MEGHUKUMI KAFIR SESAMA MUSLIM ADALAH DOSA BESAR

oleh -560 Dilihat
oleh

Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Di antara perkara penting yang seseharusnya dipahami oleh kaum Muslimin adalah masalah takfîr  (menjatuhkan vonis kafir). Karena dalam masalah ini, sebagian orang berlebihan, dan sebagian yang lain sangat meremehkan, sedangkan sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.

SIKSA SETELAH KEDATANGAN HUJJAH

Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi ﷺ  yang menunjukkan bahwa Allâh عز وجل tidak akan menyiksa seseorangpun sampai hujjah ditegakkan pada orang itu dan semua kesamaran hilang. Di antara ayat al-Qur’an itu adalah firman Allâh عزوجل :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا

Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra’/17: 15)

Pada ayat lain Allâh عزوجل berfirman:

وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُم بِعَذَابٍ مِّن قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِن قَبْلِ أَن نَّذِلَّ وَنَخْزَىٰ

Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu adzab sebelum al-Qur’an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata, “Wahai Rabb kami! Mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?” (QS. Thaha/20:134)

 

TAKFIIR ADALAH HAK ALLÂH عزوجل DAN RASULNYA

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Oleh karena inilah, ahli ilmu dan sunnah tidak mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka, walaupun orang yang menyelisihi tersebut mengkafirkan mereka.

Karena kekafiran merupakan hukum syar’i, sehingga manusia tidak berhak membalas dengan yang semisalnya. (yakni: jika dia dikafirkan, maka dia tidak berhak mengkafirkan orang tersebut-pen).

Seperti (jika ada) orang yang berdusta kepadamu dan berzina dengan istrimu, engkau tidak berhak berdusta kepadanya dan berzina dengan istrinya. Karena dusta dan zina (hukumnya) haram karena hak Allâh عز وجل .

Demikian juga dengan takfîr (menjatuhkan vonis kafir) yang merupakan hak Allâh عز وجل , sehingga tidak boleh dikafirkan kecuali orang-orang yang dikafirkan oleh Allâh dan Rasul-nya”. (Lihat ar-Raddu ‘alal Bakri, I/381, tahqiq: Abdullah bin Dajin as-Sahli)

Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin t berkata, “Menghukumi dengan kafir dan fasiq (menyatakan seseorang sebagai orang kafir dan fasiq) bukan diserahkan kepada kita, tetapi hal itu diserahkan kepada Allâh عز وجل dan Rasul-Nya ﷺ . Sehingga hal itu termasuk hukum-hukum agama yang tempat kembalinya adalah al-Kitab dan as-Sunnah, maka dalam hal ini seseorang wajib sangat berhatihati. Tidaklah dihukumi kafir dan fasiq kecuali orang yang ditunjukkan al-Kitab dan as-Sunnah atas kekafirannya atau kefasiqannya. Dan hukum asal seorang Muslim yang nyata (keislamannya), yang lurus, adalah tetap pada keislaman dan kelurusannya, sampai terbukti bahwa sifat-sifat itu hilang darinya dengan kandungan dalil syar’i”. (AlQawaidul Husna, hlm. 148, karya Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin, takhrij: Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud)

 

BAHAYA TAKFÎR DENGAN BATIL

Dengan penjelasan di atas maka kita tidak boleh meremehkan atau tidak menganggap enteng masalah mengkafirkan atau memfasiqkan seorang Muslim, karena dalam ha itu terdapat bahayabahaya yang besar, diantaranya:

  1. Membuat kedustaan terhadap Allâh عز وجل .

 Yaitu, bahwa  orang yang menuduh kafir terhadap seorang Muslim, dia telah berbicara tentang hukum Allâh tanpa ilmu. Jadi ini merupakan kedustaan yang besar. Demikian juga kedustaan terhadap orang yang dihukumi (kafir) tersebut, jika tuduhan itu tidak benar di sisi Allâh عز وجل . Padahal berbicara atas nama Allâh tanpa ilmu merupakan dosa yang sangat besar. Allâh عز وجل berfirman:

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِّيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

 Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orangorang yang membuat-buat dusta terhadap Allâh untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan”. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (QS. AlAn’am/6:144)

  1. Tuduhan itu bisa berbalik kepada diri sendiri.

Orang yang menuduh seorang Muslim sebagai orang kafir, kemudian ternyata tuduhan itu tidak benar, maka tuduhan itu akan berbalik mengenai diri si penuduh.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما، أَنَّ النَّبِيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi ﷺ  bersabda, “Jika seseorang mengkafirkan saudaranya (seiman), maka sesungguhnya itu akan mengenai salah satu dari keduanya”.  (HR. Al-Bukhâri, no. 6104; Muslim, no. 60-111; dan ini lafazh Imam Muslim)

  1. Perkara yang sangat dikhawatirkan oleh Nabi ﷺ .

Nabi ﷺ  juga telah mengingatkan hal ini di dalam sebuah hadits shahih berikut ini:

عن حذيفة رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ ، وَكَانَ رِدْئًا لِلْإِسْلَامِ ، غَيَّرَهُ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ ) ، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ  الرَّامِي؟ قَالَ:  بَلِ الرَّامِي

Dari Hudzaifah, dia berkata: Rasûlullâh bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, dia membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya dengan kemusyrikan.” Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai Nabi Allâh! Siapa yang lebih pantas dengan kemusyrikan, penuduh atau orang yang dituduh?” Beliau ﷺ menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Al-Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, dan al-Bazzar. Lihat ash-Shahîhah, no. 3201, karya Al-Albani)

  1. Menuduh kafir terhadap seorang Mukmin seperti membunuhnya

 Termasuk bahaya besar bagi orang yang menuduh kafir kepada seorang Mukmin adalah bahwa dosa tuduhan itu adalah seperti membunuhnya. Maka alangkah besar dosa tersebut. Hal itu diperingatkan oleh Nabi ﷺ  di dalam sebuah hadits yang shahih berikut ini:

عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ حَلَفَ بِمِلَّةٍ غَيْرِ الإِسْلاَمِ كَاذِبًا فَهُوَ كَمَا قَالَ ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ، وَلَعْنُ المُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ ، وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ

Dari Tsabit bin adh-Dhahhak, dari Nabi beliau bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan agama selain Islam dalam keadaan dusta, maka dia sebagaimana yang dia katakan. Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu, dia akan disiksa dengan sesuatu itu di dalam neraka Jahannam. Melaknat seorang mukmin seperti membunuhnya. Dan barangsiapa menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran maka itu seperti membunuhnya”. (HR. Al-Bukhâri, no. 6105, 6652; Ahmad, no. 16391; lafazh milik Al-Bukhâri)

 

DUA PERKARA YANG HARUS DIPERHATIKAN

Kemudian yang perlu diketahui bahwa sebelum menjatuhkan vonis kafir atau fasiq terhadap seorang Muslim, ada dua perkara yang wajib diperhatikan:

Pertama: Petunjuk dari al-Kitab atau asSunnah bahwa suatu perkataan atau perbuatan itu bisa menyebabkan kekafiran atau kefasiqan.

Kedua: Kesesuaian hukum tersebut terhadap orang tertentu yang mengatakannya atau yang melakukannya. Yaitu dengan terpenuhinya syaratsyarat takfîr atau tafsîq pada diri orang tersebut dan tidak ada mawani’ (tidak ada penghalangpenghalang pengkafiran)”. (Lihat: al-Qawâ’idul Husna, hlm. 148-149, karya Syaikh Muhammad al‘Utsaimin, takhrij: Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Tidaklah seorangpun berhak mengkafi rkan seorang Muslim, walaupun dia telah melakukan kekeliruan atau kesalahan, sampai ditegakkan hujjah (argumuen) atasnya dan jalan yang benar dijelaskan kepadanya. Karena orang yang telah tetap keislamannya secara yakin, maka keislamannya itu tidak akan hilang darinya dengan keraguan. Bahkan keislamannya itu tetap ada sampai ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat (kesamaran)”. (Majmû’ Fatâwâ 12/465-466)

Dengan sedikit penjelasan ini, maka hendaklah kita berhati-hati, jangan sampai menghukumi orang yang zhahirnya Islam dengan kekafiran, padahal belum ditegakkan hujjah kepadanya. Sesungguhnya hal itu akan membahayakan diri kita sendiri.

Wallâhu a’lam bis shawab.

  • EDISI 09/TAHUN XXIII/JUMADIL AWWAL 1441H/JANUARI 2020M

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!