Segala puji bagi Allah سبحانه وتعالى yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah ﷺ , keluarga, dan para Shahabatnya.
Allah سبحانه وتعالى telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah سبحانه وتعالى tidak mewafatkan Nabi-Nya ﷺ kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah سبحانه وتعالى dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau ﷺ menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah سبحانه وتعالى serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah سبحانه وتعالى dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah سبحانه وتعالى dan sabda Rasulullah ﷺ yang memperingatkan terhadap bid’ah.
Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi ﷺ, berarti beranggapan bahwa Allah سبحانه وتعالى belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah ﷺ belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya. Karena Allah سبحانه وتعالى telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi ﷺ itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah سبحانه وتعالى , niscaya Rasulullah ﷺ telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukanbagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka
Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah سبحانه وتعالى syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.
Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah ﷺ datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah ﷺ tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.
Mencintai Rasulullah ﷺ bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah سبحانه وتعالى kecuali dengan yang beliau syari’atkan.
A. ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI ﷺ
Peringatan Maulid Nabi ﷺ adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib z . Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.1
Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.2
B. BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI ﷺ
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi ﷺ dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi ﷺ itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
- Pertama: Peringatan Maulid Nabi ﷺ adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah سبحانه وتعالى tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi ﷺ tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Qs al-Hasyr/59:7).
Juga Allah berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah سبحانه وتعالى dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah سبحانه وتعالى .” (Qs al-Ahzâb/33: 21).
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam agama kami, maka amalan itu tertolak.
Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.
- Kedua: Khulafâ-ur Râsyidîn dan para Shahabat Nabi ﷺ lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi ﷺ dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi ﷺ . Nabi ﷺ bersabda :
… فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.”3
Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah ﷺ dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya. Al-Hâfizh Ibnu Katsîr رحمه الله berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi ﷺ adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”4
- Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/ maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.
Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan di atas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang atheis.5
Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.6
Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad ﷺ ?
- Keempat.: Allah سبحانه وتعالى berfirman :
… اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ …
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” (Qs al-Mâ-idah/5:3).
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr رحمه الله (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah سبحانه وتعالى terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah سبحانه وتعالى menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad n. Oleh karena itu, Allah سبحانه وتعالى menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى : [ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّ عَدْلًا] “Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil …” (Qs al-An’âm/6:115).
Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka,
maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka. Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah سبحانه وتعالى . Karenanya Allah سبحانه وتعالى mengutus Rasul ﷺ yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur‘an).
Mengenai firman Allah سبحانه وتعالى (Qs al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs c , “Maksudnya adalah Islam. Allah سبحانه وتعالى telah mengabarkan kepada Nabi-Nya ﷺ dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah سبحانه وتعالى telah menyempurnakan Islam sehingga Allah سبحانه وتعالى tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah سبحانه وتعالى tidak akan memurkainya selamanya.”7
Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi ﷺ – maka mereka menjadi asing di masyarakat pendukung perayaan ini. Padahal Nabi ﷺ telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau ﷺ tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi ﷺ itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah سبحانه وتعالى , tentu beliau ﷺ telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau ﷺ bersabda :
مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّاكَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
Tidaklah Allah سبحانه وتعالى mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka.8
- Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah سبحانه وتعالى belum menyempurnakan agama ini,
sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah ﷺ belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah سبحانه وتعالى telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
- Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi ﷺ ,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka9
Imam asy-Syâfi’i رحمه الله berkata,
مَــــنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at.10
[bs-quote quote=”Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah)
maka ia telah membuat satu syari’at.10″ style=”style-23″ align=”left” author_name=”Imam asy-Syâfi’i رحمه الله ” author_job=”Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani. “][/bs-quote]
Di antara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”11
Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami رحمه الله (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; semuanya adalah dosa tidak berpahala; semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah سبحانه وتعالى dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi ﷺ dan para Shahabatnya.”12
Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi ﷺ , serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.
- Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi ﷺ tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah ﷺ
karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau ﷺ , mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau ﷺ .
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah سبحانه وتعالى , maka ikutilah aku, niscaya Allah سبحانه وتعالى mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah سبحانه وتعالى Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Qs Ali Imrân:31).
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr رحمه الله berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah سبحانه وتعالى tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad n, maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah سبحانه وتعالى sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa NabiMuhammad ﷺ dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami, amalan tersebut tertolak.”13
Oleh karena itu, maksud firman Allah سبحانه وتعالى yang maknanya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah سبحانه وتعالى , maka ikutilah aku. Niscaya Allah سبحانه وتعالى mengasihimu,” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” Al-Hasan al-Bashri رحمه الله berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah سبحانه وتعالى , lalu Allah سبحانه وتعالى menguji mereka melalui ayat ini …”
Kemudian firman Allah سبحانه وتعالى yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah سبحانه وتعالى Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah ﷺ , kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”14
- Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi ﷺ dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka,
padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka.15
- Kesembilan: Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi ﷺ , karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.
- Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul ﷺ .
Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى :
فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ
… Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah سبحانه وتعالى dan hari Kemudian. (Qs an-Nisâ’/ 4:59).
Demikian juga dengan firman-Nya:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ
Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah سبحانه وتعالى .” (Qs asy-Syûra/42: 10).
Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi ﷺ ini kepada Allah سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah سبحانه وتعالى memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi ﷺ tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi ﷺ bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.
- Kesebelas: Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau.
Karena Nabi ﷺ pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.”16
Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau ﷺ .
- Kedua belas: Perayaan hari kelahiran Nabi ﷺ merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/ melampaui batas) terhadap beliau ﷺ , padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِيْ الدِّيْنِ
Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”17
Beliau ﷺ tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi ﷺ tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak bolehdiminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi ﷺ .
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir رضي الله عنه berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah n, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi ﷺ menjawab:
السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالى
“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’ala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau ﷺ mengatakan :
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُـــمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَجِيْرَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ
Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.18
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi ﷺ itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah b , bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau ﷺ bersabda:
لَا تُطْرُوْنِيْ كَمَـــا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُلُوا : عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُوْلُهُ
Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.19
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa q . Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifatIlahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”20
- Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi ﷺ .
Dalam perayaan maulid Nabi ﷺ sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah ﷺ atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.21
- Keempat belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad ﷺ menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.
Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau n. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah ﷺ tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.22
Allah سبحانه وتعالى berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (Qs az-Zumar/ 39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah سبحانه وتعالى berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” (Qs al-Mukminûn/23: 15-16).
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at.23
Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi ﷺ dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. Al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz رحمه الله menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.”24
Sebagai tambahan, ketika Rasulullah ﷺ masih hidup, beliau ﷺ tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau ﷺ dengan cara berdiri setelah beliau wafat.
C. HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH ﷺ
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah ﷺ adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
- 1) Mengikuti Nabi ﷺ , mentauhidkan Allah سبحانه وتعالى , menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah ﷺ, beradab dengan adabnya.
- 2) Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah ﷺ daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
- 3) Banyak bershalawat untuk Rasulullah ﷺ sesuai dengan Sunnahnya. Allah سبحانه وتعالى berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi ﷺ . Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untukNabi سبحانه وتعالى dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (Qs al-Ahzâb/33:56).
- 4) Mencintai orang yang dicintai Nabi ﷺ , baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah ﷺ , dan membenci orang yang membencinya.
- 5) Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau ﷺ , mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.25
D. FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI ﷺ
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi ﷺ adalah bid’ah dhalâlah.
- Al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani رحمه الله (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”26
- Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”27
- Al-‘Allâmah Ibnul Hajj رحمه الله (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi ﷺ :
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah ﷺ dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya n. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dankita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”28
- Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi ﷺ dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul ﷺ tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah ﷺ , dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”29
- Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri رحمه الله berkata:
“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi ﷺ dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah ﷺ . Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau ﷺ setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah سبحانه وتعالى sebutkan dalam firman-Nya,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (Qs an-Nûr/24:63).
Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…”30
- Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمه الله berkata:
- Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul ﷺ tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
- Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah سبحانه وتعالى pasti Nabi ﷺ telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah سبحانه وتعالى berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” (Qs al-Hijr/15:9).
Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi ﷺ tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah عزوجل telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul ﷺ, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah سبحانه وتعالى , yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah سبحانه وتعالى , yang artinya: “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” (Qs al-Mâidah/5: 3)”31
- Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi ﷺ adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi ﷺ , tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah ﷺ dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah kdan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah سبحانه وتعالى , yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Qs. al-Hasyr/59:7).
Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah.
Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi ﷺ termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil, baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah ﷺ …”32
Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammadﷺ , juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
Marâji’ :
- Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
- Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
- al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
- Siyar A’lâmin Nubalâ.
- al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
- Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
- al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
- Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
- Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
- Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
- ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
- al-Bida’ al-Hauliyyah.
- Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
- al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
- Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah. Dan kitab-kitab lainnya.
Footnote:
1 Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
2 Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
3 Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah z .
4 Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
5 Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
6 Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulailuntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau رحمه الله bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
7 Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
8 Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
9 Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
10 al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
11 Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
12 Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
13 Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
14 Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
15 Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
16 Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
17 Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs z .
18 Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
19 Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
20 ‘Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
21 Lihat al-Ibdâ’ fî Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
22 Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
23 Shahîh: HR. Muslim (2278).
24 At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14
25 Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
26 Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
27 Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
28 Al-Madkhal (II/234-235).
29 Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
30 Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
31 Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
32 Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.