لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِى الْبِلَادِۗ مَتَاعٌ قَلِيْلٌ ۗ ثُمَّ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗوَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. (QS Ali Imran / 3 : 196-197).
Akhir-akhir ini nampak fenomena, adanya sebagian kaum Muslimin yang silau dengan tatanan kehidupan orang kafir yang begitu apik. Ketakjuban sebagian kaum Muslimin, lantaran orang-orang kafir sangat menjaga kedisiplinan, kerapihan, kebersihan, juga kesehatan. Juga karena kemajuan teknologi informasi, komunikasi ataupun peradaban dunia yang telah mereka capai. Padahal itu hanyalah gambaran secara parsial semata. Di balik itu semua, perangai mereka bagaikan serigala yang sangat lapar, memendam dendam kepada kaum Muslimin. Mereka menunggu waktu yang tepat untuk menancapkan kaki-kaki demi menguasai umat Muhammad ﷺ . Belum lagi dengan kekufuran yang menancap dalam hati, maka dengan tipu muslihatnya, mereka berusaha menyembunyikan tipu dayanya kepada kaum Muslimin. Sehingga sangat aneh, apabila ada seorang muslim yang terpana dan terpesona, dan akhirnya menyanjung orang-orang kafir.
Masih membekas di ingatan, kebengisan mereka, kaum imperialis kolonialis (Barat), ketika menjajah tanah kaum Muslimin. Mereka merampok hak dan kehormatan kaum Muslimin. Berbagai jenis siksaan, pembunuhan, pengusiran, hinaan dan perampasan serta tindakan aniaya lainnya, mereka lakukan tanpa peri kemanusian. Adapun pada masa sekarang, dengan semangat kapitalis, mereka pun tetap menjajah negeri-negeri kaum Muslimin. Apakah pantas mereka dipuja?
PENJELASAN AYAT
Ayat di atas merupakan pesan berharga, untuk menjadi peringatan bagi Muslimin agar tidak terpedaya dengan kaum kemewahan orang-orang kafir.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan1 : “Janganlah kalian melihat berbagai kenikmatan, kebahagian dan kemudahan orang-orang kafir. Tidak berapa lama lagi, semuanya akan lenyap dari tangan mereka. Nantinya, mereka akan terjerat oleh amalan-amalan buruk mereka. Kami memberikan kemudahan mereka di sana, sebagai istidraj semata. Semua yang mereka miliki hanyalah (kesenangan sementara). Kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya”.
Ayat-ayat yang senada maknanya dengan ayat ini tidaklah sedikit. Bahwasannya, hakikatnya mereka mendapatkan kenikmatan yang tidak langgeng dan tidak kekal. Mereka menikmatinya sejenak, dan akan mengalami siksaan panjang karenanya. 2
Orang yang lemah iman dan cinta dunia, akan terpesona dengan kemewahan hidup orang-orang kafir, hingga berangan-angan bisa merengkuhnya dan hidup bersama mereka, manakala menyaksikan kondisi mereka yang selalu terpenuhi dengan fasilitas duniawi yang serba mewah. Seperti yang telah diberitakan Allah ﷻ tentang para pengikut Qarun yang melihatnya dalam kemegahan. Allah ﷻ berfirman:
فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ فِيْ زِيْنَتِهٖ ۗقَالَ الَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا يٰلَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآ اُوْتِيَ قَارُوْنُۙ اِنَّهٗ لَذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ
Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. (QS al Qashash/28 : 79).
Itulah gambaran orang yang orientasi hidupnya ditujukan kepada dunia, tidak memikirkan bahwa dunia ini akan musnah. Apalagi bila sempat mencicipi hidup dalam komunitas sosial di negeri kafir, yang lahirnya terlihat asri, hijau, bersih, dengan pemandangan memikat.
Adapun orang yang kuat imannya, ia tidak akan terpana dengannya. Sebab ia membaca pesan-pesan Allah, seperti pada ayat di atas dan pada ayat lainnya. Allah ﷻ berfirman :
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلٰى مَا مَتَّعْنَا بِهٖٓ اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ەۙ لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ ۗوَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى
Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan[1]golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabb-mu adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS Thaha/20 : 131).
Seseorang yang kuat imannya, akan mengetahui dengan yakin pula, kemewahan yang dinikmati orang[1]orang kafir tersebut tidak akan menjadi kebaikan bagi mereka. Sebab ia membaca firman Allah ﷻ :
اَيَحْسَبُوْنَ اَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهٖ مِنْ مَّالٍ وَّبَنِيْنَ ۙ نُسَارِعُ لَهُمْ فِى الْخَيْرٰتِۗ بَلْ لَّا يَشْعُرُوْنَ
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak; sebenarnya mereka tidak sadar. (QS al Mukminun/23 : 56).
Bagaimana mungkin merupakan kebaikan bagi mereka, kalau Allah ﷻ justru akan menjadikannya sebagai sumber bencana bagi? Allah berfirman:
فَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُم بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (QS at Taubah/9 : 55).
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّمَا نُمْلِيْ لَهُمْ خَيْرٌ لِّاَنْفُسِهِمْ ۗ اِنَّمَا نُمْلِيْ لَهُمْ لِيَزْدَادُوْٓا اِثْمًا ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ
Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka adzab yang menghinakan. (QS Ali Imran/3 : 178).
Alangkah buruknya suatu kemewahan dan limpahan harta, bila akhirnya menjadi siksaan. Begitu pula, orang yang suka berbuat maksiat kepada Allah ﷻ , namun berada dalam kenikmatan duniawi yang berlebih, maka sesungguhnya kenikmatan yang ia reguk hanya merupakan istidraj dari Allah ﷻ .
Dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir z dari Nabi , beliau ﷻ bersabda:
إذا رأيتَ اللهَ يُعطي العبدَ من الدنيا على مَعاصيه ما يُحِبُّ فإنما هو اسْتدراجٌ ثم تلا : ” فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ ، حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ “
“Bila engkau menyaksikan Allah mencurahkan (nikmat) dunia kepada seseorang yang ia inginkan lantaran maksiat (yang ia kerjakan), itu hanyalah suatu istidraj, 3 kemudian beliau membaca ayat (yang artinya : Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. –QS al An’am/6 ayat 44-). (HR Ahmad, 4/145 dengan sanad shahih, dan dishahihkan Syaikh al Albani dalam ash Shahihah, 413).
Kalaupun orang kafir memiliki kenikmatan dan kesenangan di dunia, maka tidak ada kenikmatan bagi mereka selain itu saja. Allah ﷻ berfirman :
وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْكُفْرِۚ اِنَّهُمْ لَنْ يَّضُرُّوا اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ اَلَّا يَجْعَلَ لَهُمْ حَظًّا فِى الْاٰخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌۚ
Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi kafir; sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. Allah berkehendak tidak akan memberi sesuatu bahagian (dari pahala) kepada mereka di hari akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. (QS Ali Imran/3 : 176).
Imam al Bukhari rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan kisah ‘Umar z yang memasukrumah Rasulullah ﷻ untuk menjumpai beliau. Ia sangat prihatin dengan keadaan dan sedikitnya harta yang beliau miliki. Umar bercerita :
Aku menjumpai beliau. Ternyata beliau sedang berbaring di atas pasir tanpa ada (dasar) kasurnya. Tenunan tikar membekas pada sisi tubuh beliau. Beliau bersandar pada sebuah bantal terbuat dari kulit yang berisi serabut pohon kurma. Aku pun melontarkan salam kepada beliau…aku duduk ketika melihat beliau tersenyum. Begitu pandangan aku arahkan ke (isi) rumah, demi Allah, aku tidak melihat adanya sesuatu yang memikat pandangan, kecuali tiga kulit yang belum disamak. Aku pun berkata:
ادعُ اللهَ أنْ يوسِّعَ على أمَّتِك فإنَّ فارسَ والرُّومَ قد وُسِّع عليهم وأُعطوا الدُّنيا وهم لا يعبُدونَ اللّهَ وَكَانَ متَّكئًا ثمَّ قال: ( أفي شكٍّ أنتَ يا ابنَ الخطَّابِ أولئكَ قومٌ عُجِّلت لهم طيِّباتُهم في الحياةِ الدُّنيا ) فقُلْتُ: يا رسولَ اللهِ أستغفِرُ اللهَ لِي ،
“Mintalah kepada Allah agar meluaskan (kehidupan) umatmu. Sesungguhnya bangsa Persia dan Rumawi, mereka mendapatkan (dalam hidup), dan diberi kenikmatan dunia, padahal mereka tidak menyembah Allah”. Sebelumnya beliau bersandar (kemudian duduk), setelah itu berkata: “Apakah engkau masih ragu wahai putra al Khaththab? Mereka adalah kaum yang disegerakan kenikmatan mereka di dunia ini” aku (pun) berkata,”Wahai Rasulullah, mintakan ampunan bagiku.”
Lantaran dunia itu bernilai rendah, maka Allah ﷻ memberikannya kepada orang kafir juga. Pemberian di dunia tidak menunjukkan penghormatan bagi yang menerimanya. Sebaliknya, demikian pula dengan terhalanginya seseorang dari rizki, bukan berarti sebagai indikasi penghinaan terhadapnya. Seorang muslim tidak berasumsi demikian.
Sehingga ayat di atas bisa menjadi penghibur bagi kaum Muslimin. Syaikh as Sa’di rahimahullah berkata,”Ayat ini (Surat Ali Imran:196-197) dimaksudkan sebagai penghibur dari (fenomena) apa yang diperoleh orang[1]orang kafir dari harta dunia dan kehidupan mereka yang menyenangkan, serta tingginya mobilitas mereka di berbagai wilayah dengan bermacam-macam perniagaan, usaha dan kenikmatan, juga banyaknya kekuasaan dan kemenangan dalam beberapa kesempatan.” 4
Ibnu Mas’ud z berkata:
وإنَّ اللهَ يُعطي الدُّنيا من يُحبُّ ومن لا يُحبُّ ، ولا يُعطي الإيمانَ إلَّا من يُحِبَّ فَإِذَا أَحَبَّ اللّهُ عَبْدًا أَعْطَاهُ الإِيْمَانَ
Sesungguhnya Allah memberi dunia kepada orang yang disenangi dan orang yang tidak disukai. Allah tidak memberikan karunia iman, kecuali kepada orang yang dicintaiNya. Apabila Allah mencintai seorang hamba, niscaya Allah memberinya karunia iman. (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 34545 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih al Adabi al Mufrad, hlm. 209).
Sebabnya, tiada lain, karena dunia itu murah, sedangkan seorang mukmin adalah insan yang bernilai lagi berharga. Allah memberinya anugerah yang paling bernilai, yaitu kebahagiaan di akhirat.
وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ
Dan sesungguhnya akhir (akhirat) lebih baik bagimu dari permulaan (kehidupan dunia). (QS adh Dhuha/93 : 4).
Apabila, dunia ini lepas dari tangan seorang mukmin, dan dinikmati oleh orang yang kafir, maka seorang yang mukmin itu tidak dirundung duka, dan ia tetap bersyukur, lantaran mendapatkan nikmat iman, agama yang shahih dan kitab (al Qur‘an) yang terbebas dari hawa nafsu dan campur tangan manusia. Allah ﷻ berfirman:
وَلَقَدْ اٰتَيْنٰكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِيْ وَالْقُرْاٰنَ الْعَظِيْمَ لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلٰى مَا مَتَّعْنَا بِهٖٓ اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al Qur‘an yang agung. Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka, dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (QS al Hijr/15 : 87-88).
Dalam dua ayat di atas, terdapat empat pelajaran penting.
- Seseorang yang telah menerima al Qur‘an, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan seluruh kebaikan, sehingga kenapa ia bersedih!
- Allah melarang mengalihkan pandangan kepada harta benda milik orang-orang kafir. Tidaklah terperdaya dengannya, kecuali para pecundang. Ibnu Katsir menerangkan: “Merasa cukuplah dengan apa yang diberikan Allah, yaitu al Qur`an dengan melupakan apa yang mereka miliki, berupa harta dan kenikmatan yang akan sirna”.
- Orang-orang kafir tidak memiliki daya tarik kebaikan, maka sudah sepantasnya mengarahkan pandangan kepada orang-orang yang beriman dan dikaruniai al Qur‘an.5
- Allah memerintahkan kaum Mukminin untuk tawadhu‘. Dan perintah ini bukan kepada orang[1]orang kafir.
LARANGAN MEMUJI ORANG KAFIR
Umat Islam merupakan umat terdepan. Tidak sepatutnya mengekor dan takjub terhadap orang[1]orang yang dicela oleh Allah. Nabi ﷻ menyebutkan keutamaan umat Islam ini dengan sabda beliau ﷻ :
نَحْنُ الآخِرُونَ مِن أهْلِ الدُّنْيا، والأوَّلُونَ يَومَ القِيامَةِ، المَقْضِيُّ لهمْ قَبْلَ الخَلائِقِ
Kita adalah umat terakhir dari penduduk dunia dan menjadi umat pertama di hari Kiamat. Yang pertama ditetapkan keputusannya sebelum makhluk-makhluk lainnya. (HR Muslim, 856).
Bila seorang muslim telah mengetahui kemuliaan yang diberikan Allah berikan kepada umat ini, maka wajib atasnya untuk memuliakannya juga, dan menjauhi berbagai sikap yang merendahkannya. Terutama sikap yang justru akan mendukung sepak terjang musuh untuk memperdaya Islam.
Selain itu, sudah menjadi prinsip dalam Islam, yaitu mencintai kaum Mukminin dan wala (loyal) terhadap mereka, dan membenci kaum kuffar serta berlepas diri dari mereka. Bertasyabbuh (menyerupai) dengan mereka pun tidak boleh.
Pujian terhadap kaum kuffar yang muncul dari sebagian kaum muslimin, tidak lain karena lemahnya iman dan kepribadian mereka, serta kaum Muslimin tersebut lalai dari prinsip di atas. Pada umumnya, faktor pemicunya adalah terkesan dengan apa yang dimiliki mereka, yang didorong oleh cinta dunia.
Bagaimanapun, meski kehidupan kaum kuffar sangat menarik, tetapi mereka, tidak lepas dari firman Allah ﷻ :
يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (QS ar Rum/30 : 7).
Allah membuat permisalan, mereka bagaikan himar atau keledai (al Jumu’ah/62 : 5), anjing (al A’raf/ 7 : 175-177), lebih buruk dari binatang ternak (al Furqan/25 : 44), atau orang-orang yang bisu, tuli dan buta (al Baqarah/2 ayat 171). Apakah seorang muslim ridha untuk memuji kaum kuffar dengan pujian dan sanjungan, dengan dalih ingin inshaf (bersikap adil)? Padahal permisalan dari Allah tentang mereka sedemikian rupa buruknya?! Kekufuran merupakan jenis sayyiah (kejelekan), yang akan menampik hasanah (sebelum digantikan dengan keimanan).
Nabi ﷻ juga sudah melakukan ini. Begitu mendengar ada pujian yang terlontar kepada kaum kuffar, maka beliau ﷻ langsung menepisnya. Dari ‘Aisyah, ia bercerita tentang sebagian isteri beliau yang mengagumi keindahan sebuah gereja Mariyah di Habasyah. Maka Nabi ﷻ bersabda:
أُولَئِكَ شِرارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
Mereka itu makhluk yang paling buruk di sisi Allah. (Muttafaqun ‘alaih).
Larangan memuji orang kafir manfaatnya sangat jelas.
- Kaum Muslimin akan selamat dari mengekor hal[1]hal terlarang yang ada pada mereka, sehingga kepribadian sebagai muslim pun tetap terjaga.
- Pujian yang ditujukan kepada kaum kuffar tidaklah cocok. Sebab, tindak-tanduk lahiriahnya bertentangan dengan jati diri mereka yang asli. Sebagai bukti, yaitu dalam interaksi sosial mereka. Sebagai contoh, mereka mengembangkan cara hidup pergaulan bebas, homo, lesbian, rasialis, dan lainnya. Cara mereka dalam menjalin hubungan antar individu menjadi contoh konkrit tentang kebejatan moral yang mereka miliki. Negara-negara yang miskin, justru dijerumuskan ke dalam lembah hutang, yang tidak tahu kapan akan terlunasi. Hingga akhirnya, perlakuan layaknya budak menjadi pemandangan sehari-hari di media massa.
Apakah berarti kaum Muslimin dilarang mengambil manfaat hasil teknologi yang sudah mereka capai?
Jawaban pertanyaan ini, tentu saja tidak, selama tidak terdapat pelanggaran syariat, dan benar-benar berguna bagi kepentingan umat, maka hal itu boleh dibolehkan. Karena, bagaimanapun orang-orang kafir tetap memiliki rasa dendam menguasai kaum Muslimin. Renungkanlah, Allah ﷻ berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنٰكَ عَلٰى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ اِنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا ۗوَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۚ وَاللّٰهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِيْنَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa.- (QS al Jatsiyah/45 : 18-19).
Dalam hal ini, jangan sampai ada orang yang memahami secara keliru, bahwa setiap mukmin harus berbuat buruk terhadap orang kafir agar kepribadiannya terjaga. Sebab, qanaah (merasa cukup) dengan akhlak Islam dan tetap mewaspadai akhlak-akhlak kaum kuffar. Allah melarang berbuat aniaya yang melampaui batas saat membela diri, apalagi dalam masalah lain. Allah berfirman:
وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa mema’afkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim. (QS asy Syuura/42 : 40).
Oleh karena itu, syariat melalui nash-nashnya memerintahkan untuk berbuat baik kepada semua manusia. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallam.
Footnote:
*) Diangkat dari Raf’u adz Dzulli wa ash Shaghari ‘an al Maftunina bi Khuluqi al Kuffar, karya ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, Cet. I, Tahun 1426 H, dengan sedikit penambahan. (Pen).
- Tafsir al Qur‘ani al ‘Azhim ( 1 /431 ).
- Taisiru al Karimi ar Rahman : Surat Ali Imran, ayat 197
- Istidraj : penangguhan tempo siksaan dengan memberi kenikmatan, agar denganya semakin terjatuh dan jauh dari Allah .
- Taisiru al Karimi ar Rahman : 1625) Tiga ini dari al Mawahib ar Rabbaniyah karya as Sa’di (hlm. 64).
Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M