi) Muhammad sebagai rasul-nya”. [HR. Muslim no.34].
Arti “ridha kepada Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[31].
Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qanâ’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَن أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بما آتَاهُ.
“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allâh menganugrahkan kepadanya sifat qanâ’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allâh berikan kepadanya” [HR. Muslim no. 1054].
Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua rezki yang halal dan menjauhkan kita dari harta yang haram, serta memudahkan kita memiliki sifat qanâ’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M ]
Footnote :
[1] Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr 3/560 dan Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 636.
[2] HSR al-Bukhâri no. 2988 dan Muslim no. 2961.
[3] Lihat catatan kaki Shahîhul Bukhâri 3/1152.
[4] Lihat Faidhul Qadîr 2/507.
[5] Nasehat Imam Ibnu Baththâl rahimahullah yang dinukil dalam Fathul Bâri 11/245.
[6] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ighâtsatul Lahfân” (hlm. 84 – Mawâridul Amân).
[7] HR. al-Bukhâri no. 6075 dan Muslim no. 116.
[8] Ighâtsatul Lahfân (hlm. 83-84, Mawâridul Amân).
[9] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ighâtsatul Lahfân (hlm. 83 – Mawâridul Amân).
[10] Tafsir Ibnu Katsîr 3/227.
[11] Lihat penjelasan Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zâdul Masîr 5/331.
[12] Zâdul Masîr 5/332.
[13] Lihat Zâdul Masîr 1/172 dan Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 80.
[14] HR. Ahmad 3/321, ad-Dârimi no. 2776 dan al-Hâkim 4/468, dishahîhkan oleh al-Hâkim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan al-Albâni dalam Ash-Shahîhah 6/108.
[15] HR. Muslim no. 1015.
[16] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam hlm. 105-107.
[17] Biografi beliau dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ 13/15.
[18] Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi t dalam Syu’abul Imân (no. 1154) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab t dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam hlm. 108.
[19] Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabâir hlm. 118 dan Imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam hlm. 101.
[20] HR. Muslim no. 1015.
[21] Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabâir hlm. 118.
[22] Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 81.
[23] HR. Ahmad 2/50 dan Abu Dâwud no. 4031, berderajat hasan shahîh menurut al-Albâni.
[24] HR. al-Hâkim 2/43 dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr 1/178, dinyatakan shahîh oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi dan al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ish Shaghîr no. 679.
[25] Lihat Tafsir Ibnu Katsîr 3/576.
[26] HR. Ahmad 1/153, at-Tirmidzi 5/560 dan al-Hâkim 4/468. Hadits ini dishahîhkan oleh al-Hâkim, disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini berderajat hasan menurut al-Albâni. Lihat ash-Shahîhah no. 266.
[27] Lihat Tafsir Ibnu Katsîr 2/772.
[28]Tafsir Ibnu Katsîr 4/489.
[29] HR. Ibnu Mâjah no. 4105, Ahmad 5/183, ad-Dârimi no. 229, Ibnu Hibbân no. 680 dan lain-lain dengan sanad yang shahih. Hadits ini berderajat shahih menurut Ibnu Hibbân, al-Bushiri dan al-Albâni.
[30] HR. al-Bukhâri no. 6081 dan Muslim no. 120.
[31] Lihat Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 81.