Agar Ramadhan bermakna Indah

oleh -628 Dilihat
oleh
AGAR RAMADHAN BERMAKNA INDAH

AGAR RAMADHAN BERMAKNA INDAH*)

Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili :

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

اللَّهُمَّ صلّ وَسَلّم عَلى محمَّدٍ وَعَلى اله وأصحابه وَمن تبعهم بإحسانٍ إِلى يَومِ الدِّيْنِ

(يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون)[آل عمران: 102].

(يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا)[النساء: 1].

(يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا * يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيماً)[الأحزاب: 70 و71].

أما بعد:

فإن أصدق الحديث كتاب الله، وأحسن الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.

Para hadirin, arsyadanillahu wa iyyakum ajma’in, Pada kesempatan ini saya mengajak kepada diri saya dan para jamaah shalat Jum’at, agar meningkatkan takwa kepada Allah سبحانه وتعالى . Yaitu dengan cara mengerjakan amalanamalan yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم , serta menjauhi hal-hal yang dilarangnya. Inilah yang bisa meningkatkan keimanan dan amal kita. Ingatlah wahai ikhwani, Allah سبحانه وتعالى telah berfirman,

وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal. (QS Al Baqarah : 197).

Para hadirin, arsyadanillahu wa iyyakum ajma’in,

Mengingat telah datangnya bulan Ramadhan, maka kami akan menerangkan beberapa materi berkaitan erat dengan bulan yang suci ini, sebagai upaya  meneladani Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang senantiasa memberikan petuah kepada para sahabat saat Ramadhan tiba.

Bulan Ramadhan, benar-benar merupakan bulan yang sangat agung, bulan istimewa, menjanjikan pahala tiada terkira besarnya bagi orang yang memanfaatkannya dengan ibadah puasa.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه dan sahabat lainnya, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan meraih pahala dari Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang melaksanakan qiyamullail pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah semata, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.

Karena itulah, bulan Ramadhan ini merupakan salah satu kesempatan emas, sarat dengan kebaikan, satu masa yang menjadi ajang berlomba bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Ikhwani rahimanillahu wa iyyakum jami’an,

Sebagian ulama telah memberikan beberapa kiat dalam menyongsong musim yang penuh dengan limpahan kebaikan ini. Di antaranya: Pertama, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله mengingatkan, dalam menyambut datangnya musim-musim ibadah, seorang hamba sangat memerlukan bimbingan, bantuan dan taufiq dari Allah. Caranya, (yaitu) dengan bertawakkal kepada Allah.

Salah satu teladan dari ulama Salaf, yakni sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba, mereka tekun berdoa dan memohon kepada Allah, agar dapat menjumpai bulan Ramadhan kembali dan memudahkan mereka dalam menggali keutamaannya. Ini merupakan salah satu cerminan berserah diri kepada Allah.

Beliau (Syaikhul Islam) menambahkan, dalam melaksanakan suatu ibadah, seorang muslim berkepentingan dengan beberapa poin (berikut) yang harus diperhatikan menjelang, saat berlangsung dan pasca pelaksanaannya.

  1. Mengenai hal yang dibutuhkan sebelum beramal ialah, menunjukkan sikap tawakkal kepada Allah dan semata-mata berharap kepadaNya, agar Dia senantiasa membantu dan meluruskan amalannya.

Ibnul Qayyim menyatakan, para ahlul ilmi telah bersepakat, bahwa salah satu indikasi taufik Allah kepada hambaNya adalah pertolonganNya kepada hamba. Dan (sebaliknya), salah satu ciri dari kenistaan seorang hamba, yaitu orang yang hanya bermodalkan pada kepercayaan dan kemampuan dirinya semata.

Mengokohkan tawakkal kepada Allah merupakan modal paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah, guna menumbuhkan sikap ketidakberdayaan untuk menunaikan ibadah dengan sempurna, serta menyelamatkan diri dari kemungkinan terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan kenistaan, apabila tidak mendapat anugerah taufik dari Sang Pencipta dalam beramal. Selanjutnya, dia juga harus berdoa dengan penuh harap, supaya dapat bersua kembali dengan Ramadhan pada kesempatan yang akan datang. Juga agar Allah berkenan menolong dan meluruskan amalannya. Langkah-langkah ini termasuk amalan yang paling agung, yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam memanfaatkan bulan Ramadhan.

  1. Saat melangsungkan ibadah, maka yang perlu diperhatikan seorang hamba ialah ikhlas dalam beramal dan ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah صلى الله عليه وسلم .
  2. Usai pelaksanaan ibadah, yang harus dikerjakan ialah memperbanyak istighfar (meminta ampun) atas kekhilafan dalam melaksanakan ibadah tersebut. Disamping itu, juga harus memperbanyak pujian kepada Allah yang telah memberikan taufik. Apabila seorang insan bisa memadukan antara hamdalah dan istighfar, maka dengan izin Allah سبحانه وتعالى , amalan tersebut akan diterima oleh Allah.

Hal-hal di atas, betul-betul sangat perlu untuk diperhatikan, karena setan senantiasa mengintai manusia hingga detik-detik terakhir, bahkan setelah orang tersebut menyelesaikan ibadah sekalipun! Makhluk ini mulai mengungkit-ungkit ibadah seorang muslim, menghembuskan keragu-raguan serta tipu dayanya, dengan membisikkan “Hai fulan… kau telah berbuat begini dan begitu… kau telah berpuasa Ramadhan,…kau telah shalat malam di bulan suci ini… kau telah menunaikan amalan ini, itu dengan sempurna…”, dan dia terus mengungkap seluruh amalan yang telah dilakukan, sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub yang mengantarkannya ke lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah l. Seyogyanya kita tidak terjebak dengan jaring-jaring perangkap ‘ujub. Karena orang yang terpukau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) dan amalan ibadahnya, pada dasarnya telah menunjukkan kenistaan dan kehinaan serta kekurangan diri dan amalannya.

Ikhwani rahimanillahu wa iyyakum jami’an,

Kedua, sebelum Ramadhan tiba, hal lain yang harus dilakukan seorang hamba ialah bertaubat kepada Allah سبحانه وتعالى .

Banyak dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat. Diantaranya firman Allah عزوجل ,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, (QS AT Tahrim : 8).

Masih banyak lagi ayat yang senada. Dan seorang muslim, pasti tidak lepas dari dosa ataupun kesalahan. Dosa hanya akan menjauhkannya dari taufik, sehingga tidak kuasa untuk beramal shalih. Ini semua merupakan dampak buruk dari dosa yang diperbuatnya. Apabila ternyata dia mau bertaubat kepada Allah سبحانه وتعالى , maka prahara ini akan sirna dan Allah سبحانه وتعالى akan kembali menganugerahkan taufik kepadanya.

Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya, hakikatnya ialah bertaubat kepada Allah dari seluruh macam dosa. Sebagian ulama menjabarkan, taubat yang sempurna ialah taubat dari segala jenis dosa, bertekad bulat dan berniat kuat untuk tidak mengulangi dosa tadi. Jika dosa itu berkaitan erat dengan manusia (seperti mengambil barang dan lain-lain), maka dia harus mengembalikannya kepada sang pemilik.

Ada suatu kekeliruan yang harus diwaspadai, sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad untuk tidak berbuat maksiat, namun – ironisnya- hanya saat bulan Ramadhan saja. Ini merupakan perbuatan dungu …! Semestinya, bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari dosa serta meninggalkan maksiat tadi. Tidaklah disebut dengan taubat sejati, apabila seseorang bertaubat di suatu waktu, kemudian ia melanggarnya kembali pada waktu lain. Taubat seperti ini tidak akan dikabulkan. Sebab, salah satu syarat terkabulnya taubat ialah, dengan bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa tadi.

Para hadirin, arsyadanillahu wa iyyakum,

Sisi lain yang harus mendapatkan perhatian, yaitu berusaha untuk membentengi ibadah puasa dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya, seperti ghibah (ngerumpi) dan namimah (mengadu domba). Dua “penyakit” ini sangat berbahaya, akan tetapi sangat disayangkan, sedikit orang yang menyadarinya.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الْزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan dusta, niscaya Allah tidak butuh kepada puasanya.

Ahlul ilmi berbeda pandangan tentang makna hadits tersebut. Sebagian dari mereka melihat, bahwasanya ghibah dan namimah membatalkan pahala puasa, tidak menyisakan sedikit pun … ! Pendapat lainnya menyatakan, ghibah dan namimah mengurangi pahala puasa dan bahkan kadang-kadang hanya tersisa sedikit. Artinya ibadah puasanya tidak bermanfaat.

Orang yang mengekang lidahnya, tidak berbuat ghibah dan namimah ketika berpuasa Ramadhan tanpa diiringi amalan-amalan sunnah, ia lebih baik daripada orang yang berpuasa dengan menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun tidak berhenti dari dua kebiasaan buruk tadi. Demikian kenyataan mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan pelanggaran !

Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang arti takwa. Takwa ialah, melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram, jawab beliau.

Para ulama menegaskan: “Inilah takwa yang sebenarnya. Adapun mencampur-adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, ini tidak termasuk dalam bingkai takwa, meskipun dibarengi dengan amalan-amalan sunnah”.

Oleh sebab itu, para ahlul ilmi merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tetapi masih menyukai perbuatan dosa.

Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan: “Kewajiban seorang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan larangan agama. Mengekang diri dari makanan, minuman, jima`, sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal yang dibolehkan. Sementara itu, ada larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya. Pada bulan suci, larangan tersebut tentunya menjadi lebih tegas”.

Maka, sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang dibolehkan (di luar Ramadhan) seperti makan dan minum, namun tidak merasa alergi dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan setiap waktu, seperti ghibah, namimah, mencaci, mencela, mengumpat, memandang perempuan yang bukan mahramnya dan lain-lain. Semua ini mengikis pahala puasa.

Para hadirin, arsyadanillahu wa iyyakum

Masalah lain yang perlu diperhatikan, yaitu amalan fardhu. Aktifitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan ialah: mendirikan shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid (bagi laki-laki), dan berusaha sekuat tenaga tidak tertinggal takbiratul ihram.

Telah diuraikan dalam suatu hadits, barangsiapa yang melaksanakan shalat 40 hari bersama imam dan mendapati takbiratul ihram, ditulis baginya dua jaminan surat kebebasan, (yaitu) bebas dari api neraka dan nifaq. Hadits ini shahih.

Seandainya kita, ternyata termasuk orang- orang mufarrith, yaitu amalannya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjama’ah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya, menjaga amalan fardhu pada bulan Ramadhan merupakan ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita mendapati orang yang bersemangat melaksanakan shalat tarawih, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun pada saat yang sama, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang lebih memilih tidur, sehingga melewatkan shalat wajib, dengan dalih persiapan untuk shalat tarawih?! Demikian ini merupakan kebodohan dan pelecehan terhadap kewajiban…!

Sungguh, mendirikan shalat lima waktu bersama imam saja, tanpa melakukan shalat tarawih satu malam pun, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih, namun menyia-nyiakan shalat fardhu yang lima waktu. Ini bukan berarti kita memandang remeh terhadap shalat tarawih. Akan tetapi, seharusnya seorang muslim itu menggabungkan keduanya, memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang fardhu (shalat lima waktu), baru kemudian melangkah menuju amalan sunnah, seperti shalat tarawih.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ

KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَولَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَاإِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Para hadirin, arsyadanillahu wa iyyakum,

Sebagaimana pada khutbah pertama telah kami sampaikan, bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat agung, bulan yang teramat istimewa. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang memanfaatkannya. Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi orang yang menginginkan kebaikan di sisi Allah سبحانه وتعالى . Salah satu kesempatan emas itu ialah adanya lailatul qadar. Sebagaimana disebutkan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam Al Qur‘an :

لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗلَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ

Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih baik dari seribu bulan.

(QS Al Qadar : 3).

Karenanya, marilah kita berusaha untuk mendapatkannya, dan mengisi lailatul qadr itu dengan beramal shalih.

Sebagaimana tuntunan hadits Aisyah رضي الله عنها , hendaklah umat ini berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan lailatul qadr pada tujuh hari yang tersisa dari sepuluh hari yang terakhir. Atau dalam hadits Abu Hurairah, carilah dia (lailatul qadr) pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan. Karenanya, seyogyanya setiap muslim bergegas untuk mencarinya dengan memperbanyak amal ibadah dengan tekun.

Para salafush shalih berusaha meraih lailatul qadr pada malam 21. Sebagian yang lain pada malam 23. Sebagian yang lain pada malam 27. Sebagian yang lain mencari pada malam 24. Dan hampir-hampir pada setiap malam 10 hari terakhir. Maka mengapa kita tidak mencontoh para salafush shalih? Marilah kita berusaha secara maksimal pada 10 terakhir bulan Ramadhan ini, dengan menyibukkan diri dengan beramal dan beribadah, sehingga bisa menggapai pahala dari Allah سبحانه وتعالى . Dengan hanya sedikit amalan, kita bisa menggenggam pahala, lantaran orang yang beramal pada malam lailatul qadr ini akan menyamai amalan ibadah selama seribu bulan. Kalau ada orang yang tidak berusaha mencarinya kecuali pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan (dengan asumsi lailatul qadr jatuh pada tanggal ini atau itu), walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia -sama sekali- tidak akan pernah mendapatkan moment tersebut. Selanjutnya hanya penyesalan yang ada.

Jamaah shalat Jum’at arsyadanillahu wa iyyakum,

Sekali lagi, hendaklah setiap muslim beramal dan beribadah pada setiap malam sepuluh terakhir itu seraya berkata “malam ini adalah malam lailatul qadr”. Andai dugaannya meleset, dia perlu mengingat, bahwa sesungguhnya malam itu termasuk sepuluh terakhir Ramadhan, malam yang paling utama selama Ramadhan. Sebagian ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berpendapat, bahwa 10 hari terakhir Ramadhan lebih afdhal dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah. Wallahu ‘alam bish shawab.


DOWNLOAD PDF 

Majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426 H/2005 M

*) Diangkat berdasarkan untaian nasihat yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, pada malam Jum’at, 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurrain, di kots Madinah.

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!