Apakah Semua Orang Kafir Sama?

oleh -2189 Dilihat
oleh
Orang Kafir

Ketika kekhilafahan Islam dan hukum Islam ditinggalkan, maka banyak sekali hak dan kewajiban kaum Muslimin yang terlantar dan disalahartikan. Sikap dan tindakan yang melanggar syariat dianggap bagian dari syariat, terutama yang berhubungan dengan orang kafir. Ada yang beranggapan, orang kafir seluruhnya sama, wajib diperangi, tidak boleh diberi perlindungan dan keamanan. Sebaliknya, ada juga yang menganggap semua orang kafir itu memiliki hak-hak yang sama dengan kaum Muslimin. Kedua anggapan ini tidak bisa dibenarkan. Anggapan pertama akan menyeret kepada perbuatan zhalim, padahal Islam mengajarkan keadilan dan mengharamkan perbuatan zhalim kepada siapapun juga. Sedangkan pandangan kedua akan melunturkan dan mengikis sifat wala’ (loyalitas dan kesetiaan kepada kaum Muslimin) dan bara’ (berlepas diri dari semua orang kafir) dari hati kaum Muslimin.

Lalu bagaimanakah seharusnya kita berhubungan dengan orang-orang kafir itu ? Apakah mereka disikapi sama ?

Keindahan dan Keadilan Islam

Islam melarang umatnya melakukan pembunuhan tanpa alasan yang haq (dibenarkan). Allah سبحانه وتعالى berfirman:

﴿ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ ….. ﴾

Sesungguhnya barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan – akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Qs al-Mâidah/5:32).

Juga firman-Nya:

﴿ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ  ﴾

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan suatu (sebab) yang benar. (Qs al-‘An’âm/6:151).

Kata “jiwa” dalam ayat di atas bersifat umum mencakup jiwa Muslim dan non muslim. Semuanya haram dibunuh kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat, misalnya tindak pembunuhan yang dilakukannya. Jika alasan yang dibenarkan ini ada pada seseorang, maka syariat memperbolehkan membunuhnya sebagai hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Syariat tidak pernah memberikan izin, apalagi memerintahkan membunuh satu jiwa dengan sebab kejahatan yang dilakukan orang lain.

Allah سبحانه وتعالى berfirman :

﴿ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ ﴾

Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. (Qs al-Isrâ’/17:15).

Inilah Islam, sebuah dîn (ajaran agama) yang dibangun di atas dasar keadilan dan memerintahkan umatnya untuk senantiasa berbuat adil.

Orang Kafir dan Hak Mereka

Para ulama membagi orang kafir menjadi tiga kategori:

  1. Orang kafir harbi (al-muhâribîn)
  2. Orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin (ahlu al-‘ahd)
  3. Orang kafir ahlu dzimmah (adz-dzimmi)

Imam Ibnu al-Qayyim رحمه الله mengatakan : “Setelah surat Barâ`ah (at-Taubah) turun, masalah orang kafir terbagi menjadi tiga golongan : kafir harbi (al-muhâribîn), ahlu al-‘ahd dan ahlu adz-dzimmah. 1

Kafir Harbi

Orang kafir harbi adalah seluruh orang musyrik dan Ahli kitab yang boleh diperangi atau semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang kaum Muslimin.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn رحمه الله menyatakan : “Kafir harbi tidak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan dari kaum Muslimin.”2

Mereka adalah orang kafir asli yang diperangi Rasulullah ﷺ . Beliau ﷺ bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya, berarti mereka telah menjaga jiwa dan harta mereka dariku (Muhammad ﷺ ) kecuali dengan (alasan-red) hak Islam serta hisab mereka diserahkan kepada Allah. (HR al-Bukhâri).

Golongan ini diperangi, apabila ia atau negaranya telah menampakkan atau menyatakan perang terhadap kaum Muslimin atau kaum Muslimin terlebih dahulu mengumumkan perang terhadap mereka setelah orang-orang kafir ini menolak ajakan kepada Islam.

Perlu diketahui, tidak semua kafir harbi diperangi. Dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ melarang membunuh orang yang tidak ikut perang seperti anak-anak, wanita, orang-orangjompo, lumpuh, banci, pendeta dan orang buta.3 Kemudian Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn رحمه الله menjelaskan bahwa tujuh golongan ini tidak boleh dibunuh kecuali dengan salah satu dari tiga sebab berikut :

  1. Mereka memiliki peran dalam bentuk pemikiran dan pengaturan strategi
  2. Apabila mereka ikut berperang
  3. Memberikan dorongan semangat kepada para tentara musuh untuk berperang.4

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله menyatakan: “Apabila hukum asal dari peperangan yang disyariatkan itu adalah jihad dan tujuannya adalah menjadikan agama ini seluruhnya untuk Allah سبحانه وتعالى dan meninggikan kalimat Allah سبحانه وتعالى sehingga menjadi yang tertinggi, maka orang yang menghalang-halangi harus diperangi. Sementara orang yang tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi atau berperang, seperti wanita, anak-anak, pendeta (rahib), orang jompo, buta dan lumpuh serta sejenisnya, mereka ini tidak boleh dibunuh menurut jumhur Ulama, kecuali jika mereka ikut andil dalam peperangan, baik dengan perkataan atau perbuatannya. Walaupun sebagian Ulama ada yang memandang boleh membunuh secara keseluruhan disebabkan kekufuran mereka semata, kecuali wanita dan anak-anak karena mereka adalah harta (ghanimah) bagi kaum Muslimin. (Tetapi) pendapat yang benar adalah pendapat pertama.5

Orang Kafir Harbi yang Mendapatkan Jaminan Keamanan

Golongan ini terbagi menjadi dua yaitu yang minta suaka atau perlindungan keamanan (al-musta‘min) dan yang memiliki perjanjian damai yang disepakati (al-mu’âhad).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn رحمه الله menyatakan: “al-musta’minûn memiliki hak mendapat perlindungan dari kaum Muslimin dalam waktu dan tempat yang telah ditentukan, berdasarkan firman Allah سبحانه وتعالى :

﴿ وَاِنْ اَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّٰهِ ثُمَّ اَبْلِغْهُ مَأْمَنَهٗ ۗ ٦ ﴾

Dan jika salah seorang kaum musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. (Qs. at-Taubah/9:6).

Sedangkan al-mu’âhad, mereka berhak mendapatkan pelaksanaan perjanjian dari kita dalam waktu yang sudah disepakati, selama mereka tetap berpegang pada janji mereka tanpa menyalahinya sedikit pun, tidak membantu musuh yang menyerang kita serta tidak mencela agama kita. Allah سبحانه وتعالى berfirman :

﴿ اِلَّا الَّذِيْنَ عَاهَدْتُّمْ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوْكُمْ شَيْـًٔا وَّلَمْ يُظَاهِرُوْا عَلَيْكُمْ اَحَدًا فَاَتِمُّوْٓا اِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ اِلٰى مُدَّتِهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ ٤ ﴾

kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Qs at-Taubah/9:4).

Dan firman Allah سبحانه وتعالى :

﴿ وَاِنْ نَّكَثُوْٓا اَيْمَانَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ فَقَاتِلُوْٓا اَىِٕمَّةَ الْكُفْرِۙ اِنَّهُمْ لَآ اَيْمَانَ لَهُمْ ١٢ ﴾

Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, (Qs at-Taubah/9:12).6

Tentang pemberian keamanan ini, Nabi ﷺ bersabda:

وَ ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

Perlindungan kaum Muslimin (terhadap orang kafir) adalah sama walaupun jaminan itu diberikan oleh kaum Muslimin yang paling rendah.7

Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak perlindungan kepada non Muslim boleh diberikan oleh seorang Muslim. Apabila syarat[1]syarat pemberian perlindungan telah terpenuhi, maka perlindungan yang diberikan oleh seorang Muslim memiliki kekuatan yang sama dengan perlindungan yang diberikan penguasa Muslim. Atas dasar ini, maka pemberian perlindungan seorang Muslim secara pribadi atau penguasa Muslim kepada orang kafir baik Kristen ataupun Yahudi adalah sah. Sehingga seluruh kaum Muslimin dari penduduk negara tersebut tertuntut untuk menaatinya.

Demikianlah yang dilakukan Rasulullah ﷺ kepada utusan musuh Islam. Ibnul Qayyim رحمه الله menyatakan : “Dua utusan Musailamahal-Kadzdzâb datang membawa surat Musailamah al-Kadzdzâb kepada Rasulullah ﷺ . Mereka adalah ‘Abdullah bin an-Nawâhah dan Ibnu Atsâl. Nabi ﷺ berkata kepada keduanya: “Seandainya bukan karena utusan itu tidak boleh dibunuh, maka tentulah aku akan memenggal leher kalian berdua!”8

Ibnul Qayyim رحمه الله menambahkan lagi, “Di antara petunjuk Rasulullah ﷺ adalah tidak menahan utusan walaupun ia sudah memilih Islam. Penguasa kaum Muslimin tidak boleh menghalangi utusan tersebut untuk kembali ke kaumnya, bahkan penguasa kaum Muslimin harus mengembalikannya kepada kaum yang mengutusnya. Sebagaimana dijelaskan Abu Râfi’ dalam pernyataan beliau رضي الله عنه : “Kaum Quraisy mengutusku menemui Rasulullahn. Ketika aku telah menemui beliau ﷺ , Islam masuk ke hatiku. Lalu aku berkata : Wahai Rasulullah, saya tidak ingin kembali kepada mereka.” Beliau ﷺ menanggapi : “Aku tidak pernah melanggar janji dan menahan utusan. Kembalilah kepada mereka! Apabila yang ada di hatimu sekarang ini masih terus ada, maka kembalilah (kepada kami-red)”!9 . 10

Oleh karena itu, dilarang membunuh dan mengganggu orang kafir yang masuk negara Islam dengan perlindungan dan perjanjian, seperti wisatawan asing, utusan dan duta besar yang ditempatkan di negara Islam. Karena, mereka masuk dengan visa dan perjanjian antar negara. Syaikh Shâlih bin Fauzân Ali Fauzân hafizhahullâh – salah seorang anggota Dewan Ulama Besar Saudi Arabia – menyatakan : “Apabila kita mengundang mereka untuk datang atau kita berikan perlindungan (al-amân), maka kita tidak boleh mencelakakan atau merugikan mereka. Kita wajib berlaku adil hingga mereka pergi dan menyelesaikan perjanjian mereka serta pulangke negara mereka. Karena mereka masuk dengan perlindungan dan kita yang meminta dia untuk datang. Karena itulah, kita wajib memperlakukan mereka dengan adil, tidak menzhalimi mereka serta wajib memberikan hak-hak mereka. Sedangkan dalam masalah cinta, kita tidak boleh mencintai mereka. Namun kebencian kita kepada mereka tidak boleh menyeret kita untuk menzhalimi mereka atau mengurangi sedikit pun hak mereka atau mengganggu mereka. Allah سبحانه وتعالى berfirman :

﴿ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ ٨ ﴾

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Qs al-Mâidah/5:8).

Namun di masa-masa yang akan datang, kita tidak mendatangkan mereka (tenaga kerja) dan menggantikannya dengan saudara-saudara kita kaum Muslimin.11

Ahli Dzimmah

Golongan ketiga yaitu ahli dzimmah. Golongan inilah yang paling banyak memiliki hak atas kaum Muslimin dibandingkan dengan golongan sebelumnya. Karena mereka hidup di negara Islam dan di bawah perlindungan dan penjagaan kaum Muslimin dengan sebab upeti (jizyah) yang mereka bayarkan.

Dzimmah dalam pengertian para ulama syariat adalah membiarkan sebagian orang kafir berada dalam kekufurannya dengan syarat membayar jizyah (upeti) dan komitmen dengan hukum-hukum agama. 12

Akad dzimmah ini diperbolehkan untuk Ahli kitab dan orang Majusi. Allah سبحانه وتعالى berfirman :

﴿ قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ ࣖ ٢٩ ﴾

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (Qs at-Taubah/9:29).

Dalam ayat di atas, jelaslah bahwa jizyah diambil dari ahli kitab yaitu Yahudi dan Nashrâni. Sedangkan terhadap orang Majusi juga ditarik jizyah, dengan dasar hadits ‘Abdurahman bin ‘Auf z yang menyatakan :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوْسِ هَجَرَ

Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah mengambil jizyah dari Majusi Hajar.13

Ibnul Qayyim رحمه الله menyatakan : “Para Ulama ahli fikih telah berijma’ bahwa jizyah (upeti) diambil dari Ahli kitab dan orang dari Majusi.14

Hukum Seputar Ahli Dzimmah

Akad ini hanya boleh dilakukan oleh pemerintah atau wakilnya, seperti para panglima perang atau orang yang memang ditugaskan menangani hal tersebut. Karena akad dzimmah banyak memiliki konsekwensi hukum, berbeda dengan pemberian jaminan keamanan (al-amân). Di samping juga, akad dzimmah ini bersifat terus menerus dan tidak terbatas oleh waktu tertentu.

Akad ini diwujudkan oleh pemerintah Islam apabila memenuhi syarat-syarat berikut :

  1. Ahli Dzimmah setuju dan terus membayar upeti (jizyah) setiap tahun.
  2. Mereka tidak boleh menjelek-jelekkan Islam sedikit pun.
  3. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan dan membahayakan kaum Muslimin.
  4. Mereka tunduk dengan semua aturan dan hukum Islam.15

Di antara konsekwensi akad dzimmah ini adalah:16

  1. Dilarang membunuh, menyakiti dan mengambil harta mereka dengan semena-mena.
  2. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menjaga dan melindungi mereka serta tidak mengganggu mereka.
  3. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menerapkan hukum Islam pada jiwa, harta dan kehormatan mereka.
  4. Wajib bagi pemerintah Islam untuk menegakkan had (hukuman) atas mereka dalam semua hal yang mereka yakini haram.
  5. Wajib bagi ahli dzimmah untuk tampil beda dengan kaum Muslimin dalam berpakaian dan tidak boleh menampakkan sesuatu yang dianggap sebagai kemungkaran dalam Islam, meskipun sedikit atau menampakkan sesuatu yang menjadi syiar agama mereka seperti salib dan sebagainya.
  6. Kaum Muslimin dilarang menyerupai mereka dan tidak boleh berdiri menyambut mereka serta mendahulukan mereka untuk berbicara di depan majelis kaum Muslimin.
  7. Kaum Muslimin dilarang mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, mengucapkan selamat kepada hari raya mereka dan bertakziyah kepada mereka
  8. Kaum Muslimin diperbolehkan menjenguk ahli dzimmah yang sakit untuk satu kemaslahatan. (al-mashlahat ar-râjihah). Demikian sekilas tentang pengelompokan orang-orang kafir dan hak-hak mereka dalam pemerintahan Islam. Mudah-mudahan bermanfaat. Wabillahi taufiq.

Referensi:

  1. Ahkâm Ahli Dzimmah, Ibnul Qayyim, Tahqîq Yusuf ahmad al-Bakri dan Syakir Taufiq, cetakan pertama 1418 H, penerbit Ramâdi
  2. as-Siyâsah asy-Syar’iyah Fi Ishlâh ar-Râ’i wa ar-Râ’iyah, Ibnu Taimiyah. Tahqîq Abdullah bin Muhammad al-Maghribi, cetakan pertama tahun 1406 H, Dâr al-Arqâm
  3. Syarhu al-Mumti’ ‘alâ Zâd al-Mustaqni’ , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn. Tahqîq Khâlid bin Ali al-Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H , Muassasah Aasâm.
  4. Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah Wa Qarrarahâ asy-Syari’ah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, cetakan : Pertama, tahun 1427 H , Madâr al-Wathan
  5. Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, Dirâsât Mu’asharah Fi al-Aqîdah wa al-Ahkâm wa al-Adâb, Abdurrahman bin Abdilkarim al-‘Ubaid, Jum’iyah Ihyâ at-Turâts
  6. Zâd al-Ma’âd Fi Hadyi Khairil ‘Ibâd, Ibnul Qayyim, Tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Abdil Qadir al-Arna`uth. Cetakan ke 2 tahun 1421 H , Muassasah ar-Risâlah.
  7. Dan lain-lainnya.

Footnote:

1 Zâd al-Ma’âd (3/145)

2 Huqûq Da’at Ilaihâ al-Fithrah Wa Qarrarahâ asy-Syari’at, Ibnu ‘Utsaimîn hal 16

3 Lihat matan Zâd al-Mustaqni’ dalam kitab Syarhu al-Mumti’ 8/27.

4 Lihat Syarhu al-Mumti’ 8/27 secara ringkas.

5 as-Siyâsah asy-Syar’iyyah Fî Islâhi ar-Râ’i wa ar-Râ’iyah, Ibnu Taimiyah hlm. 165-166

6 Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26

7 HR Muslim no. 2344

8 HR Abu Daud no. 2761 dan dinilai hasan lighairihi oleh Syaikh Syu’aib al-Arna‘uth dalam tahqîq Zâd al-Ma’âd (3/126)

9 HR Imam Muslim no. 1787

10 Zâd al-Ma’âd (3/127)

11 al-Muntaqâ‘ min Fatâwâ Syaikh Shâlih al-Fauzân (1/252)

12 Raudh al-Murbi’ (4/303)

13 HR al-Bukhâri no. 3157

14 Ahkâm Ahli adz-Dzimmah, Ibnu al-Qayyim (1/79)

15 Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449

16 Diambil dari Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26 dan Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449-450

Majalah As-Sunnah Edisi 11/Thn.XII/Shafar 1430H/Februari 2009M

Tentang Penulis: Redaksi

Gambar Gravatar
Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.